Penulis: Khatimul Hasan
Anjing dikenal sebagai hewan yang cerdik, mudah jinak, dan mudah untuk dilatih. Namun dalam banyak literatur fikih dijelaskan bahwa anjing adalah salah satu hewan yang liur dan kotorannya dihukumi najis. Bahkan cara menyucikan najisnya tergolong najis berat (najis mughaladzah) yang harus dibasuh tujuh kali dan salah satunya dicampur tanah. Demikian pandangan fikih madzhab Syafi’i terhadap anjing.
Lalu bagaimana jika ada seorang muslim hendak memelihara anjing? Dalam sebuah hadis riwayat imam Muslim disebutkan:
من اقتنى كلبا ليس بكلب صيد ولا ماشية ولا أرض فإنه ينقص من أجره قيراطان كل يوم
“Barang siapa yang memelihara anjing yang bukan anjing pemburu, penjaga ternak, atau penjaga kebun, maka pahalanya akan berkurang sebanyak dua qirath setiap hari.” (HR. Muslim).
Selain dari pada hadist di atas, Imam Nawawi dalam kitab Minhajnya juga ikut berkomentar terkait hukum memelihara anjing. Beliau berkata:
أما اقتناء الكلاب فمذهبنا أنه يحرم اقتناء الكلب بغير حاجة ويجوز اقتناؤه للصيد وللزرع وللماشية
“Adapun memelihara anjing tanpa hajat tertentu dalam madzhab kami (madzhab Syafi’i) adalah haram. Sedangkan memeliharanya untuk berburu, menjaga tanaman, atau menjaga ternak maka hukumnya boleh.”
Dari sini jelas bahwa dalam madzhab Syafi’i haram hukumnya memelihara anjing tanpa ada alasan atau hajat tertentu. Berbeda dengan pendapat madzhab Maliki yang menyatakan bahwa di perbolehkan memelihara anjing sekalipun tanpa hajat tertentu. Hal ini dikarenakan ulama madzhab Maliki mempunyai ijtihad yang berbeda dalam memahami hadist tersebut.
Mereka berpendapat bahwa larangan Rasulullah Saw dalam hadist riwayat Muslim di atas hanya bersifat makruh tidak sampai taraf haram. Sedangkan berkurangnya pahala yang di jelaskan dalam hadis tersebut hanya bersifat preventif sebagaimana yang di jelaskan oleh imam Ibnu Abd al-Barr dalam kitabnya al-Istidzkar al-Jami‘ li Madzahib al-Fuqaha’ al- Amshar :
في هذا الحديث دليل على أن اتخاذ الكلاب ليس بمحرم وإن كان ذلك الاتخاذ لغير الزرع والضرع والصيد لأن قوله من اتخذ كلبا – [ أو اقتنى كلبا ] لا يغني عنه زرعا ولا ضرعا ولا اتخذه للصيد نقص من أجره كل يوم قيراط يدل على الإباحة لا على التحريم لأن المحرمات لا يقال فيها من فعل هذا نقص من عمله أو من أجره كذا بل ينهى عنه لئلا يواقع المطيع شيئا منها. وإنما يدل ذلك اللفظ على الكراهة لا على التحريم والله أعلم
“Pada hadist ini terdapat dalil bahwa memelihara anjing tidaklah haram sekalipun bukan untuk kepentingan penjagaan tanaman, ternak perah, dan berburu. Karena redaksi hadist “Barang Siapa yang menjadikan anjing atau memelihara anjing bukan untuk jaga tanaman, jaga ternak perah, atau berburu maka akan berkurang pahalanya sebanyak satu qirath” menunjukkan kebolehan bukan pengharaman. karena pengharaman tidak bisa ditarik dari pernyataan “Siapa yang melakukan ini maka akan berkurang amalnya atau pahalanya sekian.” Larangan itu dimaksudkan agar muslim yang taat tidak jatuh di dalamnya. Dan redaksi ini menunjukkan larangan makruh, bukan haram. Wallahu a‘lam,”
Dari perbedaan pendapat yang dikemukakan oleh para ulama di atas sebaiknya kita lebih berhati-hati lagi dalam melakukan suatu perkara dengan pertimbangan yang matang dan hendaknya kita juga memperhatikan maslahah dan mafsadah yang akan ditimbulkan oleh apa yang kita kerjakan.
Tentunya kita harus berkonsultasi dengan orang yang dipandang sebagai ahli dalam bidang tersebut. Sebaliknya kita juga diperintahkan untuk membebaskan orang lain untuk memilih pendapatnya. Dalam hal ini penulis cenderung memilih pendapat yang disampaikan oleh kalangan Syafi’iyah.
Wallahu a’lam.
Penulis merupakan anggota FBM Putra
Editor: Alfiya Hanafiyah