Penulis : Hanifah Fitri Zaki Luthfiah
Berdasarkan realita yang terjadi saat ini, banyak orang yang sudah tidak memperdulikan terkait nadzar. Padahal pemahaman terkait nadzar, sangatlah penting dan wajib untuk dilaksanakan bagi mereka yang telah mengucapkannya.
Terkadang, sebagian masyarakat juga mengucapkan nadzar secara sembarangan. Sebab masyarakat masih belum memahami betul tentang nadzar. Oleh karena itu, patutlah bagi kita khususnya umat islam untuk mengetahui secara rinci tentang nadzar.
Pengertian dan dalil-dalil
Nazar secara bahasa adalah janji (melakukan hal) baik atau buruk. Sedangkan nazar menurut pengertian syara’ adalah menyanggupi melakukan ibadah (قربة; mendekatkan diri kepada Allah) yang bukan merupakan hal wajib (فرض العين) bagi seseorang.
Berdasarkan pengertian di atas, maka tidak sah apabila bernazar untuk melakukan hal yang makruh dan haram. Begitu pula bernazar untuk melakukan sesuatu yang wajib atau fardhu ‘ain baginya, maka tidak sah nadzarnya seperti bernazar akan melakukan shalat lima waktu. (Sayyid Ahmad bin ‘Umar As-Syatiri, al-Yaqut an-Nafis fi Madzhabi Ibni Idris, hal. 227).
Al-Qur’an dan hadits telah menyinggung mengenai nazar. Hal ini menunjukkan perihal disyariatkannya nazar, dan wajib bagi orang yang bernazar untuk melaksanakan apa yang dinazarinya.
يُوفُونَ بِٱلنَّذۡرِ وَيَخَافُونَ يَوۡمٗا كَانَ شَرُّهُۥ مُسۡتَطِيرٗا
Artinya: “Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana” (QS. Ad-Dahr [76]: 7).
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِه
Artinya: “Siapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut. Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah bermaksiat kepada-Nya. ” (HR al-Bukhari).
Rukun-rukun nadzar
- Shigat
Harus menggunakan lafadz yang pasti dan jelas yakni memiliki niat sekalipun tidak melafadzkan kata niat.
- Shigat nadzar harus berupa perkataan
- Sejatinya keinginan nadzar harus diucapkan/dilafalkan bukan hanya tersirat dalam hati. Jika seseorang niat bernadzar dalam hatinya namun tidak diucapkan dengan lisan, maka hukumnya tidak sah.
- Tidak ada pengecualian dalam shigat nadzar
Dan nadzar tidak memiliki shigat khusus, bahkan boleh menggunakan perkataan apapun yang sifatnya qurbah kepada allah swt
- Orang yang bernadzar
- Islam
- Tidak terpaksa
- Mampu melaksanakannya
- Dan sah nadzarnya orang yang sedang mabuk, tapi tidak sah nadzarnya orang kafir
- Perkara yang digunakan untuk nadzar
a). Untuk perkara sunnah seperti : sholat dhuha.
b). Untuk perkara yang berhukum fardhu kifayah, seperti : sholat jama’ah.
c). Bukan untuk perkara yang haram, seperti : sholat saat keadaan hadats, minum khomr dll.
d). Perkara yang makruh, seperti : puasa satu tahun.
e). Perkara yang mubah, seperti : makan makanan yang halal dan enak.
f). Perkara yang berhukum fardhu a’in, seperti : sholat dhuhur.
Hukum Nadzar
Para ahli fikih berbeda pendapat tentang hukum nadzar. Dalam hal ini terdapat 3 pendapat yaitu :
- Pendapat pertama, nadzar tidak disunnahkan dan dibenci. Pendapat ini merupakan pendapat dari pengikut madzab hanbali dan sebagian besar pengikut madzab syafi’i, maliki, ibnu mubarok dan ibnu hazam.
- Pendapat kedua, nadzar adalah pendekatan diri kepada Allah SWT yang disyariatkan. Ini merupakan pendapat al-qadhi, al-mutawalli, al-ghozali dan ar-rafi’i dari pengikut madzab syafi’i.
