Penulis: Yusi Nur Laili Khabibah
Dianggap bangsa yang berberbudaya dan berperadaban apabila bangsa tersebut telah mengenal tulisan. Karena melihat dari definisi tulisan itu sendiri, yaitu peninggalan suatu masyarakat yang berbudaya. Sebagaimana bangsa Arab yang sebagian penduduknya telah mengenal tulisan, seperti Yaman yang kemudian berangsur hingga ke Mekkah.
Namun, kemampuan menulis tersebut tidak dimiliki oleh setiap individu penduduknya. Sedangkan penduduk yang yang jauh dari tulisan, mereka mengandalkan kemampuan hafalannya. Dan tidak heran jika bangsaArab menjadi bangsa yang paling kuat memorinya sepanjang sejarah.
Ketika islam datang, hanya ada tujuh belas orang yang mengenal tulisan di Makkah yang terdiri dari kaum laki-laki dan sebagian dari kaum perempuan, diantaranya adalah Umar bin Khottob, Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Hafshoh binti Umar, Ummu Kultsum binti Uqbah, dan lain sebagainya. Sedangkan di Madinah, banyak dari kaum Aus dan Khazraj yang sudah mengenal tulisan yang mereka terima dari pengajaran kaum Yahudi yang lebih dulu mengenal tulisan.
Adanya agama islam sangat mendukung kemampuan tulis menulis yang memiliki peranan sangat besar dalam memelihara wahyu dan menyampaikan surat kepada raja dan penguasa di berbagai wilayah. Oleh karena itu, Nabi menugaskan beberapa sahabat dalam penulisan wahyu. Maka ketika ada ayat turun kepada Nabi, beliau langsung memanggil mereka untuk menunjukkan ayat atau surat yang harus ditulis.
Namun, berbeda dengan penulisan hadis yang didalamnya terdapat beberapa perkhilafan mengenai larangan dan pembolehan menulis dan membukukan hadis. Ada beberapa hal yang mendorong Nabi melarang para sahabat untuk menulis hadis dan membukukannya.
Pertama, khawatir Al-Quran akan tercampur dengan hadis Nabi yang menyebabkan adanya perubahan dan penggantian ayat Al-Quran. Kedua, khawatir akan berkurangnya kemampuan hafalan para sahabat apabila disandarkan pada tulisan, mengingat kemampuan mereka sangatlah tinggi dan bisa jadi hilang dengan seiring berkembangnya zaman. Ketiga, jumlah setiap individu yang memiliki kemampuan menulis masih terbatas. Sehingga jika mereka diberi tugas untuk menulis Al-quran dan hadis, maka khawatir akan tercampur. Berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
عن أبي سعيد الخدريّ أنّ رسول الله ﷺ قال لا تكتبوا عنّي ومن كتب عنّي غير القران فليمحه
Dari Abu Sa’id Al-Khudri dari Nabi S.A.W., beliau bersabda: “Janganlah kalian menulis sesuatu apapun yang berasal dariku selain Al-Quran, barang siapa yang menulis sesuatu yang berasal dariku selain Al-Quran hendaklah ia menghapusnya.” (HR. Muslim)
Di samping Nabi melarang penulisan hadis, di sisi lain beliau juga memberi izin untuk penulisannya. Adanya perizinan tersebut dengan berbagai pendapat, karena dianggap bertentangan dengan hadis adanya larangan Nabi untuk menulis hadis. Ada beberapa hal yang mendorong Nabi membolehkan hadis untuk ditulis.
Pertama, pada saat Al-Quran sudah tidak lagi diturunkan, sehingga tidak ada kekhawatiran Al-Quran tercampur dengan hadis Nabi. Kedua, diperbolehkan asalkan tidak pada satu lembaran yang sama dengan Al-Quran.
Ulama’ berbeda pendapat mengenai larangan dan pembolehan tersebut. Namun, mayoritas ulama’ memilih bahwa memang pada mulanya Nabi melarang, kemudian disusul dengan beberapa hadis yang menjelaskan bahwa Nabi memberi izin terhadap penulisan hadis, sehingga bisa dikatakan sebelum Nabi wafat, beliau sudah memberi izin penulisan hadis.
Salah satunya seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Ibnu Abbas, ia berkata, “ketika sakit yang diderita Nabi semakin parah, beliau bersabda, “Bawalah kepadaku sebuah kitab, aku akan menuliskan pesan untuk kalian agar tersesat setelah sepeninggalku….” Dalam hal ini Nabi meninggalkan pesan tertulis bagi para sahabatnya, agar mereka tidak berselisih setelah beliau wafat.
Setelah Nabi wafat, hadis masih belum dibukukan sebagaimana Al-Quran karena tidak ingin hadis menjadi tandingan bagi Al-Quran yang menyebabkan adanya pencampuran dan kelalaian untuk membaca dan mempelajari Al-Quran. Begitu juga dengan Umar bin Khottob yang memiliki keinginan untuk menghimpun hadis Nabi, akan tetapi beliau khawatir al-Quran tercampur dengan hadis dan orang-orang akan melalaikannya.
Kemudian tibalah masa Umar bin Abdul Aziz yang memerintahkan agar hadis dihimpun dan dibukukan karena kondisi ummat islam sangat memungkinkan untuk dibukukan dan mampu memelihara Al-Quran agar tidak tercampur dengan hadis Nabi.
Sehingga Umar bin Abdul Aziz mengeluarkan fatwa kepada para ulama’ di wilayah islam untuk memulai pengumpulan dan pembukuan hadis disebabkan khawatir hilangnya ilmu dan wafatnya para ulama’. Dan orang yang pertama kali melakukan pembukuan hadis adalah Ibnu Syihab Az-Zuhri pada puncak seratus tahun pertama hijriah dengan perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Dapat disimpulkan bahwa penulisan hadis sudah ada sejak zaman Nabi yang pada awalnya beliau melarangnya kemudian beliau membolehkannya. Namun hadis itu hanya ditulis dan disimpan oleh para sahabat, tidak dibukukan seperti halnya Al-Quran karena khawatir akan menandingi Al-Quran hingga pada masa sahabat.
Kemudian pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, barulah hadis Nabi dihimpun dan dibukukan karena khawatir hilangnya ilmu dan wafatnya para ualama’ oleh Ibnu Syihab Az-Zuhri pada ujung abad pertama hijriah.
Hal ini juga dapat menjadi bantahan bagi kaum orientalis yang meragukan keaslian hadis dengan tuduhan mereka menganggap bahwa hadis baru dibukukan pada tahun kedua hijriah, sehingga hadis Nabi yang dibukukan merupakan buatan pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Mereka berdalih bahwa pembukuan hadis dimulai sejak Imam Malik bin Anas dalam kitab Muwattha’ dan tidak ada penulisan hadis Nabi pada masa sahabat.
Penulis merupakan mahasantri semester 2