Tulisan ini lahir setelah penulis membaca berita tentang pelecehan seksual terhadap perempuan baik kepada santri atau bukan, sekaligus merupakan sebuah refleksi terhadap buku-buku feminis yang penulis baca. Memang penulis tidak setuju seratus persen dengan ide dan gagasan kelompok feminis tapi ada satu yang penulis sepakati dari gagasannya kaum feminis. Ya, perempuan bukanlah sebuah objek.
Kita sering mendengar bahwa perempuan itu adalah sumber fitnah. Karena, kehadiran perempuan dianggap menimbulkan fitnah bagi laki-laki. Kemudian dari pemahaman ini muncul istilah, laki-laki tidak akan terpancing kalo tidak dipancing.
Pemahaman perempuan adalah sebuah objek menurut penulis sudah mendarah daging dalam diri laki-laki tanpa mereka (kami, karena penulis juga laki-laki) sadari. Dan hal ini pula yang sering diwanti-wanti oleh Syekh ath-Thantawi dalam kitabnya Ya Binti . Di dalam kitab itu Syekh ath-Thantawi mewanti-wanti perempuan agar hati-hati terhadap laki-laki. Pembaca bisa membaca kitab tersebut. Kandungan tulisan yang ada di depan pembaca ini sepakat dengan apa yang disampaikan Syekh ath-Thantawi bahwa terkadang (tidak semua) laki-laki itu berbahaya. Tentu dari bacaan ini penulis sedikit bingung, dengan karakter laki-laki yang dijelaskan oleh Syekh ath-Thantawi, kenapa kok masih ada istilah nafsu perempuan 9 sedangkan laki-laki 1 (secara tekstual tentunya). Tetapi tulisan ini hanya akan fokus pada bagian ‘perempuan bukanlah sebuah objek.’
Salah satu contoh bahwa pemahaman perempuan adalah sebuah objek sudah mendarah daging dalam diri laki-laki yang mungkin tidak mereka sadari adalah guyonan-guyonan patriarkis yang bahkan sering disampaikan di forum-forum keagamaan atau ilmiah seperti guyonan tentang poligami atau guyonan, mohon maaf, kopi susu (kopine ngajak melek, susune ngajak turu). Bagi penulis, guyonan seperti sangat tidak manusiawi dan tidak menjaga martabat perempuan.
Pemahaman ini juga menurut saya tidak lepas dari proses internalisasi para tokoh agama dalam menyampaikan nilai-nilai keislaman. Perempuan sebagai seorang manusia dianggap sebagai sumber fitnah sehingga mereka memerintahkan para perempuan untuk menutup diri rapat-rapat. Pertanyaannya adalah ketika perempuan-perempuan itu sudah menutup diri rapat-rapat tetapi masih berpotensi menjadi korban cat calling dan pelecehan seksual baik secara verbal maupun non-verbal. Lantas apakah ini salah perempuan? Atau salah laki-laki?. Penulis kira pembaca memiliki jawaban masing-masing.
Terlalu mengecam ini itu terhadap perempuan menurut penulis merupakan efek dari ketidakseimbangan penyampaian nilai-nilai keislaman tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan. Pesan yang sering disampaikan oleh tokoh agama sering kali terbatas pada perempuan saja. Bahwa perempuan ini seperti ini dan seperti itu. Perempuan harus seperti ini dan seperti itu. Ironisnya, pesan tentang ghaddul bashar tidak disampaikan sekuat dan semasif perintah menutup aurat bagi perempuan. Setidaknya hal itulah yang menurut penulis perlu disadari.
Perintah ghaddul bashar dalam bukunya Nur Rofiah yang berjudul Nalar Kritis Muslimah, ia mengutip pendapatnya Ulama Turki, bahwa makna ghaddul bashar tidak hanya bermakna menundukan pandangan tetapi juga mengalihkan pikiran-pikiran yang menganggap bahwa perempuan adalah objek seksual.
Efek dari pola internalisasi nilai-nilai agama yang tidak seimbang ini bisa menimbulkan traumatis bagi perempuan dan ketidakpercayaan dengan nilai-nilai agama atau bahkan agama itu sendiri. Tentu hal ini bukan karena agamanya, tetapi cara para tokoh agama dalam menyampaikan nilai-nilai keislaman.
Seandainya kedua nilai itu -penekanan ghaddul bashar dan menutup aurat bagi perempuan- disampaikan secara merata dan tidak berat sebelah, hal ini bisa menciptakan ruang yang aman bagi perempuan.
Penulis merupakan mahasantri semester 8
Editor: Alfiya Hanafiyah