Dari sekian kelas atau forum-forum di Ma’had Aly Hasyim Asy’ari (MAHA) yang penulis ikuti, baru kali ini penulis dapat mencicipi “daging-daging itu” (Kata ini [Dengan tanda petik] akan penulis gunakan seterusnya sebagai simbolisasi dari “pelajaran” atau “pengetahuan”) dengan seutuhnya. Namun, nyatanya, hal itu justru terjadi di forum non-formal yang dilakukan di tempat anti-mainstream, tempat yang pernah penulis rendahkan dahulu, yakni warung kopi.
Tulisan ini akan menceritakan hal tersebut. Dengan tulisan ini, penulis akan membagikan ceritanya dengan harapan, para pembaca -Khususnya mahasantri MAHA yang mengalami masalah yang sama dengan penulis dahulu- setidaknya dapat mencoba problem solving yang dilakukan oleh penulis. Namun sebelum itu, penulis akan awali tulisan ini dengan backstory penulis terlebih dahulu.
Mahasantri MAHA adalah Poro Asatidz
Penulis yang dahulu duduk di bangku Aliyah Tebuireng, tentunya sedikit banyak mengetahui teman-teman mahasantri MAHA sedari dini. Penulis sebut mereka “poro asatidz”. Karena memang, guru-guru penulis saat masih berseragam putih abu-abu itu, terlebih di kelompok-kelompok pengajian kecil (Takhassus) di pondok, kebanyakan datang dari mahasantri MAHA sendiri. Dari sini, pengetahuan pertama (First impression) penulis akan mahasantri MAHA lahir.
Penulis kemudian memberanikan diri mengikuti jejak poro asatidz tadi. Naas, hal pertama yang penulis alami adalah keterkejutan akan lingkungan (Culture shock) di MAHA. “Lingkungan MAHA benar-benar sangat aktif, kalau tidak bisa disebut ambis,” ini pandangan pertama yang sangat jujur dari penulis untuk MAHA. Dengan segala gundah-ganduhnya, penulis dapat menyelesaikan masalah awal tersebut. Penulis kemudian hidup di MAHA tanpa tekanan culture shock yang dialaminya tadi.
Perjalanan penulis di MAHA ternyata cukup menarik. Dengan kebesaran nama MAHA, serta lingkungan MAHA yang benar-benar support terhadap pribadi penulis, ternyata semua itu membangun jiwa penulis menjadi lebih baik. “Setidaknya lebih baik daripada hari kemarin,” ketus penulis. Penulis yang semula apatis terhadap hal-hal fundamental, -Baik untuk pribadi penulis sendiri, lingkungan sekitarnya, ataupun yang lebih akbar dari dua perkara itu- hari ini penulis dapat keluar dari zona nyaman tersebut. Sebab jasa MAHA, penulis menjadi pribadi yang lebih aktif daripada kemarin, setidaknya berkontribusi dalam kelas-kelas formal yang disediakan oleh MAHA itu sendiri. Sayangnya, justru kelas-kelas formal inilah yang menjadi dilema penulis hari ini.
Dilema Kelas Formal
Sedari kemarin -Setidaknya satu tahun ini- penulis sangat asyik menggeluti kelas-kelas formal di MAHA. Meskipun dapat dikatakan kontribusi penulis di sana tidak banyak, setidaknya penulis menikmati kelas-kelas tersebut. Dahulu, penulis hanya memilih kelas-kelas formal sebagai fasilitas belajar penulis. Dengan kata lain, fasilitas belajar yang sifatnya non-formal -Seperti sebut saja forum di warung kopi- tidak pernah penulis ikuti. Bukan karena tidak ada tawaran untuk penulis, tetapi penulis memang menolak ajakan tersebut. Penolakan ini terjadi karena penulis dahulu memiliki stigma negatif tersendiri untuk warung kopi. “Di warung kopi itu yang dibahas hanya hal ecek-ecek, isinya sepele. Kalau ingin pelajaran, adanya hanya di kelas-kelas formal,” ungkap penulis dahulu.
