Hadist dari segi kuat dan lemah terbagi menjadi dua, maqbul (dapat diterima) dan mardud (tertolak). Hadist dho’if merupakan golongan dari hadis mardud.
Suatu hadist dikatakan dho’if apabila tidak memenuhi syarat hadist shohih dan hadist hasan. Kecacatan pada hadist dho’if dapat dilihat dari dua aspek, yaitu kecacatan pada keadilan perawi dan kecacatan pada kedhabitan perawi.
Adapun sebab cacat dari segi keadilan perawi mencakup lima hal, yakni: dusta, dianggap dusta, fasik, bid’ah, dan tidak diketahui biografinya.
Sedangkan, cacat dari segi kedhabitan perawi juga mencakup lima hal, yakni: salah berat, jeleknya hafalan, pelupa, banyak prasangka, dan bertentangan dengan perawi lain yang lebih tsiqqah.
Ada banyak macam hadist yang tergolong hadist dho’if yang disebabkan kecacatan pada keadilan dan kedhabitan perawi. Diantaranya, hadis maudhu’ dan matruk yang termasuk dalam kategori cacat pada keadilan perawi. Dan hadist munkar, syadz, mu’allal, dan masih banyak lagi yang termasuk dalam kategori cacat pada kedhabitan perawi.
Berikut uraian jenis-jenis hadist dho’if :
1. Hadist Maudhu’
Hadist maudhu’ merupakan hadist yang terdapat kecacatan pada perawinya karena ada yang berdusta. Suatu hadis dapat diketahui sebagai hadis maudhu’ dengan berbagai cara.
Mulai dari pengakuan orang yang membuat hadist palsu dengan sengaja atau dengan melakukan indikasi, seorang perawi bisa saja menambah atau bahkan mengurangi lafadz hadist untuk menarik perhatian.
Selain itu, kita juga dapat melihat pada hadistnya, apakah ada pertentangan (isinya) dengan al-Qur’an, sunnah, ijma’, serta akal. Hadist maudhu’ haram untuk diriwayatkan. Namun, apabila disertakan keterangan bahwa hadist tersebut maudhu’, maka hal tersebut diperbolehkan menurut jumhur ulama. Contoh hadist maudhu’,
ما روي عن غياث بن إبراهيم أنه دخل على المهدي فوجده يعلب بالحمام فساق في الحال إسنادا إلى النبي أنه قال: لَا سَبْقَ إِلَّا فِي نَصْلٍ، أَوْ خَفٌ، أَوْ حَافِرٍ، أَوْ جَنَاحٍ، فزاد غياث بن إبراهيم في الحديث أو جناح». فعرف المهدي أنه كذب لأجله، فأمر بذبح الحمام
“Diriwayakan dari Ghayyats bin Ibrahim, sesungguhnya ia masuk menemui Al-Mahdi yang ia jumpai sedang bermain dengan burung merpati. Maka segera ia menyampaikan hal yang disandarkan kepada Nabi bahwa beliau bersabda: “Tidak ada hadiah lomba kecuali pada unta atau kuda atau panahan atau sayap.” Kemudian Ghayyats bin Ibrahim menambahkan dalam hadist tersebut selipan lafadz ‘atau sayap’. Maka Al-Mahdi mengetahui bahwa ia berdusta di hadapannya itu, maka ia memerintahkan untuk menyembelih merpati tersebut.
Hadis di atas dikatakan maudhu’ dikarenakan adanya indikasi bahwa Ghayyats bin Ibrahim terbukti menambahi redaksi pada hadist nabi, dan hal tersebut diketahui oleh khalifah pada masa itu yakni khalifah Al-Mahdi.
2. Hadist Matruk
Berbeda tipis dengan hadist maudhu’. Hadist matruk merupakan hadist yang terdapat kecacatan pada perawinya karena adanya orang yang diduga berdusta.
Ciri-ciri hadist matruk ada tiga, pelaku diduga berbohong, bertentangan dengan qaidah ma’lum, dan orang yang diduga banyak salah dan lupa. Menurut kesepakatan ulama, hadist matruk tidak boleh digunakan sebagai hujjah. Contoh hadist matruk:
ما أخرجه ابن ماجه قال حدثنا محمد بن بشار، حدثنا محمد بن الحارث، عن محمد بن عبد الرحمن البيلماني، عن أبيه ، عن ابن عمر، قال: قال رسول الله ﷺ أن: الشُّفْعَةُ كَحَلِّ العِقَالِ». و محمد بن عبد الرحمن البيلماني، متهم بالكذب
“Diriwayatkan oleh Ibnu Majah berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Harits dari Muhammad bin ‘Abdurrahman Al Bailamani dari Bapaknya dari Ibnu Umar ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Syuf’ah itu seperti melepas belenggu.” Dan Muhammad bin ‘Abdurrahman Al Bailamani merupakan perawi yang diduga pendusta.
3. Hadist Munkar
Hadist munkar merupakan hadist yang perawinya salah berat, atau banyak lupa, ataupun jelasnya kefasikan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sikap profesional pada perawi hadist tersebut jelek.
Adapun hadist syadz dan hadist munkar adalah dua hadist yang berbeda. Perawi pada hadist syadz masuk kategori maqbul namun kedhabitannya kurang.