- Pendapat ketiga, nadzar itu haram. Ini adalah pendapat dari ash-shan’ani dalam kitabnya subulussalam. Beliau berhujjah dengan larangan nabi SAW tentang nadzar seraya berkata : (pendapat tentang mengharamkan nadzar adalah yang sesuai dengan sesuai petunjuk hadits dan sebuah argumentasi yang menaambah keyakinan bahwa nadzar tidak mendatangkan kebaikan. Maka mengeluarkan uang dalam melaksanakan nadzar termasuk menyia-nyiakan harta)
Macam-macam Nazar dan Sanksi bagi Pelanggarnya
Setelah mengetahui pengertian dan dalil-dalil dari nadzar, kita akan membahas macam-macam dari nadzar.
Nazar secara umum terbagi menjadi dua pembagian.
Pertama, nazar lajjaj
Nazar lajjaj adalah nazar yang bertujuan untuk memotivasi seseorang agar melakukan suatu hal, atau mencegah seseorang melakukan suatu hal, atau meyakinkan kebenaran sebuah kabar yang disampaikan oleh seseorang.
Contoh nazar lajjaj yang berupa motivasi adalah perkataaan seseorang “Jika aku tidak mengkhatamkan membaca Al Qur’an selama bulan puasa, maka aku akan menyantuni anak yatim selama 1 bulan”. Pengucapan nazar demikian bertujuan agar ia termotivasi segera mengkhatamkan bacaan Al Qur’an nya dalam waktu yang cepat, sebab jika hal tersebut tidak ia lakukan maka ia berkewajiban menyantuni anak yatim selama satu bulan. Sehingga nazar ini sejatinya dimaksudkan agar seseorang termotivasi atau semakin tertuntut untuk melakukan suatu hal yang bermanfaat baginya.
Contoh nazar lajjaj yang berupa pencegahan, seperti ketika seseorang mengatakan “Jika aku lalai dalam mengerjakan tugas kuliah, maka aku akan bersedekah senilai lima ratus ribu rupiah”. Nazar ini dimaksudkan agar dirinya tidak lalai dalam mengerjakan tugas kuliah. Sebab jika ia melakukan hal tersebut maka ia terkena beban kewajiban menyedekahkan uang lima ratus ribu rupiah. Sehingga nazar ini dimaksudkan agar seseorang tercegah untuk melakukan suatu hal yang tidak ia senangi.
Sedangkan contoh nazar lajjaj yang bertujuan untuk meyakinkan orang lain akan kebenaran suatu berita yang disampaikan oleh seseorang, misalnya seseorang setelah mengabarkan suatu berita pada orang lain mengatakan “Jika kabar yang aku sampaikan ini tidak benar, niscaya wajib bagiku untuk bersedekah senilai lima ratus ribu rupiah padamu”. Dengan ucapan ini, orang yang diajak bicara diharapkan akan merasa yakin atas kebenaran sebuah kabar yang disampaikan olehnya.
Kedua, Nadzar Tabarrur
Nazar tabarur adalah menyanggupi akan melakukan suatu ibadah (قربة) tanpa menggantungkannya pada suatu hal, atau menggantungkannya dengan suatu hal yang diharapkan (مرغب فيه). Nazar tabarrur ini juga dikenal dengan nama nazar mujazah.
Contoh nazar tabarur yang tidak digantungkan pada suatu hal, seperti ucapan “Aku bernazar akan bersedekah senilai lima ratus ribu rupiah” maka wajib bagi seseorang yang mengatakan hal tersebut untuk menyedekahkan uangnya senilai lima ratus ribu tatkala ia sudah memilikinya. Kewajiban menyedekahkan ini bersifat kewajiban yang lapang (وجوب الموسع), dalam arti seseorang tidak wajib untuk segera menyedekahkan uang tersebut (الفور) saat ia telah mampu, tapi bisa dilakukan kapan pun selama ia tidak memiliki keyakinan tidak akan memiliki uang senilai lima ratus ribu rupiah lagi.
