Gagasan-gagasan dari Mun’im Sirry memang cukup menarik untuk dinikmati, selalu mind blowing, kalau bukan dikatakan nyeleneh. Namun, “adagium” yang dibawakannya itu -bagi penulis- seyogyanya tidak dicerna mentah-mentah terutama oleh para peminat kajian agama, harus ada pengkajian kembali sebelum mengamini argumen dari Mun’im, hingga wajib dikritisi. Yang menarik dari salah satu statement kontroversialnya adalah saat Mun’im mengisahkan figur Nabi SAW dalam bingkai “Muhammad Historis”. Pernyataan Mun’im ini terekam dalam bukunya berjudul Rekonstruksi Islam Historis: Pergumulan Kesarjanaan Mutakhir (2017).
Di sana, Mun’im dengan data-data yang dia limpahkan menyatakan bahwa sosok Nabi SAW seperti mengalami dikotomi jika dilihat dengan perspektif Al-Qur’an dan Sirah Nabawiyyah (melalui sunnah/hadis). Sosok Nabi SAW dalam Al-Qur’an digambarkan dengan sosok Illa Basyaran Rasuulan, manusia biasa, hanya seseorang yang diutus oleh Tuhan untuk menyampaikan petunjuk (hudaan), sekaligus menjadi pemberi peringatan (nadziir). Namun, dalam sirah (melalui sunah atau hadis), penggambaran Nabi justru seakan menjadi seorang superhuman, manusia super, atau dengan menyitir kalimat Mun’im, “Nabi menjadi manusia setengah dewa dalam korpus sirah“. Lantas, benarkah demikian?. Mari kita diskusikan dengan mempertimbangkan jawaban dari kacamata tafsir KH. Musta’in Syafi’ie di akhir.
Mun’im: Sosok Nabi Versi Al-Qur’an dan Hadis
“Membaca teks-teks Al-Qur’an yang merujuk kepada Nabi, kita segera mendapatkan kesan bahwa Nabi Muhammad ditampilkan dengan menonjolkan sifat-sifat kemanusiaannya. Beliau digambarkan sebagai manusia (basyar) yang menyampaikan kabar gembira, juga sebagai pemberi peringatan (nadziir) bagi kaumnya,” kata Mun’im.
Statement dari Mun’im ini tentunya tidak datang dari ruang kosong, ada dalil yang dia datangkan untuk mendasari pernyataannya itu. Salah satu dalil yang Mun’im angkat adalah QS. Al-Furqan: 7-8,
وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُوْلِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ لَوْلَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُوْنَ مَعَهُ نَذِيرًا أَوْ يُلْقَى إِلَيْهِ كَنْزُ أَوْ تَكُوْنُ لَهُ جَنَّةً يَأْكُلُ مِنْهَا وَقَالَ الظَّلِمُوْنَ إِنْ تَتَّبِعُوْنَ إِلَّا رَجُلًا مَّسْحُورًا [الفرقان: 7-8]
“Mereka berkata, “Mengapa Rasul (Nabi Muhammad) ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa malaikat tidak diturunkan kepadanya (agar malaikat) itu memberikan peringatan bersama dia, (7) atau (mengapa tidak) diturunkan kepadanya harta kekayaan atau kebun baginya, sehingga dia dapat makan dari (hasil)-nya?” Orang-orang zalim itu berkata, “Kamu tidak lain hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang kena sihir (8).” (QS. Al-Furqan: 7-8)
Menurut Mun’im, ayat di atas dengan jelas merekam reaksi kebingungan orang-orang Mekah saat itu terhadap penampilan Nabi sebagai manusia pada umumnya. Seperti halnya mereka, Nabi SAW juga menyantap makanan dan blusukan ke pasar-pasar.
Lebih lanjut, Mun’im turut mengungkapkan beberapa ayat lainnya untuk menguatkan pandangan kontroversialnya itu, bahwa Al-Qur’an merefleksikan sosok Nabi sebagai insan pada umumnya, sebut saja QS. Al-Isra’: 90-93 dan ayat-ayat lainnya. Kata Mun’im, “Demikianlah Al-Qur’an menggambarkan Nabi sebagai seorang manusia biasa yang menyampaikan risalah kepada umatnya.” Sekali lagi, ini pemahaman tersendiri dari pribadi Mun’im.
Mun’im kemudian membandingkan sosok Nabi yang dia pahami dari Al-Qur’an itu dengan penggambaran Nabi yang terekam dalam hadis. Contohnya saja ketika hadis mengisahkan bahwa Nabi -dengan izin Tuhan- mampu untuk membelah bulan,
حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ الْفَضْلِ: أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ، عن ابن أبي نجيح، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ أَبِي مَعْمَرٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قال انشق القمر عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم شقين، فقال النبي صلى الله عليه وسلم: “اشهدوا
“Bulan terbelah menjadi dua bagian di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Saksikanlah!’”
