Penulis : Nova Rischa Mughfianagari
Era memasuki permulaan abad ke-4 Hijriyah, Daulah Islam diuji dengan kekacauan politik yang merusak kesatuan dan menjadikannya negara-negara kecil yang terpencar dan terpecah belah. Propaganda politik abad ini ditandai dengan kemunduran Daulah Abbasiyah.
Bani Abbasiyah adalah dinasti Islam yang berhasil membawa kemajuan peradaban Islam. Keberhasilan Islam pun berkembang pesat bahkan di berbagai aspek. Inilah yang menjadi bukti peradaban Islam pernah mencapai kejayaan dan kemajuan. Namun kejayaan ini pada akhirnya mengalami kemunduran hingga keruntuhan. Runtuhnya Bani Abbasiyah disebabkan dua faktor, yakni internal dan eksternal.
Faktor internal pertama yaitu, kelemahan dan ketidakmampuan khalifah dalam memimpin dan mempertahankan perselisihan dalam aspek politik. Runtuhnya Bani Abbasiyah berawal dari tindakan Al-Makmun pada tahun 813-842 yang mengangkat saudara kandungnya untuk melanjutkan pemerintahannya yaitu Al-Mukhtasin pada tahun 833-842. pada masa pemerintahan Al-Mukhtasin, ia memindahkan ibu kota yang semulanya di Baghdad beralih ke kota Samaara sekitar 75 km dari hulu sungai Tigris.
Perbuatan tersebut bertujuan untuk memperkuat pemerintahannya. Selain itu, ia juga mengangkat dan mengumpulkan orang Turki untuk mendorong kemajuan dalam pemerintahannya. Namun, rencana tersebut belum berjalan sepenuhnya karena beliau menghembuskan nafas terakhir pada tahun 842. Sehingga tahta pemerintahan di wariskan kepada khalifah selanjutnya yang memiliki kredibilitas lemah.
Faktor lainnya yaitu, perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Lahirnya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri, kemunduran sistem perekonomian, munculnya aliran-aliran sesat, dan fanatisme dalam keagamaan. Itulah penyebab yang mempengaruhi kemunduran peradaban Bani Abbasiyah.
Adapun faktor eksternal yaitu terjadinya perang Salib dan penyerangan yang dilakukan oleh bangsa Mongol ke Bani Abbasiyah. Perang Salib terjadi karen keluarga Seljuk merampas Baitul Maqdis. Sehingga membuat umat Kristen menanamkan kebencian pada umat Islam. Pada akgirnya, Paus Urbanus II pada tahun 1095 memberikan perintah pada semua umat Kristen untuk melakukan perang Suci atau yang disebut perang Salib.
Meskipun angin abad ini membawa hembusan propaganda, namun ilmu pengetahuan dan gerakan-gerakan ilmiah masih berkembang pada saat itu, bahkan para ulama bermigrasi dari daerah satu ke daerah lainnya untuk saling berbagi pengetahuan, mereka memperlihatkan kitab-kitab dan riwayat-riwayat yang didengar kepada para guru.
Sementara itu, abad ke-4 Hijriyah ini adalah abad pemisah antara ulama mutaqoddimin, yang dalam penyusunan kitab hadist mereka berusaha sendiri menemui para sahabat atau tabi’in penghafal hadist kemudian meneliti sendiri dengan ulama mutaakhirin yang usahanya menyusun kitab-kitab hadits, mereka hanya menukil dari litab-kitab ulama mutaqoddimin.
Mereka juga memiliki geliat ilmiah dalam mengkritik para perawi, mensyarah, meringkas dan memverifikasi hadist, baik dalam ilat-ilat hadis, sejarah para perawi dan ilmu hadist secara umum. Mereka juga menghimpun kitab-kitab hadist yang tercecer pada masa sebelumnya, atau menyingkatnya dengan menghapus rantai sanad yang memang diaharuskan untuk dibuang, mereka juga melakukan penertiban serta merevisi hadis-hadis.
Gerakan Syarah dan Ikhtisar ini dilakukan karena para ulama telah menyadari bahwa upaya seleksi hadis telah mencapai puncaknya pada gerakan shahîh yang dipelopori oleh Bukhârî sehingga pada abad IV Hijriah dan seterusnya para ulama hanya sebatas menyalin, memeriksa, melengkapi, menyelidiki, mensyarah dan meringkas karya-karya sebelumnya.
Diantara fokus ulama abad ke-4 Hijriyah ialah menyalin kitab-kitab shahih seperti shahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Sukan, dan Sahih al-Hikam. Ada juga yang merangkai kitab-kitab sunan, kitab-kitab ahkam, kitab-kitab shahih, dan masih banyak kitab-kitab lainnya. Contohnya seperti kitab Muntaqo Ibn al-Jarud, Sunan al-Daruqutni dan Sunan al-Baihaqi.
Dalam proses memverifikasi dan meriwayatkan hadist, para ulama membutuhkan waktu dan usaha yang sangat panjang, karena para ulama pada masa-masa terdahulu, tidak mengambil referensi dalam meriwayatkan hadis kecuali dari riwayat lisan, mereka tidak hanya bergantung pada kitab-kitab saja. Dengan demikian mereka dapat meriwayatkan hadis dengan menyimak (sima’i) dari para pengarang nya, meskipun hal tersebut membebankan mereka dengan melakukan perjalanan selama berbulan-bulan.
Adapun karya-karya yang lahir pada abad ini diantaranya al-Ilzamat ‘ala al-Bukhari wal Muslim karya al-Daruquthni, al-Mustadrak ‘alâ al-Shahîhayn karya al-Hâkim, Minhâj fî syarh Shahîh Muslim karya al-Nawawi, Fath al-Bari ‘ala Shahin al-Bukhari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, al-Anma’wa al Taqsim oleh Ibn Hibban, al Musnad oleh Abu Amanah, al-Mustaqa oleh Ibn Jarud, al-Mukhtarah oleh Muhammad Ibn Abd Al Wahid al Maqdisi ibn Hibban dan masih banyak lagi.
Penulis merupakan semester 5 angkatan Rihlah