Namun, lambat laun penulis mulai gelagapan dengan kelas-kelas formal tadi. Bukan tanpa sebuah alasan, tapi penulis pribadi mulai merasa “daging” yang dihidangkan di kelas terkadang belum sempat penulis cerna seluruhnya. Dengan waktu yang terbatas -Bahkan terkadang kelas-kelas itu menjadi arena adu argumen para mahasantri. Ironinya, terkadang argumen-argumen tadi bersifat obskurantitatif- menyebabkan “daging-daging” itu hanya dapat penulis cicipi sebagian saja. Dengan kata lain, sekali lagi, belum benar-benar penulis cerna seutuhnya. Benar tidaknya curhatan penulis ini, namun dengan jujur seperti itulah yang penulis rasakan (Penulis juga sangat gembira bilamana keresahan ini ditanggapi oleh pembaca sekalian).
“Daging Bergizi Itu” Juga Ada di Warung Kopi
Dengan sebab yang telah diungkapkan penulis di atas, maka penulis mencoba mencari kelas yang bersifat non-formal, yang tidak dikekang oleh waktu dan tidak terbelenggu dengan kelas formal. Dari sinilah, penulis melirik forum-forum anti-mainstream di luar sana, salah satunya adalah forum di warung kopi. Dengan takut-takut, penulis mencoba “singgah sejenak” di tempat yang sempat penulis anggap rendahan tersebut. Di luar ekspektasi penulis, justru di tempat-tempat itulah penulis dapat mencerna dengan sempurna “daging-daging” tadi. “Ternyata, ‘daging bergizi itu’ juga ada di warung kopi”, ungkap penulis.
Bagaimana tidak?, “daging” yang belum sempat penulis cerna seutuhnya di kelas formal tadi, dapat penulis cerna lebih lanjut di warung kopi. Tentunya, hal ini bersamaan dengan adanya “teman ngopi” penulis yang memang mereka telah expert -Atau setidaknya telah mencerna “daging itu” sebelum penulis- di bidangnya masing-masing. Lebih dari itu, penulis juga mendapatkan “oleh-oleh tambahan” dari forum warung kopi tersebut. Hal-hal yang tidak mungkin terangkat di kelas-kelas formal, dapat penulis dapatkan secara cuma-cuma di warung kopi. Mulai dari ilmu filsafat, penjelasan detail mengenai metodologi-metodologi lebih lanjut, pandangan hidup yang beraneka ragam, pikiran-pikiran cendekiawan barat, sudut pandang yang baru, seni beretorika, ataupun hal-hal lain yang dapat memperluas kacamata penulis -Yang mana hal ini tidak dapat penulis dapatkan di kelas formal atau dengan sendirinya (Otodidak)-, justru “daging-daging” tersebut penulis dapatkan di warung kopi.
Musabbab pengalaman inilah, penulis tidak lagi menganggap remeh forum-forum di warung kopi. Penulis harap para pembaca sekalian tidak mengikuti jalan sesat penulis dahulu yang menutup mata dengan diskusi-diskui lepas itu. Pesan penulis, “Jangan sampai menjustifikasi negatif hal-hal yang belum sempat kita ceburi secara langsung”.
Penulis juga berharap para pembaca tidak menjadi seperti penulis dahulu yang terkekang dengan kelas-kelas formal, sehingga menutup diri dari forum-forum non-formal. Dengan pengalaman penulis yang telah diceritakan panjang-lebar di atas, pada kenyataanya kelas formal itu memang harus kita ikuti, hal ini adalah sebuah kewajiban, fardhu ain!. Namun, menutup diri dengan tidak berdiskusi di forum-forum non-formal -Seperti contoh kecilnya di warung kopi- juga tidak dapat dibenarkan. Justru, “daging” yang telah didapatkan di kelas formal tadi, bisa didiskusikan lebih lanjut di forum non-formal.
Penulis merupakan mahasantri semester 5
Editor: Alfiya Hanafiyah