Bernama asli Sulaiman bin al-Asy’asy bin Ishaq al-Usdi al-Sijistani.[1] Dari namanya saja, Imam Abu Dawud jelas bukan berasal dari negeri Arab, sebagaimana para Imam sebelumnya, banyak dari mereka juga bukan berasal dari Arab, melainkan luar Arab, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Nasa’i, juga berasal dari Sijistani, sebuah negeri Muslim di Asia Tengah yang kini termasuk bekas wilayah Uni Soviet. Di negeri itu Abu Dawud lahir, pada tahun 202 H/ 817 M.
Bukan hal yang mengherankan jika sejak kecil Abu Dawud memang sudah mencintai ilmu hadis dan bergaul dengan para ulama kala itu, alasan ini karena bapak dari Abu Dawud yaitu al-Asy’ats bin Ishaq adalah seorang perawi hadis yang meriwayatkan hadis dari Hamad bin Zaid, dan demikian juga saudaranya Muhammad bin al-Asy’ats termasuk seorang yang menekuni disiplin ilmu hadis.[2]
Lingkungan telah membentuk minat dan kepribadian Abu Dawud sejak kecil. Meski demikian, pengembaraan beliau menuntut ilmu tetap membawanya keluar dari Sijistan, mengunjungi para ulama demi belajar ilmu hadis kepada para ulama tersebut. Beliau sudah mengambara ke Hijaz, Syiria, Khurasan, dan berbagai kawasan lainnya yang menjadi pusat ilmu dan kebudayaan pada saat itu. Tradisi mengembara sudah menjadi keharusan bagi siapa saja yang ingin mencari ilmu kala itu.[3]
Abu Dawud sudah berkecimpung dalam bidang hadis sejak berusia belasan tahun. Hal ini diketahui mengingat pada tahun 221 H, dia sudah berada di Baghdad, dan di sana dia menemui kepergian Imam Muslim sebagaimana yang dia katakan: “Aku menyaksikan jenazahnya dan menyalatkannya.”[4]
Atas permintaan gubernur Bashrah, saudara khalifah al-Muwafiq, ia diminta menetap di Bashrah, disana ia mengajar dan menulis kitab-kitab. Abu Dawud pun memenuhi permintaan gubernur itu. Diantara keindahan cahaya Islam kala itu, setiap penguasa muslim berlomba-lomba mengharumkan daerahnya dengan ilmu pengetahuan. Tradisi itu senantiasa menjadi program setiap penguasa pada masa itu.[5]
Abu Dawud disebut-sebut sebagai penganut mazhab Hanbali, sebab ia adalah murid pilihan Imam Ahmad bin Hanbal dalam bidang hadis, bukan dalam bidang fiqih. Abu Ishaq al-Syairazi dalam Thobaqot al-Fuqaha, dan Qadhi Abu al-Husein bin Abu Ya’la dalam Thobaqot al-Hanabilah mencantumkan Abu Dawud sebagai penganut mazhab Hanbali.[6]
Mengenai karyanya, kitab Sunan Abu Dawud, begitu disebutnya, berbeda dengan kitab Jami’, Musnad, atau yang lainnya. Jika Jami’ mencangkup semua tema keagamaan, sedangkan Sunan hanya memuat hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah fiqih saja. Sistematika penulisan hadis di dalamnya pun biasanya mengikuti tema-tema yang lazim dengan susunan kitab fiqih. Adapun Musnad, adalah kitab hadis yang disusun berdasarkan sanad mata rantai periwayatan hadis dari para sahabat Nabi.
Para ulama sebelum Abu Dawud telah menyusun kitab-kitab seperti yang telah dijelaskan di atas dan sejenisnya. Mereka kemudian memasukan dalam sunah-sunah dan hukum-hukum yang ada, unsur berita, cerita, adab dan nasihat. Dalam kitab Sunan yang murni, belum ada seorang ulama pun yang bermaksud memisahkan dan mengkhususkannya (dari unsur berita, cerita, adab, dan lain-lain).
Sampai akhirnya datanglah Abu Dawud, yang kemudian mengumpulkan secara spesifik hadis-hadis tentang hukum, dan tidak memasukan unsur-unsur lainnya. Ia telah melakukan apa yang tidak dilakukan orang lain. Ketika kitab itu diperlihatkan kepada Imam Ahmad, beliau pun menyambutnya dengan baik. Ibrahim al-Harbi berkata: “Ketika Abu Dawud menyusun kitab tersebut, hadis dilunakkan baginya, sebagaimana besi yang dilunakkan untuk Nabi Dawud As.”[7]
Kitab Sunan Abu Dawud sendiri disusun ketika beliau berada di Tarsus, sebuah kota kecil di Iraq, selama 20 tahun. Dari 500 ribu hadis yang berhasil dikumpulkan Abu Dawud, beliau hanya mencantumkan 4.800 ribu hadis di dalam Sunan-nya. Hadis-hadis tersebut di kelompokkan ke dalam 35 “kitab” dan sekian ratus “bab”, yang masing-masing kitab membicarakan satu tema pokok tertentu, sedangkan setiap bab berisi beberapa buah hadis yang menjelaskan tema pokok itu.
Dalam Sunan-nya tidak hanya memuat hadis shahih saja, tetapi juga hadis-hadis hasan dan dlai’f yang tidak terlalu lemah. Abu Dawud pun mencantumkan hadis-hadis yang tidak disepakati oleh para ulama hadis untuk ditinggalkan. Dan untuk hadis yang lemah dicantumkan pula sebab kelemahannya. Hadis jenis ini, menurut Abu Dawud lebih baik daripada pendapat orang alim sekalipun.[8]
Abu Dawud telah menyusun banyak kitab, dan meninggal di Bashrah tahun 275 H, ketika umur 73 tahun.[9]
Wallahu Alam.
[1] Abu Zahw, Hadits Muhadditsun, hal. 309
[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Dawud#cite_note-1
[3] Abdul Majid Zainul M, Para Perawi Hadits, hal. 45-46
[4] Abu Bakar Ahmad bin Ali (Khatib al-Baghdadi), Tarikh al-Baghdadi, juz IX, hal 56.
[5] Abdul Majid Zainul M, Para Perawi Hadits, hal. 45-46
[6] Ibid, hal 46
[7] Abu Zahw, Hadits Muhadditsun, hal. 309
[8] Abdul Majid Zainul M, Para Perawi Hadits, hal. 47
[9] Abu Zahw, Hadits Muhadditsun, hal. 309
Penulis merupakan mahasantri semester 2
Editor: Alfiya Hanafiyah