Kisah ini menceritakan seorang laki-laki yang dapat melihat setelah mengalami kebutaan. Sebagaimana peristiwa yang terjadi pada paruh awal hijriah, yakni masa dimana Rasulullah Saw masih hidup. Seorang tunanetra (buta) yang sangat mengharapkan kesembuhan untuk dirinya, datang menemui Usman bin Affan, dan bertanya perihal bagaimana cara menyembuhkan matanya. Akan tetapi, tidak ada jawaban yang ia dapatkan dari pertanyaannya, ia pun beralih kepada Usman bin Hunaif dengan perihal yang sama.
Usman menyarankannya agar ia mengadukan hal ini kepada Nabi Saw dan meminta Nabi Saw berdo’a untuk kesembuhan dirinya. Setelah ia bertemu dengan Nabi, Nabi memberikan sebuah pilihan kepada si buta berupa kesabaran. Namun apalah daya, si buta tetap bersikukuh meminta kepada Nabi untuk mendo’akannya, karena ia mungkin ingin terlihat seperti manusia pada umumnya, dapat melihat dengan baik. Nabi Saw pun mendo’akannya, dan seketika itu pula si buta dapat melihat dengan sempurna. Kisah ini termuat dalam hadts Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Usman bin Hunaif, berikut lafaz hadisnya:
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ أَنَّ رَجُلًا ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ : ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَنِي، قَالَ : ” إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ، وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ “. قَالَ : فَادْعُهْ، قَالَ : فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ، فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ، وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ : ” اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ، وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ “.
Artinya : “Dari Usman bin Hunaif, bahwa seorang laki-laki yang buta datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, ‘Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jika engkau mau, aku akan berdoa. Dan jika engkau mau, bersabarlah. Itu lebih baik bagimu.’ Ia berkata, ‘Maka berdoalah.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu memerintahkannya untuk berwudu’ dan menyempurnakan wudu’nya, kemudian berdoa, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu, Muhammad, Nabi ar-Rahmah (Nabi yang membawa rahmat). Wahai Muhammad, aku menghadap kepada Tuhanku dengan dirimu agar Dia memenuhi keperluanku ini.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, ‘Dan aku memohonkan syafaat bagimu.'” (HR. At-Tirmidzi).
Pemahaman Kisah Si Buta
Namun, kisah ini menimbulkan pertanyaan berupa, “apakah tawassul diperbolehkan?”. Perdebatan/problematika tawassul didalam internal ummat islam, acapkali terjadi pasca wafatnya Nabi Saw, bahkan menjadi perdebatan yang sangat panjang di antara kaum muslimin hingga saat ini. Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi problematika tawassul ini, sebagian ada yang beranggapan bahwa tawassul itu diperbolehkan dan pahalanya sampai kepada orang yang dikirimi tawassul, dan sebagian yang lain berpendapat bahwa tawassul itu dilarang.
Masing-masing pendukung membela pendapatnya dan melemahkan pendapat yang lain. Selaras dengan problematika tawassul, hadis diatas merupakan salah satu dalil yang membolehkan tawassul, dan mayoritas jumhur ulama sepakat menetapkan memperbolehkan tawassul.
Ada juga yang berargumen terkait hadis ini, bahwasannya yang dimaksud dengan tawassul/perantara kepada Nabi pada hadis di atas ialah menunjukkan do’a dan syafa’at Rasulullah Saw. Maka bertawassul setelah wafatnya Nabi Saw tidak diperbolehkan, dan dapat menjurus kepada kemusyrikan.
Pandangan Terkait Hadis
Imam at-Tirmizi menghukumi hadis ini dengan; hasan shohih ghorib. Imam at-Tirmizi sendiri banyak menggunakan istilah-istilah yang beragam dalam penilaian hadis, salah satunya ialah hadis hasan shohih ghorib. Yang dimaksud dengan hadis hasan shohih ghorib, yaitu hadis yang memiliki banyak jalur periwayatan, sebagian perawinya memenuhi syarat-syarat perawi hadis shahih, namun pada sebagian sanadnya terdapat penyendirian rawi dalam meriwayatkan hadis.
Hanya ada satu sahabat yang meriwayatkannya, yakni sahabat Usman bin Hunaif, seorang sahabat yang mengurusi perpajakan di Arabia, serta pencetus reklamasi laut bersama khalifah Umar bin Khattab, beliau diangkat menjadi gubernur Bashra pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
Oleh karena itu, seakan status tawassul sama dengan status hadis demikian; hasan shohih ghorib. Memiliki poin yang bagus, akan tetapi hanya diyakini oleh sebagian orang saja. Alangkah baiknya perdebatan ini jangan sampai menimbulkan permusuhan di antara kaum muslimin, karena perbedaan pendapat sudah hal lazim di kalangan para ulama.
Dan perlu diketahui, perbedaan tentang tawassul ialah mengenai bab furu’ (cabang) bukan ushul (masalah pokok dalam agama). Demikian satu kisah diantara banyaknya kisah sahabat Rasulullah Saw. yang memiliki makna yang mendalam.
Wallahu a’lam.
Penulis merupakan mahasantri semester 3
Editor: Alfiya Hanafiyah