(HR. Al-Bukhari dalam Kitab al-Manaqib 3437 dan Muslim dalam Kitab Sifat al-Qiyamah wa al-Jannah wa an-Nar 2800).
Serta kisah-kisah lainnya tentang Nabi yang datang dari rahim non Al-Qur’an -seperti sirah, sunah, hadis, bahkan dari tafsir sendiri-, seperti menangisnya pohon, air yang keluar dari sela-sela jemari Nabi, dan kisah-kisah luar biasa lainnya. Semua kisah Nabi yang out of mind itu menurut Mun’im rasanya janggal, sebab telah menceritakan figur Nabi yang sangat berbeda (berbanding terbalik) dengan apa yang telah dilukiskan oleh Al-Qur’an. “Kisah-kisah ajaib semacam itu justru dapat melemahkan integritas kesejarahan biografi Nabi,” menurut Mun’im.
Sudut Pandang Kiai Tain: Al-Qur’an dan Sunah dengan Peran dan Porsinya Masing-Masing.
“Pemahaman Mun’im masih taken for granted, hanya memahami begitu saja, terlalu letterlijk, sebuah pemahaman dengan tendensi sebatas permukaannya saja terhadap samudera harmoni makna Al-Qur’an dan sunah/hadis yang berkesinambungan.Perbandingan dari Mun’im tidak apple to apple, jelas-jelas bahwa Al-Qur’an dan Sunah tidak dapat ditabrakkan satu sama lain. Mereka memiliki peran dan porsinya masing-masing,” ini kesimpulan yang penulis dapatkan setelah mendengarkan tanggapan dari KH. Musta’in Syafi’ie terhadap pandangan Mun’im tadi. (02/09/2024)
Yai Tain -di mata penulis- mencoba menjawab sangkaan skeptis Mun’im itu melalui brainstorming terbalik yang datang dari nalar tafsir yang dimilikinya. Ketika Mun’im beranggapan bahwa Al-Qur’an tidak pernah menceritakan hal-hal luar biasa dari Nabi dan dianggap bahwa hal demikian membuktikan bahwa siluet Nabi hanyalah seorang biasa-biasa saja dalam Al-Qur’an, sehingga sosok Nabi dalam Al-Qur’an dan hadis seakan pribadi yang berbeda, syahdan jawaban Kiai Tain justru keterbalikan dari sudut pandang tersebut, Kiai Tain menjawab bahwa Al-Qur’an dan hadis memang harus demikian dalam memproyeksikan figur Nabi SAW.
Kisah dalam Al-Qur’an sendiri dapat dikelompokkan menjadi tiga macam: kisah para Nabi terdahulu, lalu kisah yang telah terjadi di zaman lampau dan tidak diketahui kenabiannya, serta kisah yang bertautan dengan peristiwa-peristiwa di zaman Nabi SAW. Hal ini diungkapkan oleh Syaikh Manna’ al-Qattan dalam kitab Mabahis fi Ulum al-Qur’an nya (2013). Dengan hal ini saja telah menjadikan statement Mun’im paradoks dengan kenyataan tersebut secara an sich, karena Al-Qur’an memang tidak berfokus untuk menceritakan sosok Nabi SAW secara khusus (khassah). Terlebih lagi, menurut Kiai Tain, jika memang Al-Qur’an diharuskan menyebut kejadian-kejadian luar biasa yang datangnya dari Tuhan melalui tangan Nabi SAW, maka hal itu akan menjadi titik kritik utama dari musuh-musuh Tuhan nantinya. Jika Al-Qur’an mengisahkan dengan jelas mukjizat-mukjizat Nabi, maka para musyrikin -terutama musyrikin Makkah waktu itu- pasti menganggap bahwa Al-Qur’an adalah hasil tangan Nabi sendiri. Nabi pasti akan dituduh menanamkan “keakuan dirinya” dalam Al-Qur’an sebab adanya cerita-cerita luar biasa tentang dirinya dalam Al-Qur’an itu tadi.
“Maka cerita hebat dari Nabi itu, yaa memang tidak dibutuhkan untuk diangkat dalam Al-Qur’an. Maka, di sinilah tugas sunah/hadis yang membersamai Al-Qur’an itu hadir. Oleh demikian, tidak ada ketimpangan sama sekali. Justru mereka (Al-Qur’an dan hadis, serta keilmuan lain yang menyertainya seperti sebut saja tafsir, bahkan sirah) saling melengkapi satu sama lain. Mereka berjalan dengan peran dan porsinya masing-masing,” ungkap Kiai Tain.
*Tulisan ini didapatkan dari hasil Ngaji Tafsir Tematik bersama KH. Musta’in Syafi’ie (02/09/2024).
Penulis merupakan Mahasantri semester 5 (Angkatan Mutawatir)
Editor: Vigar Ramadhan Dano M. D.