“Semua sahabat itu ‘adil.” Kalimat ini merupakan kaidah dasar dalam ilmu al-jarh wa al-ta’dil yang diketahui oleh seluruh para pengkaji hadis. Semuanya sepakat bahwa berita yang dibawa oleh para sahabat itu tidak mungkin bohong. Sehingga tidak perlu diteliti kembali tentang kualitas seorang sahabat sebagai perawi hadis.
‘Adalah dalam istilah hadist merupakan kondisi seorang rowi dimana dia jauh dari sifat kefasikan dan sifat-sifat yang dapat menjatuhkan martabatnya. Seorang yang ‘adil selalu berusaha untuk menjauhi segala bentuk perbuatan jelek seperti melakukan perkara-perkara syirik, fasik atau bid’ah.
Tidak hanya itu, seoarang dikatakan ‘adil jika dia mampu menjauhi atau setidaknya tidak melakukan dosa kecil secara terus-menerus serta menjauhi segala hal yang dianggap tidak baik dan menurunkan martabatnya sebagai seorang rowi.
Syekh Luqman al-Hakim al-Azhari dalam kitabnya Imdadul Mughis menjelaskan bahwa seorang rowi dikatakan ‘adil jika memenuhi lima syarat yaitu : Islam, baligh, berakal, bertaqwa dan menjaga muru’ah. Maka seorang rowi dapat dikatakan ‘adil jika memenuhi syarat tersebut.
Syekh Luqman juga kemudian menambahi bahwa legal formal seorang rowi dikatakan sebagai rowi yang ‘adil jika terdapat satu diantara tiga hal berikut. Pertama, ke’adalahannya terkenal diantara ahli ilmu. Kedua, ke’adalahannya sudah tersebar dikhalayak umum seperti Imam madzhab empat. Ketiga, mendapat pengakuan dari dua ulama atau satu ulama.
Syekh Abdul Karim Khodir juga menjelaskan dalam kitab Syarah Baiquniah-nya bahwa tolak ukur ‘adl adalah ketakwaan dan bermartabat. Seorang yang bertakwa pasti menjauhi perkara yang dilarang dan melakukan sebuah kewajiban. Sedangkan seorang yang bermartabat adalah orang selalu menjaga adab serta berakhlakul karimah.
Lantas bagaimmana dengan sahabat yang diceritakan Nabi Saw. pernah melakukan kemaksiatan?
Pengertian Sahabat
Imam Nawawi dalam Taqrib-nya menjelaskan bahwa sahabat adalah orang yang melihat Rasulullah Saw. Tetapi pengertian ini masih perlu diuraikan kembali karena masih menimbulkan banyak pertanyaan. Lantas bagaimana dengan sahabat yang tidak bisa melihat seperti Ibnu Ummi Maktum. Apakah melihatnya harus dalam keadaan Islam atau tidak. Lantas bagaimana dengan sahabat yang pernah murtad seperti Abdullah bin Abi Saroh. Dan bagaimana jika melihatnya di saat belum masuk Islam.
Pengertian diatas juga belum menjawab rumusan masalah diatas. Seandainya seluruh sahabat itu ‘adil maka berdasarkan pengertian diatas maka seluruh sahabat adalah orang-orang yang tidak pernah melakukan hal-hal haram dan selalu menjaga muru’ahnya.
Kita tahu bahwa dalam sejarah agama Islam terdapat peristiwa-peristiwa yang menggugah nalar kritis kita seperti perang Shiffin antara Ali dan Muawiyah atau perang Jamal antara Ali dan Aisyah. Kita juga mengenal sahabat-sahabat yang lain seperti Nu’aiman yang dalam satu riwayat termasuk sahabat yang pernah mabuk. Begitu juga sahabat Abdullah bin Abi Saroh yang pernah keluar dari Islam.
Tentu peristiwa-peristiwa seperti ini menimbulkan pertanyaan besar, lantas bagaimana konsep ‘adalah bagi para sahabat, bukankah peristiwa itu secara tidak langsung menafikan ke’adalahan seorang sahabat?
Sahabat merupakan orang yang bertemu dengan Nabi Muhammad Saw. dalam keadaan muslim dan wafat dalam keadaan muslim juga. Maka dari definisi ini Ibnu Ummi Maktum termasuk kedalam sahabat walaupun buta, begitu juga dengan Abdullah bin Abi Saroh walaupun pernah keluar dari Islam tetapi beliau wafat dalam keadaan islam.
Ke’adalahan seorang sahabat berbeda dengan keadalahan para rowi lainnya. Legal formal ke’adalahan para sahabat bukanlah respon dari para ulama hadist tetapi ke’adalahannya mendapat pengakuan langsung dari Allah dan Rasul-Nya.
“Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras terhadap orang-orang kafir (yang bersikap memusuhi), tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud (bercahaya). Itu adalah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu makin kuat, lalu menjadi besar dan tumbuh di atas batangnya. Tanaman itu menyenangkan hati orang yang menanamnya. (Keadaan mereka diumpamakan seperti itu) karena Allah hendak membuat marah orang-orang kafir. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS: Al-Fath [48]: 29)
Di satu kesempatan, Nabi Saw. juga menyampaikan suatu hadist yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id : “Janganlah kalian mencaci sahabat-sahabatku. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalaupun sekiranya seorang dari kalian menginfakkan sebesar Uhud, (hal itu) tidak akan menyamai infak satu mud atau setengah mud dari salah seorang mereka.”
Keduanya sudah cukup menjadi dalil bahwa para sahabat bagaimanapun keadaannya dalam perspektif wahyu merupakan seorang yang ‘adl. Di satu sisi penolakan terhadap ke’adalahan sahabat karena dianggap melakukan sebuah dosa juga memiliki pengaruh dalam proses penyebaran syari’at Islam.
Imam al-Haromain menyampaikan sebab tidak adanya proses pemeriksaan terhadap ke’adalahan para sahabat karena peran mereka sebagai pembawa syari’at, seandainya muncul keragu-raguan terhadap periwayatan para sahabat tentu syari’at akan terhenti di zaman Nabi saja.
Sehingga menurut pendapat jumhur ulama bahwa seluruh sahabat terlepas bagaimana latar belakangnya tetap dihukumi ‘adl. Cukuplah ucapan Ibnu Shalah sebagai kesimpulan dari tulisan ini bahwa: “Sesungguhnya umat Islam telah sepakat untuk menempatkan para sahabat dalam kedudukan yang adil, termasuk yang terlibat konflik fitnah diantara mereka. Kesepakatan para ulama ini merupakan wujud berbaik sangka karena memandang semua hamparan kebaikan pada diri mereka. Betapa Allah Swt. telah merestui ijma’ para ulama atas kedudukan mulia para sahabat, karena merekalah yang telah menjaga keberlangsungan dan kelanjutan syari’at.”
Penulis merupakan anggota kajian Hadist
Editor: Alfiya Hanafiyah