Jika ia yakin tidak akan memiliki uang senilai lima ratus ribu rupiah selain pada waktu tersebut maka ia wajib menyedekahkan uangnya sebelum habis digunakan untuk keperluan lain (Syekh Abdul Hamid al-Makki As-Syarwani, Hawasyi As-Syarwani, juz 10, hal. 75).
Namun meski begitu, sebaiknya ia segera melaksanakan nazar agar segera pula terbebas dari tanggungan kewajiban. Sebab seringkali ketika pelaksanaan kewajiban ini diakhirkan, seseorang akan teledor hingga lupa tidak melaksanakannya.
Sedangkan contoh nazar tabarrur yang digantungkan pada sesuatu yang diharapkan, misalnya seperti ucapan “Jika Allah menyembuhkan penyakitku, aku akan bersedekah kepada 40 orang fakir miskin”. Kesembuhan penyakit merupakan sebuah hal yang diharapkan oleh seseorang, ketika penyakitnya telah sembuh, maka ia berkewajiban untuk memberikan sedekah kepada 40 orang fakir miskin sebagai wujud nazar tabarrur yang telah diucapkan olehnya.
Lantas, bagaimana jika ada seseorang yang sengaja tidak melaksanakan nadzarnya? Sebagaimana Firman Allah dalam QS. Al Maidah (5:89)
لَا يُؤَاخِذُكُمُ ٱللَّهُ بِٱللَّغۡوِ فِيٓ أَيۡمَٰنِكُمۡ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ ٱلۡأَيۡمَٰنَۖ فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطۡعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنۡ أَوۡسَطِ مَا تُطۡعِمُونَ أَهۡلِيكُمۡ أَوۡ كِسۡوَتُهُمۡ أَوۡ تَحۡرِيرُ رَقَبَةٖۖ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٖۚ ذَٰلِكَ كَفَّٰرَةُ أَيۡمَٰنِكُمۡ إِذَا حَلَفۡتُمۡۚ وَٱحۡفَظُوٓاْ أَيۡمَٰنَكُمۡۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).”
Ayat di atas menjelaskan bahwa sanksi (كفارة) bagi orang yang sengaja tidak melaksanakan nadzarnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin atau memberikan pakaian kepada mereka. Apabila tidak sanggup melaksanakannya maka sanksinya harus berpuasa selama 3 hari
Rasulullah juga bersabda:
حَدَّثَنَا آدَمُ : حَدَّثَنَا شُعْبَةُ : حَدَّثَنَا أَبُو جَمْرَةَ قَالَ : سَمِعْتُ زَهْدَمَ بْنَ مُضَرِّبٍ قَالَ : سَمِعْتُ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : خَيْرُكُمْ قَرْنِي ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، قَالَ عِمْرَانُ : لَا أَدْرِي أَذَكَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدُ قَرْنَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةً ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ بَعْدَكُمْ قَوْمًا يَخُونُونَ وَلَا يُؤْتَمَنُونَ ، ويَشْهَدُونَ وَلَا يُسْتَشْهَدُونَ ، وَيَنْذِرُونَ وَلَا يَفُونَ ، وَيَظْهَرُ فِيهِمُ السِّمَنُ
Artinya : “Sebaik-baik kalian adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya , kemudian generasi berikutnya.” Imran berkata, ‘aku tidak tahu penyebutan dua atau tiga kali setelah generasi beliau’, “Kemudian datang suatu kaum yang mereka bernadzar namun tidak mereka penuhi, mereka berkhianat dan tidak dapat dipercaya, mereka bersaksi padahal tidak di minta menjadi saksi, dan nampak tanda mereka adalah kegemukan.” (HR.Bukhari : 6201)
Tetapi sebenarnya, rasulullah menganjurkan agar umat muslim menjauhi nazar, sebab nazar termasuk ciri orang yang pelit, dikarenakan hanya mau berbuat kebaikan atau berbuat sesusatu jika hajatnya tercapai, tidak murni ikhlas karena beribadah atau hendak berbuat baik.
Jadi dianjurkan untuk tidak bernadzar, lebih baik kita niat beribadah semata-mata karena allah, bukan karena hajatnya atau keinginannnya terkabul.
Penulis merupakan mahasantri semester 3 angkatan Rihlah