Penulis : Muhammad Farhan Syah Putra
Abad ke-3 Hijriyah merupakan abad keemasan Islam dalam sejarah kodifikasi hadist. Hal itu merupakan efek dari perjalanan panjang dan usaha keras para ulama sebelumnya dalam mencari, menyusun dan menyeleksi hadist. Pada abad ke-3 ini, kodifikasi hadist berkembang dengan signifikan. Berbagai macam metode penyusunan hadist lahir di abad ke-3 ini. Tokoh-tokoh besar hadist yang namanya masih harum hingga sekarang seperti Imam Bukhori, Imam Muslim, dan Imam Ahmad merupakan tokoh ulama hadist yang hidup di era ini.
Sejarah mencatat, bahwa kodifikasi hadist selalu mengalami perkembangan di setiap abadnya. Para ulama selalu mengupgrade dan melakukan penelitian terhadap hadits-hadist Nabi sehingga dari penelitian itu lahirlah metode-metode baru dalam ilmu hadist terutama dalam kodifikasinya. Maka bisa kita lihat bahwa di sela-sela abad perkembangan kodifikasi hadist, kita akan menemukan kekhasan dari abad-abad itu dalam proses mengkaji hadist.
Perkembangan kodifikasi hadist tentu tidak lepas dari kebutuhan pada zaman itu. Begitu juga di abad ke-3 Hijriyah ini, kebutuhan zaman ini menuntut para ulama untuk berfikir kreatif dalam menemukan metode-metode yang dibutuhkan pada masa itu. Dalam kacamata kultur sosial, abad ke-3 Hijriah ini masuk ke dalam zaman Dinasti Abbasiyah.
Faktor-faktor kodifikasi hadist pada fase ini :
Perkembangan kodifikasi hadis abad ke-3 H ini dilatar belakangi oleh beberapa hal. Pertama, fitnah yang terjadi di masa itu. Pertarungan pemikiran yang terjadi antara ahli kalam dan ahli hadist menuntut para ahli hadits untuk mengumpulkan hadits-hadist dan mencoba menguraikannya secara benar. Paham kemakhlukan al-Qur’an yang diprakarsai oleh mu’tazilah dan diamini oleh al-Makmun merupakan salah satu fitnah terbesar abad itu, sehingga para ulama dipaksa untuk mengikuti paham teologi mereka dan menyiapkan hukuman bagi yang tidak mau mengikutinya.
Kedua, upaya-upaya pemalsuan hadist yang dilakukan oleh kaum Zindiq juga menjadi salah satu masalah besar abad itu. Usaha mereka dalam menjaga eksistensi golongan mereka perlu legitimasi yang bersifat superior, sehingga dengan dasar itu orang-orang percaya bahwa kelompoknya merupakan kelompok yang benar. Kefanatikan yang berkembang di abad itulah yang kemudian mendorong mereka untuk membuat hadis palsu yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Ketiga, khurafat-khurafat yang tersebar di masa Dinasti Abbasiyah ini juga menjadi salah satu faktornya. Orang-orang Zindiq menyebarkan dongeng-dongeng keagamaan kepada orang awam untuk tujuan tertentu. Mereka menceritakan kisah-kisah yang mereka bumbui dengan khayalan mereke sendiri sehingga orang-orang betah duduk berlama-lama dengannya. Dongeng yang dibalut citra keagamaan dan disandarkan kepada Rasusullah Saw tentu membuat pendengarnya semakin tertarik. Seperti kisah Nabi Dawud yang dikatakan bahwa beliau pernah bersujud selama 40 malam. Dalam sujudnya, Nabi Dawud As menangis sampai air matanya mengairi rerumputan dan menyuburkan rumput itu. Dongeng-dongeng seperti inilah yang akhirnya ikut menodai kemurnian hadist.
Metode kodifikasi hadist pada fase ini :
Metode pertama, Imam Ibnu Qutaebah merupakan salah satu ulama abad ke-3 H yang berusaha menjaga sunnah dan martabat para ahli hadist dari tuduhan dan kebatilan yang disebarkan oleh para pendusta. Dalam kitabnya, Ta’wil Mukhtalaf al-Hadits fi al-Rad ala ‘Ada al-Hadits, Imam Ibnu Qutaebah menjelaskan tentang pribadi seorang ahli hadist yang jauh dari tuduhan-tuduhan itu bahwa mereka bukanlah orang yang menyebarkan hadist-hadist dhoif atau bahkan khurafat-khurafat yang menyesatkan itu. Imam Qutaebah kemudian juga menjelaskan hadist-hadist yang menurut ahli kalam dinilai kontradiktif dan menghilangkan permasalahan itu.
Metode kedua, mengumpulkan hadist dalam musnad. Ulama hadist dalam hal ini mengumpulkan hadist-hadist berdasarkan nama-nama sahabat. Hadits-hadist kemudian dikumpulkan berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkan hadist. Walaupun dalam penyusunannya, para ulama hadist menggabungkan antara hadist yang shohih, hasan, dan dhoif tetapi hal tersebut dapat membantu menguatkan sebuah hadist karena memiliki jalur periwayatan yang beragam.
Metode ketiga, menyusun hadist-hadist berdasarkan bab-babnya, yaitu dengan men-takhrij hadist berdasarkan bab fikih atau lainnya. Dalam metode ini, para ulama sudah mulai menjelaskan kualitas sebuah hadist. Diantaranya ada yang hanya mengumpulkan hadist-hadist yang shohih saja seperti Imam Bukhori dan Imam Muslim, ada juga yang tidak, artinya di dalam kitab tersebut terdapat hadist hasan dan dhoif seperti Imam Abu Dawud, Imam an-Nasa’i dan Imam al-Tirmidzi.
Demikianlah, abad ke-3 H ini dianggap sebagai abad keemasan dalam sejarah kodifikasi hadist dan abad yang paling menggembirakan dalam hadits. Karena di masa ini hadist-hadist sudah tersusun dan terkumpulkan dengan rapi dan sistematis. Pemisahan antara perkataan tabi’in, sahabat dan Rasulullah juga dilakukan di abad ini, sehingga tidak terjadi kekeliruan dalam menilai suatu hadist.
Pada masa ini muncul ulama-ulama yang jenius, kritikus-kritikus yang tajam, dan akademisi yang teliti dalam mengkaji objek penelitiannya seperti Ali bin al-Madini, Yahya bin Main, Abu Zar’ah al-Rozi, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari, Imam Muslim bin Hajjaj, Imam Nasa’i, Imam Turmudzi, Abu Dawud, Imam Ibnu Majah dan lainnya.
Penulis merupakan mahasantri semester 7 angkatan Ats-Tsuroyya