Sedangkan perawi pada hadist munkar masuk kategori dho’if dan bertentangan dengan perawi lain yang lebih tsiqqah. Di sisi lain, pengertian hadist munkar merupakan lawan dari hadist ma’ruf. Contoh hadist munkar:
ما أخرجه البيهقي في معرفة السنن والآثار ,عن أبي سعيد يحيى ابن سليمان الجعفي، قال: حدثني ابن وهب، قال: أخبرني يحيى بن أيوب، عن يحيى بن سعيد، عن جعفر بن أمية الضمري، عن أبيه: أَنَّ الصَّعْبَ بْنَ جُثَامَةَ أَهْدَى لِلنَّبِيِّ ﷺ عَجْزَ حِمَارِ وَحْشِ، وَهُوَ بالجُحْفَةِ، فَأَكَلَ مِنْهُ وَأَكَلَ القَوْمُ
“Diriwayatkan Imam Baihaqi di dalam kitab Ma’rifat As-Sunan Wa Al-Atsar, dari Abi Said Yahya ibnu Sulaiman Al-Ja’fi, berkata: Ibnu Wahab telah menceritakan kepadaku, ia berkata: Yahya bin Ayyub mengabarkan kepadaku, dari Yahya bin Said, dari Ja’far bin Umayyah Al-Damari, dari ayahnya, bahwa Sa’d bin Juthamah memberikan hadiah kepada Nabi ﷺ seekor keledai liar yang sedang terikat dengan tali, dan Nabi ﷺ dan orang-orang makan darinya.”
Hadis di atas tergolong hadis munkar, ada beberapa sebab yang menjadikannya sebagai hadist munkar. Muhadditsin seperti Imam Ahmad, Imam Nasa’I, Imam Abu Hatim, Imam Daruquthni menyebutkan bahwa Yahya bin Ayyub merupakan orang yang memiliki hafalan yang buruk, shaduq namun hadistnya tidak diperbolehkan digunakan berhujjah, dan hadistnya berisi perkara yang munkar/bertentangan.
Selain itu Abu Hatim juga menyebutkan, bahwa Yahya ibnu Sulaiman Al-Ja’fi tidaklah tsiqqoh. Tidak hanya itu, terdapat juga hadist lain yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang lebih tsiqoh.
Di dalamnya menjelaskan bahwa Rasulullah SAW dan para sahabat tidak memakan daging keledai tersebut, Rasulullah SAW justru menolak mentah-mentah pemberian tersebut. Dengan demikian hadist di atas patutlah digolongkan sebagai hadis munkar.
Sedangkan contoh hadist syadz,
ما رواه البيهقي في السنن الكبرى، من طريق حماد بن زيد، عن عمرو بن دينار، عن عوسجة مولى ابن عباس: أَنَّ رَجُلاً مَاتَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ الله ﷺ وَلَمْ يَدَعْ وَارثًا إِلَّا مَوْلَى لَهُ هُوَ أَعْتَقَهُ فَأَعْطَاهُ النَّبِيُّ المِيرَاثَهُ. قال البيهقي: «قال القاضي: هكذا رواه حماد بن زید مرسلا، ولم يبلغ به ابن عباس
“Diriwayatkan Imam Baihaqi di dalam kitab As-Sunan Al-Kubro, dari jalur periwayatan Hammad bin Zaid, dari Amr bin Dinar, dari ‘Ausajah Maula Ibnu Abbas bahwasanya seorang lelaki meninggal pada zaman Nabi SAW dan dia tidak meninggalkan seorangpun ahli waris kecuali seorang hamba yang telah dia merdekakan, lalu Rasulullah SAW memberinya (hambanya) harta warisannya. Imam Baihaqi berkata: Al-Qadhi berkata: Yang demikian diriwayatkan oleh Hammad bin Zaid secara mursal, dan redaksi hadist tersebut tidaklah sampai kepada Ibnu Abbas.”
4. Hadist Mu’allal
Hadis mu’allal merupakan hadist yang di dalamnya terdapat ‘illat atau cacat namun sulit untuk ditemukan dan tersembunyi. Hadist mu’allal pasti hadist mudallis, namun hadis mudallis belum tentu mu’allal. Contoh hadist mu’allal,
ما ورى ابن جريج عن موسى بن عقبة، عن سهيل بن أبي صالح، عن أبيه، عن أبي هريرة الله قال: قال رسول الله ﷺ: مَنْ جَلَسَ فِي مَجْلِسٍ فَكَثرَ فِيهِ لَغَطْهُ فَقَالَ قَبْلَ أَنْ يَقُومَ مِنْ مَجْلِسِهِ ذَلِكَ: سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ إِلا غُفِرَ لَهُ مَا كَانَ فِي مَجْلِسِهِ ذَلِكَ
“Diriwayatkan Ibnu Juraij dari Musa bin Uqbah, dari Suhail bin Abi Shalih, dari bapaknya, dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang duduk di sebuah majelis dan banyak berkata terjadi kegaduhan di dalamnya (bersenda gurau), kemudian sebelum beridiri ia mengucapkan, (doa penutup majelis), akan diampuni dosanya selama ia berada di majelisnya itu.”
Penulis merupakan anggota kajian hadist
Editor: Alfiya Hanafiyah