Penulis : Yuniar Indra Yahya
“Apa tidak bisa seorang bicara Hadist sekaligus Sosiologi” ungkap (alm) Gus Sholah pada Prof. M. Amin Abdullah dalam satu kesempatan. Waktu itu Gus Sholah mengundang Pak Amin untuk memberikan seminar. Hal itu dilakukan oleh Pengasuh Pesantren Tebuireng karena beliau merasa gelisah lantaran banyak sarjana yang sudah strata dua bahkan tiga, ketika kembali ke pesantren yang dia ajarkan itu-itu saja.
Selang beberapa waktu, Amin Abdullah menjawab kegelisahan tersebut dengan melahirkan buku “Multidisiplin, Interdisiplin, Transdisiplin; Metode Studi Agama & Studi Islam di Era Kontemporer”. Pendek kata multidiciplinary adalah pendekatan berbagai disiplin ilmu bekerja sama, akan tetapi masing-masing memanfaatkan pengetahuan disiplin yang mereka miliki. Interdiciplinary yakni mengintegrasikan pengetahuan dan metode dari bernagai disiplin ilmu, menggunakan sintesis pendekatan yang nyata.
Sementara transdiciplinary adalah menciptakan kesatuan kerangka intelektual di luar perspektif disipliner. Itulah pergeseran pendekatan yang semula dari monodiciplinary, intradiciplinary (pendekatan yang bekerja dalam satu disiplin), dan crossdiciplinary (melihat satu disiplin dari berbagai prespektif disiplin lain) menuju multi-inter-transdisiplin.
Buku yang diklaim telah dipesan 1000 eksemplar sebelum diluncurkan itu digarap guru besar UIN Yogyakarta dalam masa pandemi covid-19. Bahkan, tanggapan publik atas lahirnya buku itu sangat tinggi. Beberapa gelaran bedah buku dilaksanakan guna menguji, mendukung, dan merevisi apa yang digagaskan oleh penulisnya. Sebut saja Prof. Noorhaidi Hasan (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga), Prof. Azyumardi Azra (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah), Prof. Sulistyowati Irianto (Guru Besar UII Yogyakarta) menyambut hangat buku tersebut. Lalu apa kata para pakar terhadap pemikiran Amin Abdullah ?
Menurut Noorhaidi Hasan, buku ini merupakan buah dari kegelisahan Pak Amin atas dunia post-modern yang bersifat semipermeable, intersubjective testabilty, dan creative imagination. Sehingga baginya perlu adanya dialog antara paradigma ‘Ulum al-Din (ilmu-ilnu agama Islam), al-Fikr al-Islamy (pemikiran Islam), dan Dirasat Islamiyah (studi keislaman) kontemporer dengan baik. Serta harus ada tautan antara hadarah al-nash (religion), hadharah al-falsafah (philosophy), wa hadharah al-‘ilm (scince). Secara lebih jelas, penulis buku menyerukan diterapkannya pendekatan, multi-inter-transdisiplin dalam pembelajaran, perkuliahan, riset, dan pengabdian masyarakat.
Oleh karena itu, kata Azaki Khoirudin (editor) menganggap penting bagi dosen, peneliti, dan pendidik agar melakukan penelitian bermodel collaboration research yang melibatkan berbagai peneliti dengan berbagai bidang. Bagi Pak Amin corak monodisiplin sudah tidak relevan dengan perkembangan dunia satu abad terakhir.
Di sini, Pak Amin tidak hendak mengatakan bahwa setiap sarjana dituntut untuk menguasai berbagai bidang ilmu sekaligus. Ia tetap menyadari pentingnya spesialisasi keilmuan. Yang ditentang olehnya yakni overspecializitation yang menutup jalan bagi seorang untuk melihat berbagai pendekatan dari disiplin-disiplin keilmuan lain.
Penulis merupakan semester 8 angkatan Ikhbar
Editor : Alfiya Hanafiyah