Proses demokratisasi di negara kita dianggap penting dan tak terelakkan oleh banyak pengamat. Kemajuan yang telah dicapai, terutama dalam peningkatan kecerdasan rakyat dan pemerataan, membuka peluang bagi partisipasi sosial-politik atau meningkatkan tuntutan partisipasi jika struktur sosial-politik yang ada belum memenuhi kebutuhan tersebut.
Namun, pertumbuhan demokrasi dapat terhambat jika kita tidak mampu mendeteksi perubahan kualitatif yang terjadi dalam masyarakat kita. Kecerdasan umum yang meningkat membawa tuntutan yang lebih besar, termasuk partisipasi sosial-politik. Struktur yang tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dapat menghambat proses tersebut dan menyebabkan kekacauan. Namun, proses demokratisasi tidak akan berjalan lancar tanpa kesadaran kaum Muslim akan hak dan kewajiban sosial-politik mereka. Partisipasi politik di berbagai negara, termasuk negara berkembang seperi negara kita dan negara maju seperti Amerika Serikat, memiliki tantangan yang signifikan.
Misalnya, Robert Dahl mengamati bahwa rendahnya partisipasi politik di New Haven, Connecticut, tidaklah langka, melainkan merupakan fenomena umum yang cukup mengejutkan di Amerika. Dahl menyatakan bahwa perhatian utama dari pemilih di New Haven, seperti halnya di Amerika pada umumnya, bukanlah masalah-masalah politik baik di tingkat lokal, negara bagian, nasional, maupun internasional.
Menurut Dahl, semua hal tersebut berada di pinggiran perhatian, minat, kepentingan, dan aktivitas masyarakat. Fokus perhatian kebanyakan orang terpusat pada kegiatan-kegiatan primer seperti makanan, seks, percintaan, keluarga, pekerjaan, hiburan, tempat berlindung, kenyamanan, persahabatan, harga diri sosial, dan sebagainya. Data menunjukkan bahwa dua pertiga pemilih terdaftar mengutamakan masalah-masalah pribadi tersebut, sementara hanya seperlima dari mereka yang menunjukkan minat terhadap politik.
Dengan demikian, partisipasi politik di negara-negara tersebut dianggap sebagai masalah yang kompleks. Terdapat rendahnya minat dan perhatian masyarakat terhadap masalah politik, dan prioritas mereka lebih condong ke dalam kehidupan pribadi dan kegiatan sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan dalam meningkatkan partisipasi politik melibatkan pemahaman dan penanganan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi minat dan keterlibatan masyarakat dalam proses politik, Peringatan ini penting agar kita tidak membentuk bayangan dan harapan yang tidak realistis mengenai kemungkinan bentuk dan tingkat partisipasi politik di masa depan di negara kita
Pandangan Robert N. menyebutkan mengenai masyarakat Islam klasik sebagai “modern secara mencolok” mengacu pada pemahaman bahwa pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun (para khalifah yang bijaksana), terdapat beberapa aspek yang dapat dianggap modern dalam konteks sosial dan politik. Namun, Bellah juga mengakui bahwa sistem ini hanya bertahan selama masa kekuasaan empat khalifah pertama, sekitar tiga puluh tahun, sebelum digantikan oleh rezim Banu Umayyah yang lebih berbasis kekabilahan (tribal).
Salah satu alasan yang dikemukakan oleh Bellah mengenai kegagalan sistem ini adalah kurangnya infrastruktur sosial yang memadai untuk menopangnya. Ini mengacu pada fakta bahwa pada masa itu, meskipun terdapat prinsip-prinsip yang kuat dan ideal dalam pemerintahan dan kehidupan masyarakat, belum ada struktur sosial yang mapan atau lembaga-lembaga yang kuat untuk mengelola dan mempertahankan sistem tersebut.
Dalam konteks politik, kekuasaan berpusat pada individu yang memegang jabatan khalifah, dan tidak ada mekanisme yang jelas untuk pemilihan penggantinya atau pembagian kekuasaan yang terorganisir dengan baik.Selain itu, peralihan kekuasaan dari al-Khulafa’ al-Rasyidun ke rezim Banu Umayyah juga mencerminkan adanya perseteruan politik dan pertentangan kepentingan yang berkontribusi pada kegagalan sistem tersebut.
Rezim Banu Umayyah tidak hanya berbeda dalam sifat kekabilahan mereka, tetapi juga mendasarkan kekuasaan mereka pada faktor-faktor etnis, suku, dan kekerabatan, yang memberikan fondasi yang berbeda untuk pemerintahan mereka.Dalam konteks ini, penting untuk diingat bahwa pandangan Bellah adalah interpretasi tertentu dari sejarah dan masyarakat Islam klasik, dan terdapat berbagai perspektif yang berbeda dalam mengkaji dan mengevaluasi masa-masa tersebut. Meskipun ada kegagalan dalam mempertahankan sistem politik yang diinisiasi oleh al-Khulafa’ al-Rasyidun, tetapi pengaruh dan warisan mereka tetap menjadi teladan penting dalam pemikiran politik dan kehidupan umat Islam hingga saat ini.”
