Cinta adalah kata yang tidak mudah untuk dijelaskan. Ia semacam gambaran abstrak dari perasaan terdalam yang dihayati secara konkrit. Untuk menjelaskan bagaimana definisi cinta, penulis mengutip pendapat Erich Fromm dan tokoh yang berpengaruh dalam sejarah dunia, Nabi Muhammad Saw mengenai penjelasan cinta yang lebih definitif. Tapi sebelumnya, penulis menghadirkan definisi cinta dari beberapa tokoh lain. Sebagai berikut:
Paul Tillich, mendefinisikan cinta sebagai kekuatan yang menjadi motor penggerak dalam kehidupan.[1] Sedangkan al-Ghazali mengatakan “Cinta adalah ungkapan dari ketertarikan watak terhadap sesuatu yang dianggap lezat.”[2] Lalu ada Ibn Hazm, mendefinisikan, cinta dimulai sebagai permainan, tetapi pada akhirnya menjadi kesungguhan.[3]
Sementara Erich Fromm, mendefinisikan cinta sebagai tindakan aktif, bukan perasaan pasif yang terjadi pada seseorang, tetapi lebih merupakan tindakan memberi dan menghidupi. Menurut Fromm, seseorang yang menerima cinta tidak dalam keadaan ‘jatuh’, melainkan ‘berdiri’ dan menyambutnya. Secara umum, karakter aktif cinta dapat digambarkan sebagai tindakan memberi, bukan menerima.[4]
Sesuai dengan judul tulisan di atas, penulis memilih untuk mengambil sudut pandang Fromm mengenai pembahasan cinta kepada sesama manusia.
Fromm menyatakan bahwa cinta sejati meluas ke seluruh umat manusia, dunia, dan kehidupan. Kalimat “Aku mencintaimu” mempunyai konsekuensi makna cinta kepada semua orang, dunia, dan diri sendiri.[5] Cinta adalah sikap yang menentukan keterkaitan seseorang dengan dunia secara keseluruhan. Sehingga cinta pada satu orang dan mengabaikan yang lain, itu hanya keterikatan simbiotik atau egoisme yang meluas.
Fromm menjelaskan fundament dari segala jenis cinta adalah cinta antar sesama. Cinta ini meliputi empat aspek utama, yakni rasa tanggung jawab, perhatian, hormat, dan pengetahuan atau toleran. Cinta, bagi Fromm, adalah ternafikannya ekslusifitas yang dengannya implementasi cinta dalam skala yang lebih luas bisa menemukan bentuknya yang paling nyata.
Kapasitas manusia dalam mencintai adalah cinta terhadap sesama. Keniscayaan bahwa manusia membutuhkan orang lain tidak dapat direduksi pada ketidakberdayaan satu pihak atas pihak lain. Sehingga ketiadaan cinta dalam hati seseorang menjerumuskan pada jurang saling mencaci, menyalahkan, bahkan menghina sesamanya.
Cinta Terhadap Sesama dalam Perpspektif Hadis Nabi Saw
Cinta adalah hal yang pasti ada dalam kehidupan manusia berakal. Rasulullah Saw. menegaskan pentingnya cinta terhadap sesama[6] melalui Hadis yang diriwayatkan oleh Anas ra. Nabi menerangkan:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَن خِيهِ مَا يُحِبّ لِنَفْسِه. ( رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Tidaklah termasuk beriman seseorang di antara kamu sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari, Muslim)[7]
Pernyataan لا يؤمن أحدكم pada huruf nafi dalam hadis di atas diartikan sebagai “ketidaksempurnaan” iman bukan “ketidakberimanan” seseorang.[8] Dengan demikian, seorang mukmin yang tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya bukan berarti tidak beriman sama sekali.
Melalui hadis tersebut, Nabi memberi semacam sinyal bahwa iman yang sempurna dapat dicapai dengan mencintai terhadap sesama, layaknya kita mencintai diri sendiri. Termasuk sebuah empati dengan merasa bahagia atas kebaikan yang diperoleh sesama manusia, dan merasa sedih atas kesulitan yang mereka alami, itulah sebuah perasaan cinta yang meluas. Lantas ketiadaan cinta terhadap sesama menunjukkan kurang atau lemahnya keimanan seseorang.
Keterangan hadis lain, misalkan, Nabi berkata:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَا تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا، وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَفَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى أَمْرٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ ؟ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ. (رواه أبي داود).[9]
Artinya: “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian semua beriman, dan kalian tidak akan beriman hingga saling menyayangi. Maukah kalian aku tunjukkan suatu perkara yang jika kalian amalkan maka kalian akan saling menyayangi? Tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Abu Dawud).
Konstektualisasi frasa “saling menyayangi” di atas merujuk pada sesama manusia yang tak terbatas atau pada hubungan sosial yang lebih luas. Artinya bahwa Nabi menghendaki kebaikan yang kita tebarkan tidak memfokus pada satu golongan tetapi menyeluruh dan menyebar ke segala arah. Sehingga perbedaan tidak menjadi pembatas untuk mengimplementasikan cinta sesama. Sebab, keberagaman atau perbedaan adalah keniscayaan yang menjadi rahmat.
Kasih sayang dan cinta antar sesama sangat penting dalam hidup, sebagaimana yang dijelaskan oleh Fromm bahwa cinta pada hakikatnya ditujukan untuk semua makluk di alam ini. Dalam Islam sendiri ditegaskan melalui hadis yang menyatakan bahwa iman seseorang tidak sempurna sampai ia mencintai orang lain layaknya ia mencintai dirinya sendiri.
Penulis percaya bahwa cinta antar manusia adalah puncak keindahan dari hubungan muamalah, yang menghubungkan hati dalam hangatnya pengertian, serta menghapus batasan dan menyebarkan kebaikan. Cinta yang tulus mengajarkan kita melihat indahnya perbedaan, menjalin hubungan tanpa pamrih, dan membawa kedamaian abadi di dunia. Demikian korelasi konsep cinta dalam perspektif Erich Fromm dan tokoh yang berpengaruh dalam sejarah dunia yaitu Nabi Muhammad Saw.
Semoga tulisan ini membawa kesadaran pada kita akan pentingnya mencintai sesama manusia, tanpa memandang perbedaan -di luar maupun di dalam- diri seseorang. Sikap ini berlaku untuk semua orang di dunia, tanpa memandang perbedaan apa pun, karena kita semua berbagi bumi yang sama.
Wallahu alam.
[1]Kabar Harian https://kumparan.com/kabar-harian/konsep-filsafat-cinta-menurut-para-filsuf-dunia-1yKnQq1nZYl/full 19 Jan. 24
[2] Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûmiddîn, juz IV, halaman 296.
[3] NU Online M. Alvin Nur Choironi https://lampung.nu.or.id/warta/makna-cinta-dalam-islam-menurut-para-ulama-HFYww 19 Jan. 24
[4] Erich Fromm, Seni Mencintai (Yogyakarta: Basabasi:2018)
[5] Erich Fromm, Seni Mencintai (Yogyakarta:Basabasi:2018)
[6] DR. Muslim, M.Pd.I, Hadis Tarbawi (Lampung:Laduny Alifatama:2021) Hal.37
[7] Shohih Bukbori Hadis No. 1487 dan Shohih Muslim Hadis No. 36.
[8] DR. Muslim, M.Pd.I, Hadis Tarbawi (Lampung:Laduny Alifatama:2021) Hal.38
[9] Imam Abu Dawud, Kitab Sunan Abu Dawud, Hadis 5139. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah.
Penulis merupakan anggota Kajian Hadis
Editor: Alfiya Hanafiyah