Imam Ibnu Majah bernama asli Abu Abdullah bin Yazid bin Majah al- Qazwani, al-Khurasani. Ibnu Majah adalah seorang ulama terkemuka dan salah satu ahli hadis pilih tanding, ternama, yang telah memberikan kontribusi besar dalam pelestarian hadis Nabi Saw. Ia lahir tahun 209 H/824 M di kota bernama Qazwin yang dahulu masuk ke dalam wilayah bernama Khurasan, yang kini kita kenal dengan nama Iran.[1] Ayahnya, Yazid bin Majah, juga dikenal sebagai seorang ahli hadis dan fikih pada masanya, maka tidak heran jika sejak kecil Ibnu Majah sudah menunjukkan minat yang besar terhadap ilmu pengetahuan, khususnya hadis.[2]
Sebagaimana para pemburu ilmu dalam tradisi Islam, sejak remaja Ibnu Majah sudah berkelana untuk mencari ilmu dan memperoleh hadis dari para ulama zaman itu. Ia melakukan pengembaraan ke berbagai daerah seperti, Bashrah, Kufah, Baghdad, Syam, Mesir, dan Hijaz. Tentu tujuan dari mengembara itu adalah satu: mencari ilmu.[3]
Dari pengembaraan itu, Ibnu Majah banyak mengambil riwayat hadis di berbagai daerah dari banyak guru, seperti Abu Bakar bin Abu Syaebah, Ibrahim al-Mundzir, dan teman-temannya Imam Malik dan Laits. Dari ketekunan dan kealimannya, nantinya banyak pula yang mengambil periwatan hadis darinya, seperti Ibnu Sibaweh, Muhammad bin Isa al-Shaffar, Ishaq bin Muhammad, Ali bin Ibrahim bin Salmah al-Qathan, Ahmad bin Ibrahim, kakeknya Ibnu Katsir, dan Sulaiman bin Yazid.[4]
Ibnu Katsir berkata: “Ibnu Majah adalah pengarang kitab Sunan yang terkenal. Hal tersebut menunjukan ketelatenan, keilmuan, penguasaan, pembacaan dan kesetiannya terhadap Sunah, baik yang terkait dengan masalah ushul, atau furu’.”[5]
Itu adalah perkataan Ibnu Katsir mengenai Ibnu Majah dan Karya monumentalnya yakni kitab Sunan Ibnu Majah, yang menjadi salah satu dari enam kitab hadis paling terpercaya (Kutub at-Sittah). Mengenai satu karyanya ini, Abu Fadhl Muhamaad bin Tahir al-Maqdisi mempunyai peran dalam mengenalkan kitabnya ini, beliau adalah orang pertama yang memasukan kitab Ibnu Majah ke dalam kelompok enam kitab ini. Beliau membuat kitab Athraf yang mencakup kitab Ibnu Majah, juga membuat bab lain tentang syarat-syarat enam kitab, lalu memasukannya ke dalam kelompok enam kitab tersebut. Kemudian Abdul Ghani menulis kitab al-Kamal fi Asma al-Rijal dan menyebutkan ke dalamnya.
Ibnu Hajar berkata: “Ibnu Tahir al-Baghdadi dan pengikutnya beralih dari kitab Muwatha Imam Malik menjadi Sunan Ibnu Majah ke dalam Kutub as-Sittah. Dengan alasan jumlah hadis di dalamnya lebih banyak, juga hadis marfu’ di dalam Muwatha lebih sedikit dari Sunan Ibnu Majah, tentu diluar itu juga untuk memperkaya khazanah hadis terpercaya dalam dunia keislaman.[6]
Az-Dzahabi berpendapat bahwa Sunan Ibnu Majah memuat 4000 hadis yang terbagi menjadi 32 bagian dan 1500 bab. Perhitungan serupa juga disampaikan oleh Abu al-Hasan al-Qathan. Sedangkan jumlah hadis yang termaktub dalam Sunan Ibnu Majah menurut Fuad Abdul Baqi adalah 4341 hadis yang terbagi ke dalam 37 bagian dan 1515 bab. Jumlah ini adalah hasil perhitungan para ahli hadis yang meskipun berbeda pendapat, kesimpulan Fuad Abdul Baqi ini tidaklah mengundang masalah, karena ini hanya menyangkut perbedaan metode yang digunakan oleh mereka.
Tema-tema dalam kitab Sunan Ibnu Majah secara keseluruhan mencangkup tema fikih (hukum Islam), dengan kata lain kitab ini adalah kitab hadis yang mayoritas berisi persoalan-persoalan fikih. Sebagaimana dinyatatakan oleh banyak ulama ahli hadis, penulisan kitab Sunan Ibnu Majah ini menggunakan metode fikih (hukum Islam). Metode ini memang lazim digunakan oleh para ulama pada zaman itu, sebab kelebihan dalam metode penulisan seperti ini adalah dapat mempermudah para pengkaji ilmu yang hendak mendalami hukum Islam untuk menemukan dalil-dalil yang bersumber pada hadis Nabi Saw.
Sebagian ulama menilai bahwa tidak semua hadis dalam kitab Sunan Ibnu Majah ini shahih. Menurut mereka, ada yang statusnya hasan, bahkan ada yang dhaif. Namun, meskipun demikian, harus diakui bahwa keberadaan Sunan Ibnu Majah ini juga ikut memacu semangat para pengkaji hadis untuk mempelajari hadis lebih mendalam.[7]
Setelah seluruh hidupnya diabdikan untuk ilmu, agama, dan hadis Nabi Saw. pada umurnya yang ke 64 tahun, Abu Abdillah atau Ibnu Majah, sang Imam, al-Alim, al-Hafidz akhirnya berpulang ke kehidupan yang abadi. Beliau wafat tahun 273 H/887 M, di tanah kelahirannya, Qazwin, Irak. Semoga Allah merahmatinya.[8]
Wallahu Alam.
[1] Yasir Syimali Manahij al-Muhadditsin, hal. 262
[2] https://an-nur.ac.id/biografi-imam-ibnu-majah/
[3] Abu Zahw, Hadis Muhadditsun, hal. 310
[4] Abu Zahw, Hadis Muhadditsun, hal. 311
[5] Ibid. hal. 311
[6] Yasir Syimali Manahij al-Muhadditsin, hal. 262
[7] http://digilib.uinsa.ac.id/10194/4/bab3.pdf
[8] Abu Zahw, Hadis Muhadditsun, hal. 311
Penulis merupakan anggota Kajian Hadis
Editor: Alfiya Hanafiyah