Penulis: Alfiya Hanafiyah
Di belakang orang yang hebat ada sosok wanita hebat pula. Ungkapan ini popular kita dengar. Demikian pula yang terjadi pada sosok ulama besar bidang hadist, yakni Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Ia merupakan salah satu imam fiqh yang sangat ahli dalam bidang hadist. Begitu dahsyat kealiman Imam Ahmad bin Hanbal dalam bidang hadist sehingga dirinya menjadi rujukan para guru, ulama, dan muridnya.
Keberhasilan Imam Ahmad bin Hanbal tidak bisa dipisahkan dari perjuangan ibundanya. Ibunda Imam Amad bin Hanbal bernama Shafiyah binti Maimunah binti Abdul Malik. Shafiyah adalah sosok perempuan yang cerdas, tegar, dan tidak pernah mengeluh. Terbukti saat ia berhasil membesarkan Imam Ahmad bin Hanbal seorang diri setelah suaminya wafat saat Imam Ahmad berusia tiga tahun. Meski begitu, ia tidak menikah lagi dan mendedikasikan hidupnya untuk mengasuh dan mendidik anaknya.
Shafiyah rela berimigrasi ke Baghdad karena ingin mengader putranya agar menjadi orang yang berilmu. Ia sengaja membesarkan putranya di kota Baghdad sehingga sang putra menjadi dekat dengan para ulama. Dan karena saat itu Baghdad menjadi pusat cahaya ilmu dan pengetahuan.
Shafiyah merawat Imam Ahmad dengan baik. Ia menitipkan anaknya kepada seorang guru al-Qur’an untuk mengajarinya bacaan al-Qur’an. Tanda-tanda kecerdasannya itu terbukti, saat Imam Ahmad kecil mampu menyelesaikan hafalan al-Qur’an di usianya yang masih belia.
“Ibundakulah yang telah menuntun diriku hingga aku hafal al-Qur’an ketika masih berusia 10 tahun. Ia selalu membangunkan aku jauh lebih awal sebelum waktu shalat subuh tiba, memanaskan air untukku karena cuaca di Baghdad sangat dingin, lalu memakaikan baju dan kami pun menunaikan shalat semampu kami,” ucap Imam Ahmad bin Hanbal.
Usai menunaikan shalat malam, Shafiyah pergi ke masjid dengan mengenakan cadar untuk menunaikan shalat Subuh bersama sang putra. Hal ini ia lakukan semenjak Imam Ahmad berusia 10 tahun. Ketegaran dan ketakwaan Shafiyah telah mendarah daging kepada putranya, Imam Ahmad. Sebuah kebiasaan-kebiasaan mulia yang dilakukan Shafiyah kepada putranya tidaklah mudah. Terlebih, ia melakukannya hanya seorang diri. Ia benar-benar mengamalkan nasihat agama bahwa ibu adalah madrasah utama bagi anak-anaknya.
Ketika Shafiyah merasa telah cukup mengajarkan ilmu dan adab kepada putranya, ia pun berpesan kepada Imam Ahmad melanjutkan upaya pencarian ilmunya. Ketika Imam Ahmad bin Hanbal hendak berangkat merantau, sambil mengemas barang-barang bawaan, Shafiyah berkata kepada putranyaa itu:
“Anakku, pergilah untuk menuntut ilmu hadist karena hal itu adalah salah satu bentuk hijrah di jalan Allah! Sesungguhnya, Allah jika dititipi sesuatu, Dia akan selalu menjaga titipan tersebut. Jadi, aku titipkan dirimu kepada Allah yang tidak akan membiarkan setiap titipan terlantar begitu saja.”
Sejak itulah, Imam Ahmad bin Hanbal pergi dari sisi sang ibunda tercinta menuju kota Madinah, Mekkah, dan Shan’a. Akhirnya, saat telah berhasil dan pulang ke kampung halaman, ia menyandang gelar imam. Ia dikenal sebagai imam dalam hadist dan fiqh.
Besarnya perhatian Shafiyah binti Abdul Malik terhadap masa depan putranya patut dijadikan inspirasi. Betapa menjadi single parent yang serba kekurangan tidak membuatnya berkecil hati untuk mengupayakan anaknya menjadi seorang yang ahli ilmu.
Penulis merupakan mahasantri semester 4
Editor: Alfiya Hanafiyah