Wanita sebagai makhluk yang oleh al-Qur’an dianalogikan sebagai pakaian bagi laki-laki tentunya di desain sedemikian indahnya sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi laki-laki yang melihatnya. Namun sudah menjadi hal maklum bahwa sesuatu yang indah tentu tidak bisa didapatkan begitu saja, ada banyak prosedur dan proses yang harus dipenuhi untuk mendapatkannya. Oleh karena itu, Islam sangat membatasi pergaulan laki-laki dan perempuan jika ketentuan-ketentuan itu belum terpenuhi.
Dari sini kemudian muncul anjuran bagi wanita untuk memakai cadar supaya terhindar dari sesuatu yang memiliki tendensi terhadap hal negatif. Namun belakangan ini banyak sekali isu-isu dan asumsi negatif terkait wanita yang bercadar bahkan sebagian ada yang mengasumsikan wanita bercadar sebagai framing terorisme dan radikalisme yang hal itu tentu sangat bertolak belakang dengan tujuan cadar dalam agama Islam yang bertendensi pada substansi yang positif.
Terlepas dari apa yang melatarbelakangi adanya isu-isu dan tuduhan tersebut, entah memang bertujuan untuk mendiskreditkan umat Islam atau mungkin hanya sebatas kesalahpahaman, yang pasti itu sangat menyakiti dan menodai agama Islam karena sumber dari anjuran bercadar adalah ajaran agama Islam. Sedangkan Islam tidak mengajarkan tindakan kekerasan, anarki, terorisme dan tindakan jahat lainnya sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.” (QS. An-Nuur: 31).
Dalam memahami kutipan ayat di atas, Imam Bukhari dalam shahihnya menyebutkan sabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam :
لمَّا نزلت ْهذه الآيةُ : { وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ } . أخذْنَ أزُرَهنَّ فشَقَقْنَها من قِبَلِ الحَوَاشِي ، فاخْتَمَرْنَ بها
“Ketika turun ayat :
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنّ جُيُوبِهِنَّ
para wanita shahabiyah mengambil kain-kain mereka, kemudian mereka merobeknya dari ujung-ujungnya lalu mereka menjadikannya sebagai khimar (penutup kepala).”
Dari hadits di atas, kemudian Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fath al-Baari memberi kesimpulan, beliau berkata:
قَوْلُهُ فَاخْتَمَرْنَ أَيْ غَطَّيْنَ وُجُوهَهُنَّ وَصِفَةُ ذَلِكَ أَنْ تَضَعَ الْخِمَارَ عَلَى رَأْسِهَا وَتَرْمِيَهُ مِنَ الْجَانِبِ الْأَيْمَنِ عَلَى الْعَاتِقِ الْأَيْسَرِ
“Adapun yang dimaksud (berkhimar dengannya) maksudnya adalah mereka menutup wajah-wajah mereka dengan meletakkan khimar tersebut di atas kepala mereka lalu menjulurkan kainnya dari sisi kanan ke bahu yang kiri.”
Kesimpulan Ibnu Hajar tersebut melahirkan pemahaman bahwa para sahabiyah memahami ayat di atas sebagai perintah untuk menutup tubuh mereka termasuk wajah dengan “cadar”. Jadi sampai kapanpun cadar tetaplah ajaran agama Islam yang tidak bisa dihubungkan dan diidentikkan dengan ciri terorisme. Wajar jika perempuan yang beragama Islam banyak yang memilih untuk memakai cadar, karna selain mereka merealisasikan anjuran agama, merereka juga lebih aman dari fitnah dan godaan lawan jenisnya.
Cadar memang selalu menjadi sasaran utama bagi orang-orang yang tidak menyukainya untuk diasumsikan negatif. Bahkan pemerintah, dalam hal ini Kemenag, telah melarangnya bagi yang berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal demikian disebabkan adanya asumsi bahwa cadar adalah atribut radikal.
Menegasikan tindakan radikal dan teror yang dilakukan sejumlah perempuan pemakai cadar dengan cara melarangnya rasanya memang kurang bijak, sebab melakukan generalisasi terhadap semua perempuan bercadar merupakan pandangan yang sama sekali absurd, tentu saja tidak bijak dan itu adalah bentuk generalisasi sepihak yang pastinya merugikan terhadap pihak lain dan mengakibatkan Islam phobia.
Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin tentunya sangat memprioritaskan kedudukan wanita setelah sebelumnya pada masa jahiliah wanita di asumsikan sebagai pembawa malapetaka bagi orang yang melahirkannya.
Salah satu bukti konkretnya adalah ketika Rasulullah memberikan pernyataan bahwa surga berada di telapak kaki ibu, tidak ada satupun perbandingan dalam Islam melebihi perbandingan yang dikhususkan untuk wanita. Bagaimana tidak, surga yang konotasinya selalu berdampingan dengan kemuliaan dan keagungan dianalogikan dengan kaki yang selalu ada dibawah dan identik dengan hal yang bersifat rendah. Jadi sangat mustahil jika anjuran bercadar ada kaitannya dengan terorisme ataupun radikalisme.
Wallahu a’lam bisshowaab.
Penulis merupakan mahasantri semester 3 angkatan Mutawatir
Editor: Alfiya Hanafiyah