Penulis : Ilham Zihaq
Ramadhan 1444 H, Pesantren Tebuireng sebagai basis lembaga pendidikan Islam di lingkungan Nahdlatul Ulama menyelenggarakan kegiatan ilmiah, yaitu kilatan kitab-kitab kuning karya para ulama. Tradisi ini sudah berlajan sejak era muassis nya, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Bahkan di era Hadratussyaikh, banyak tokoh, kiai, bahkan gurunya sendiri ikut ngaji kilatan di Pesantren Tebuireng.
Tradisi yang tidak bisa dilepaskan dari kepakaran dan keahlian Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dalam bidang kajian hadits. Kitab Sahih Bukhari dan Muslim menjadi kajian rutin yang dikaji setiap Ramadhan. Hingga sekarang, tradisi kajian Sahihain masih berlangsung di pesantren Tebuireng. Dibaca dan dikaji oleh masyayikh Tebuireng dari masa ke masa. Dan kajian kitab hadis ini menjadi ciri khas dan ruhnya Pesantren Tebuireng.
Kajian Hadis di Pesantren Tebuireng masih berjalan dengan menggunakan sistem klasik, yaitu pembacaan teks hadis disertai makna jawa dan penjelasan singkat. Namun sejak tahun 2016, Pesantren Tebuireng mengembangkan kajian hadis dengan lebih serius, yaitu dengan memadukan antara model pesantren dan akademik perguruan tinggi. Mulanya hanya sebatas kajian mafhum nash hadis (memahami nash hadis), berkembang menjadi kajian takhrij hadis, naqd matan, naqd sanad, fiqh hadis, dan kajian-kajian hadis lainnya. Kajian hadis ini terlembagakan di Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng dengan takhasus Hadis wa Ulumuh.
Walaupun kajian hadis di Pesantren Tebuireng sudah sanat berkembang pesat, kajian ala pesantren tetap dipertahankan. Kitab-kitab hadis yang bermacam-macam model penulisannya tatap dikaji di Pesantren Tebuireng dengan para qori’ yang kompetibel. Diantara kitab-kitab hadis yang dikaji di Pesantren Tebuireng pada Ramadhan ini,
1) Sahih Muslim, 2) Al-Jamius Shoghir, 3) Bulughul Maram, 4) Mukhtarul Ahadis, 5)Lubabul Hadis, 6) Mukhtashor Abi Jamroh, 7) Arbain Hadisan fi Fadhoil Qur’an dan kitab-kitab hadis yang lain.
Kajian Kitab Sahih Muslim untuk Ramadhan ini dikaji dan dibaca oleh KH. Abdul Aziz Sukarto Faqih. Dibaca mulai 19 Sya’ban dan ditutup pada 18 Ramadhan. Sosok yang lahir 4 Juni 1953 merupakan santri Tebuireng. Masuk Tebuireng sejak tahun 1969 di jenjang pendidikan tingkat Tsanawiyah hingga lulus Aliyah Tebuireng tahun 1974. Selain menempuh pendidikan formal, beliau juga menempuh pendidikan eklusif dibawah bimbingan KH. Idris Kamali. Beliau sendiri mendalami Sahih Muslim dibawah bimbingan KH. Syansuri Badawi. Dan untuk kitab-kitab lain belajar kepada Masyayikh Tebuireng yang lain, seperti KH. Shobari, KH. Abdul Mannan, KH. Adlan Aly dan lain sebagainya.
Sedangkan kitab Al-Jamius Shoghir karya Imam Suyuthi dikaji dan dibaca oleh KH. Kamuli Khudori. Kitab ini sengaja dipilih oleh beliau, agar para santri Tebuireng mengetahui derajat dan takhrij setiap hadisnya. Selain mengkaji kitab Jamius Shogir, beliau juga mengkaji Ihya Ulumiddin karya Imam Ghozali. KH. Kamuli Khudori sendiri lahir pada 15 Oktober 1949, dan menempuh pendidikan di pesantren Tebuireng sejak tahun 1967 di jenjang Tsanawiyah dan lulus Aliyah Tebuireng pada tahun 1972.
Selian dua tokoh senior Tebuireng tersebut yang mengkaji kitab Hadis, terdapat KH. Taufiqurrahman Muhit yang merupakan cicit menantu Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Beliau juga membaca kitab Sahih Muslim. Dimulai 21 Sya’ban dan dikhatamkan pada 25 Ramadhan. Beliau mulai nyantri di Tebuireng sejak tahun 1972 dibawah bimbingan KH. Syansuri Badawi dan mengaji di KH. Mahfudz Anwar Seblak.
Tebuireng menaruh perhatian besar terhadap kajian Hadis. Hingga kitab-kitab yang dituduh banyak hadis bermasalah tidak dibaca di Tebuireng. Kiai Kamuli Khudori menyampaikan saat pembukaan pengajian Jamius Shogir,
“Zaman saya dulu, Kiai melarang membaca kitab Durrotun Nasihin, sebab di dalamnya banyak hadis Maudu’-nya. Zaman Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari juga melarang membaca kitab Durrotun Nasihin”.
Penutup, Pesantren Tebuireng dengan konsentrasi hadisnya tidak meninggalkan kajian fiqh sebagai jembatan memahami hadits dan Al-Qur’an. Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari sudah mengingatkan,
لولا الفقه لم نفهم الحديث لولا الحديث لم نفهم القرآن
“Seandainya tanpa fikih kita tidak akan paham hadis, seandainya tanpa hadis kita tidak akan paham al-Qur’an.”
Tahrir Alfaqir Ilham Zihaq