Hadis merupakan elemen penting kedua setelah al-Qur’an yang dimiliki oleh umat muslim di seluruh belahan dunia. Diantara fungsi hadis adalah sebagai dasar acuan untuk menentukan atau menjelaskan suatu hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an.
Sebagaimana dijelaskan Allah Swt. dalam surah al-Hasyr ayat 7 berikut:
وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
Ilmu hadis sendiri mempunyai tatanan kaidah secara independen untuk memastikan keorisinilan hadis dengan meninjau kepribadian seorang perawi hadis yang dilihat dengan konsep jarh wa ta’dil, diantaranya yaitu memiliki sifat dlabit.
Menurut Mahmud Thahan dalam kitab Taysir Musthalah al-Hadis:
والضبط: ويعنون به أن يكون الراوي غير مخالف للثقات ولا سيء الحفظ ولا فاحش الغلط ولا مغفلا ولا كثير الأوهام
“Sedangkan dlabit ialah periwayatan perawi tidak bertentangan dengan perawi siqah lainnya, hafalannya tidak jelek, jarang salah, tidak lupa, dan tidak keliru.”
Namun di masa imam an–Nawawi syarat kedlabitan seorang rawi mengalami penurunan yang drastis, padahal kita ketahui bahwasanya kedlabitan yang kuat adalah persyaratan penting yang harus dimiliki seorang perawi hadis.
sebagaimana yang diceritakan pada kitab Tadrib ar-Rawi:
الثَّانِيَةَ عَشْرَةَ: أَعْرَضَ النَّاسُ هَذِهِ الْأَزْمَانَ عَنِ اعْتِبَارِ مَجْمُوعِ الشُّرُوطِ الْمَذْكُورَةِ لِكَوْنِ الْمَقْصُودِ صَارَ إِبْقَاءَ سِلْسِلَةِ الْإِسْنَادِ الْمُخْتَصِّ بِالْأُمَّةِ فَلْيُعْتَبَرْ مَا يَلِيقُ بِالْمَقْصُودِ، وَهُوَ كَوْنُ الشَّيْخِ مُسْلِمًا بَالِغًا، عَاقِلًا، غَيْرَ مُتَظَاهِرٍ بِفِسْقٍ، أَوْ سُخْفٍ، وَفِيضَبْطِهِ، بِوُجُودِ سَمَاعِهِ مُثْبَتًا بِخَطِّ غَيْرِ مُتَّهَمٍ، وَبِرِوَايَتِهِ مِنْ أَصْلٍ مُوَافِقٍ لِأَصْلِ شَيْخِهِ.
(تدريب الراوي في شرح تقريب النواوي )
“Diceritakan pada ibarat tersebut, muhadis pada zaman imam Nawawi mengeluhkan tentang standar kedlabitan yang tinggi untuk kalangan muhadis pada saat itu dengan maksud untuk menetapkan kemusalsalan suatu hadis yang akan disampaikan kepada umat. Sehingga mereka mencoba melakukan lobi terkait penurunan syarat kedobitan berupa :
1. Muslim
2. Baligh
3. Berakal
4. Tidak menampakkan kefasikannya
5. Periwayatannya tidak bertentangan dengan riwayat gurunya.”
Hal tersebut jelas bertentangan dengan persyaratan yang telah ditetapkan oleh para ulama hadis terdahulu, padahal secara mutlak dan diketahui hadis mempunyai tatanan yang independen terkait isi dan perawi hadisnya, dan hal ini jelas tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun dalam keadaaan apapun karena hal ini nantinya akan berkaitan dengan keorisinilan kalam yang disampaikan oleh baginda nabi Muhammad Saw. 14 abad yang lalu hingga sampai ke kita pada hari ini melalui para perawi-perawi hadis.
Ditambahi pernyataan dari guru kami al-mukarrom ustadz Najib, betapa kalibernya seorang imam Nawawi di bidang hadis pada zamannya, sehingga imam Nawawi masih memiliki kedlabitan yang sama seperti pendahulunya. Beliau menambahkan, bahwasanya kita harus menyadari pada masa imam Nawawi saja syarat kedlabitan suatu rawi sudah mengalami penurunan yang luar biasa, apalagi di zaman kita sekarang ini.
Wallahua’alam.
Penulis merupakan mahasantri semester 2
Editor: Alfiya Hanafiyah