(Dalam kitab Risalah Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah fi Haditsi al-Mauta wa Asy’rathi al-Sa’ah wa Bayani Mafhumi Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah)
Adalah ilmu yang menjadikan manusia mulia, dengan ilmu manusia bisa melakukan apa yang sebelumnya tidak bisa dilakukan, dengan ilmu juga manusia bisa bertahan sampai saat ini. Betapa perkembangan ilmu terus melaju, yang kian kemari, semakin banyak pengetahuan baru muncul, tentu bukan dengan sendirinya, melainkan lewat perantara para orang alim ilmu itu muncul, karena ilmu adalah barang mati dan abstrak, maka dibutuhkannya manusia sebagai wadah dan pengakses agar ilmu tersebut bisa menjadi hidup dan konkret.
Lantas bagaimana kiranya jika ilmu yang telah manusia peroleh, yang selama ini memegang peran sentral dalam kehidupan, tiba-tiba menghilang?
Dalam perspektif hadis, sejak berabad-abad lalu Nabi Saw. sudah memberi peringatan bahwa pada waktunya nanti akan datang zaman kebodohan merajalela, orang-orang bodoh akan berfatwa sebab ilmu akan dicabut, bukan dengan cara dicabut dan hilang begitu saja, melainkan Allah Swt. akan mewafatkan para ulama, alim, ahli, dan mengangkat ilmu bersama mereka. Begitulah ungkap Kiai Hasyim dalam kitabnya Risalah Ahlisunnah wa al-Jama’ah (yang selanjutnya akan disebut dengan ‘Risalah-nya’) ketika mengutip perkataan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari ketika mencantumkan suatu hadi s yang menyatakan bahwa:
“Allah akan mewafatkan para ulama dan mengangkat ilmu bersama mereka. Kemudian muncullah generasi muda yang sebagian dari mereka melompati sebagian yang lain sebagaimana keledai liar melompati keledai lainnya, dan orang tua di antara mereka tidak berdaya.”[1]
Kiai Hasyim turut mengisahkan sebuah kisah mengenai perkataan Nabi Saw. tentang hilangnya ilmu ini dalam Risalah-nya:
Suatu ketika Abu Umamah ra menceritakan bahwa pada waktu haji wada’ Rasulullah Saw. berdiri di atas unta putih lalu bersabda: “Wahai manusia, ambillah ilmu sebelum dicabut oleh Allah dan sebelum diangkat dari muka bumi. Ingatlah, sesungguhnya hilangnya ilmu itu bersamaan dengan matinya para pengembannya.” Lalu seorang badui bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana mungkin ilmu diangkat dari kami, sedangkan di tengah-tengah kami ada banyak mushaf, dan kami telah mempelajari apa yang ada di dalamnya dan mengajarkannya kepada anak-anak, istri, dan para pembantu kami?”. Rasulullah langsung mengangkat kepala ke arahnya sembari menampakan kemarahan, lalu bersabda, “ini orang-orang Yahudi dan Nasrani, di tengah-tengah mereka ada banyak mushaf tetapi mereka tidak mau berpegang pada satu hurufpun dari apa yang telah diajarkan oleh Nabi-Nabi mereka”.[2]
Jika kita selami lebih dalam lagi, kita akan sadar bahwa ilmu hanyalah barang abstrak dan mati, yang jika tanpa orang alim, tak berarti kehadirannya. Sehingga yang orang awam butuhkan bukanlah suatu ilmu, melainkan sosok yang bisa mengemban ilmu dan menyampaikannya kepada mereka. Lantas, jika ilmu yang ada di dunia ini hilang dengan diambilnya para pengembannya, tentu akan membuat maraknya kebodohan dimana-mana, di saat yang sama, manusia juga tidak mengetahui atas kebodohan mereka sendiri, sebab sekali lagi, para pengemban yang mempunyai tugas sebagai pengingat atas kebodohan manusia pun telah diambil oleh Allah Swt. Dengan maraknya kebodohan pada manusia ini, maka akan terjadilah kesesatan yang menyesatkan, sebagaimana yang diterangkan lagi oleh Kiai Hasyim dalam Risalah-nya, beliau mengutip perkataan Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya:
Bahwa Urwah ra berkata: “Abdullah bin Amr pernah bertemu dengan kami ketika menunaikan ibadah haji. Lalu mendengarnya berkata: ‘aku pernah mendengar Nabi Saw bersabda’:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu begitu saja setelah Dia memberikannya kepada mereka. Akan tetapi Dia akan mencabutnya dari mereka bersamaan dengan mencabut nyawa para ulama bersama ilmunya. Kemudian tinggallah orang-orang bodoh yang dimintai fatwa, lalu mereka memberikannya fatwa berdasarkan pendapat pribadi. Maka mereka pun tersesat dan menyesatkan.[3]
Sebuah kehancuran akan terjadi ketika para ulama meninggalkan dunia dengan membawa ilmunya, sebab manusia disibukan dengan dunia-nya dan melalaikan pencarian ilmu sebagai langkah melanjutkan keilmuan para ahli sebelumnya. Maka ketika manusia banyak kehilangan orang alim dan ulama, akan banyak orang bodoh yang sesuka hati berfatwa dengan pendapat pribadinya, -begitu selaras dengan perkataan hadis di atas ketika itu terjadi- maka manusia pun akan tersesat dan menyesatkan.
Maka dari itu, sebagai umat Nabi Muhammad Saw. yang menjadikan hadits sebagai tuntunan hidup, baiknya kita tidak mengabaikan peringatan dari beliau dengan tetap belajar ilmu dari para ulama, para alim dan ahlinya, dan sebagai pencari ilmu sudah selayaknya kita hindari berfatwa sembarangan ketika ditanya oleh orang lain, sebab menjawab “tidak tahu” lebih baik ketimbang menjawab sesuai pendapat pribadi tanpa referensi pemahaman dari seorang guru atau ulama, lebih baik juga ketimbang menjawabnya asal-asalan, yang itu bisa mengoyak dan menghancurkan manusia sendiri.
Dewasa ini pula kita harus lebih berhati-hati dengan media sosial, yang disana bisa membuat orang sesukanya mengutarakan pendapatnya tanpa dasar atau pijakan yang tepat, yang itu juga bisa menghancurkan manusia dan membuang ilmu secara sia-sia.
Ilmu adalah barang abstrak dan mati, kitalah yang menghidupkannya.
Wallahu a’lam.
[1] Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlisunnah wa al-Jama’ah, hal. 39
[2] Ibid, hal. 39
[3] Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlisunnah wa al-Jama’ah, hal. 42
Penulis merupakan mahasantri semester 3
Editor: Alfiya Hanafiyah