Dear Kawan Ma’had Aly
Jika Gus Dur dengan “NU Muda” nya berusaha mengusung tajdid istinbath hukum NU, maka Kiai As’ad Syamsul Arifin dengan “NU Tua” nya menginisiasi pendirian lembaga tingkat tinggi pesantren yang bernama “Ma’had Aly”. Gagasan ini merupakan jawaban kaum santri atas kekhawatiran krisis kelangkaan ulama yang telah lama didengungkan Menteri Agama saat itu, Munawir Syadzali.
Gagasan Ma’had Aly ini lantas turut menjadi hasil keputusan Muktamar NU Situbondo 1984. Desain kelembagaannya lantas dimatangkan secara maraton dalam Munas Alim Ulama Cilacap 1987, dan Munas RMI Watucongol 1988. Artinya, proses dinamisasi istinbath LBM NU yang dimotori NU Muda, juga disambut oleh NU Tua dengan pendirian Ma’had Aly. Selang dua tahun (1990), Ma’had Aly Li al-‘Ulum al-Diniyah Qishm al-Fiqh berdiri di Sukorejo Situbondo. Visinya jelas, melahirkan ulama yang FAQIHU ZAMANIHI.
Lantas apa korelasi antara kedua “makhluk baru” NU ini?
Tajdid istinbath yang dilakukan dengan cara pembaruan tanpa membongkar tradisi (dari qauli ke manhaji) mampu mengubah persepsi para peneliti LN akan ortodoksi kaum tradisionalis pesantren. Martin Van Bruinessen bahkan menilai NU lebih inklusif dan visioner dibandingkan kaum modernis sekalipun. Keren gak tuch…?
Sedangkan Ma’had Aly Situbondo sebagai pilot projek Ma’had Aly pertama di Indonesia, juga telah berhasil mengembangkan tajdid istinbath hukum bercorak manhaji (metodologis) yang bertumpu pada ushul fikih dan qawaid fiqhiyah, dengan ilmu maqasid sebagai konsideran. Langkah berani ini nyatanya belum banyak ditempuh oleh pesantren atau Ma’had Aly lainnya.
Padahal al-Zuhaili dah berkampanye:
إن باب الاجتهاد مفتوح لكل ذي بصيرة، حتى لا يحرم إنسان من التدرب والنظر، وحرية الفكر، وإعمال مواهبه
“Pintu ijtihad terbuka bagi setiap orang yang memiliki wawasan, sehingga tidak ada yang dilarang untuk berlatih, memikirkan, memiliki kebebasan berpikir, dan mengembangkan bakatnya”.
Wallahu A’lam
15.01.24
Penulis merupakan dosen Mahad Aly Hasyim Asy’ari
Editor: Alfiya Hanafiyah