Bellah menganggap masyarakat Islam paling dini sebagai modern karena beberapa alasan. Salah satunya adalah tingginya tingkat partisipasi politik yang terbuka di berbagai lapisan masyarakat. Selain itu, keterbukaan dan kesempatan untuk menguji kemampuan dalam posisi kepemimpinan juga menjadi faktor penting. Pemilihan berdasarkan ukuran-ukuran universal, yang berlaku bagi semua orang, menjadi simbol dalam upaya untuk mengukuhkan kepemimpinan tanpa mempertimbangkan warisan atau keturunan. Meskipun metode pemilihan pada masa tersebut mungkin berbeda, konsep ini menunjukkan bahwa kualifikasi dan prestasi individu menjadi faktor utama dalam menentukan kepemimpinan.[1]
Kesadaran ini mendasar dan umum, dinyatakan dalam “Al-i’tibar fi al-jahiliyah bi al-ansab wa al-i’tibar li al-islam bi al-a’mal” (Penghargaan dalam era Jahiliyah berdasarkan keturunan, dan penghargaan dalam Islam berdasarkan prestasi). Dalam istilah sosial modern, sistem masyarakat Islam adalah universalistik dan terbuka, menggunakan prestasi sebagai ukuran penilaian seseorang. Sementara itu, masyarakat Jahiliyah atau serupa dengannya adalah masyarakat yang berbasis keturunan dan tertutup, menggunakan faktor keturunan sebagai ukuran penilaian seseorang. Seperti yang diungkapkan oleh Ibn Taymiyah, masyarakat Arab Jahiliyah memberikan prioritas kepada anggota keluarga kepala suku (ahl bayt al-ru’asa), begitu juga masyarakat Persia yang memberikan prioritas kepada anggota keluarga kerajaan (ahl bayt al-malik).
Karakteristik utama dari masyarakat universalistik seperti Islam adalah adanya kesempatan partisipasi sosial-politik yang luas, sedangkan masyarakat partikularistik membatasi partisipasi hanya pada kelompok yang memenuhi syarat berdasarkan ukuran-ukuran tertentu.
Dalam konteks masa awal Islam, tindakan politik ‘Umar ibn al-Khattab, Khalifah kedua, sering dijadikan contoh partisipasi politik yang melibatkan seluruh warga. Namun, sebenarnya tindakan ‘Umar (dan Abu Bakr sebelumnya) hanyalah peniruan dari apa yang telah diajarkan oleh Sunnah Nabi dan sesuai dengan petunjuk dalam Kitab Suci. Partisipasi sosial-politik sebenarnya merupakan manifestasi dari ajaran tentang musyawarah atau syura, yang merupakan gambaran ideal dalam Kitab Suci mengenai masyarakat orang-orang yang beriman:
وَٱلَّذِينَ ٱسْتَجَابُوا۟ لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ
“Dan segala urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka…” (Q.S. 42:38).
A. Yusuf Ali memberikan komentar sebagai berikut terkait dengan ayat suci ini:
“Musyawarah” adalah kata kunci dalam surat ini, menunjukkan pendekatan ideal yang harus diadopsi oleh individu yang baik dalam segala urusannya. Pendekatan ini membantu mencegah sikap egois yang berlebihan sambil tetap bertanggung jawab atas tanggung jawab yang diberikan sebagai individu yang menjadi perhatian Tuhan. Prinsip ini sepenuhnya dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan pribadinya maupun dalam tindakan publiknya, dan juga diikuti sepenuhnya oleh para penguasa Islam pada masa awal. Pemerintahan perwakilan modern merupakan upaya yang belum sempurna untuk menerapkan prinsip ini dalam urusan negara.
Yusuf Ali menegaskan bahwa Nabi selalu melakukan musyawarah dalam semua perkara, kecuali dalam masalah agama murni. Thaha Husayn juga sejalan dengan pandangan ini, bahwa Nabi bermusyawarah dengan para sahabat dalam perkara yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an dan tidak diberikan wahyu langsung, maka para sahabat memiliki hak untuk memberikan pendapat dan usulan di luar keputusan yang pasti akan diambil oleh Nabi.
Contohnya adalah saat Nabi menempatkan pasukan dalam Perang Badar, dan al-Hubab ibn al-Mundzir bertanya apakah itu perintah Allah atau musyawarah. Nabi menjawab bahwa itu hanya pendapat dan musyawarah. Kemudian al-Hubab mengusulkan posisi lain yang lebih cocok, dan Nabi menerima usulannya.
Jadi Nabi saw, telah meletakkan dasar-dasar sistem sosial-politik yang terbuka, yang memberi keleluasaan bagi adanya partisipasi warga masyarakat kaum beriman. Inilah yang dimaksudkan Bellah bahwa dasar-dasar yang diletakkan oleh Nabi itu kemudian dikembangkan oleh para pengganti (khalifah) sesudahnya, dan menghasilkan tatanan sosial-politik yang untuk ruang dan waktunya sangat modern.Tingkah laku kepemimpinan politik ‘Umar, misalnya, dilukiskan oleh Thaha Husayn sebagai berikut:
“Nabi Muhammad saw. telah membentuk sistem sosial-politik yang terbuka, memungkinkan partisipasi warga masyarakat beriman. Prinsip-prinsip ini kemudian dikembangkan oleh para khalifah setelahnya, menciptakan tatanan sosial-politik yang modern. Contoh kepemimpinan politik ‘Umar menunjukkan pendekatan yang didasarkan pada pencarian solusi dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi.
Jika tidak ditemukan petunjuk yang jelas, ijtihad (penalaran) pribadi digunakan dengan mempertimbangkan kebaikan orang Muslim. ‘Umar selalu mendorong musyawarah dengan para sahabat Nabi untuk mendapatkan saran yang baik. Gubernur dan hakim juga diinstruksikan untuk bertindak dengan prinsip yang serupa, melakukan ijtihad setelah mempelajari Al-Qur’an dan Sunnah, dan tidak ada petunjuk yang tepat dalam sumber-sumber tersebut”.
[1] It is modern in the high degree of commitment, involvement, and participation expected from the rank-and-file members of the community. It is modern in the openness of its leadership position to ability judged on universalistic grounds and symbolized in the attempt to institutionalize a nonhereditary leadership (Ibid.)
Penulis merupakan mahasantri angkatan Mutawatir