Syari’at Islam telah mengatur kehidupan manusia secara detail, baik itu dalam aspek ibadah maupun muamalah. Terkadang dalam menjalankan syariat, manusia juga membutuhkan hal-hal yang bersifat finansial. Contohnya syariat Islam mengatur ketentuan takaran dalam ibadah seperti zakat dan dalam muamalah seperti jual beli.
Tolok ukur takaran syariat dalam ibadah maupun muamalah diukur berdasarkan wurudun nash. Nashlah yang mengatur takaran pasti dalam setiap masalah yang disebut dengan takaran tahdid. Sedangkan dalam menentukan satuan takaran tahdid biasa dikenal dengan sebutan takaran taqrib. Misal dalam kasus air sedikit dan air banyak. Perhatikan hadits berikut,
إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَيْءٌ (أخرجه ابن ماجه)
Artinya: “Ketika air mencapai dua qullah maka tidak ada sesuatu apapun yang mampu menajiskan.” (HR. Ibnu Majah: 517)
Dari hadis di atas dapat kita pahami bahwa, air tidak bisa dihukumi mutanajjis bila mencapai dua qullah (قُلَّتَيْنِ). Dengan catatan, air mutlak yang kemasukan najis tersebut tidak berubah zatnya (rasa, bau, dan warna). Sebaliknya, apabila air dua qullah atau lebih tersebut berubah zatnya (rasa, bau, dan warna) maka air tersebut dihukumi mutanajjis. Berbeda dengan air mutlak yang kurang dari dua kullah, jika ia tercampur dengan benda najis, berubah (zatnya) atau tidak, air tersebut tetap dihukumi mutanajjis.
Dari keterangan di atas, ukuran dua qullah/qullatain merupakan ukuran pasti/tahdid yang dinash oleh Syari’. Lantas mana ukuran taqribnya?. Ukuran taqrib dapat ditemukan melalui qoul-qoul (ungkapan) ulama yang termaktub dalam kitabnya, Perhatikan redaksi dalam kitab Ghoyatul Ikhtisor berikut,
و َالقُلَّتَانِ خَمْسُ مِائَة رِطْلٍ بَغْدَادِيٍ تَقْرِيبْاً فِيْ الأَصَحِّ
Artinya: “Dua kulah kira-kiranya adalah 500 rithl Baghdad menurut pendapat asoh.”
500 rithl dalam redaksi di atas merupakan ukuran taqrib, di mana fuqoha mencoba mengira-ngira volume dua qullah menurut satuan ukuran yang telah disepakati yaitu 500 rithl Baghdad. Ukuran 500 rithl merupakan ukuran taqrib yang ditentukan ulama dalam rangka menyeragamkan jumlah dua qullah. Artinya para ulama Baghdad telah menyepakati bahwa satu qullah adalah 250 rithl.
Adapun contoh lain dalam bab zakat. Disebutkan dalam hadis,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ (أخرجه ابو داود)
Artinya: “Rasul mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha kurma atau gandum.” (HR. Abu Dawud: 1611)
Dalam hadis di atas, satu sha’ menjadi ukuran tahdid dalam kadar kewajiban membayar zakat. Sedangkan contoh dari ukuran taqrib mengenai permasalahan kadar wajibnya zakat terdapat dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab milik Imam Nawawi berikut,
والصاع خمسة أرطال وثلث بالبغدادي لما روى عمر ابن حبيب القاضى قال (حججت مع أبى جعفر فلما قدم المدينة قال ائتوني بِصَاعِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فعايره فوجده خمسة أرطال وثلث برطل أهل العراق»
Artinya: “Sha’ sama dengan 5,33 rithl Baghdad/Irak. Hal ini didasari pada riwayat ‘Umar ibn Hubaib al-Qadli, ia berkata: ketika aku haji bersama Abu Ja’far dan memasuki kota Madinah, ia berkata: beritahu kepadaku ukuran Sha’ Rasulullah saw., kemudian ia mendapatkan informasi bahwa 1 Sha’ sama dengan 5,33 rithl penduduk Irak.”
Ukuran taqrib di sini adalah 5,33 rithl Baghdad yang mana Imam Nawawi telah mengonvensikan satu sha’ dengan 5,33 rithl Baghdad. Meskipun terdapat ukuran taqrib menurut ulama, dalam mengira-ngira (taqrib) kadar satu sha’ berdasarkan SI (Standar Internasional) ulama juga masih terdapat perbedaan dalam penentuannya.
Hal tersebut dikarenakan semua ukuran tahdid belum diketahui ketentuan pastinya berdasarkan SI. Sedangkan ukuran tahdid yang terdiri dari sha’, dziro, qullatani, marhalataini, dll merupakan sebuah alat ukur pada zaman Nabi Muhammad saw. yang mana antar daerah/individu pasti berbeda.
Misalnya dalam kasus membuat penutup aurat ketika membuang hajat. Batas minimal penutup adalah 2/3 dziro’, sedangkan dziro’/lengan sendiri setiap orang itu berbeda. Sebagai contoh, dziro’ (lengan) orang Arab dan orang Indonesia tentu tidak sama ukurannya.
Oleh karena itu, ulama mencoba membuat suatu ketentuan berdasarkan SI mengenai ukuran tahdid yang ada di dalam nash baik Al-Qur’an maupun hadis. Ukuran tersebutlah yang nantinya disebut dengan ukuran taqrib. Apabila ukuran tahdid tidak dikonvensikan dalam ukuran yang lain, maka akan menimbulkan kerancuan dalam syariat.
Contoh lagi dalam kasus jual beli daging yang ditukar dengan hewan hidup, yang dinilai masuk dalam kategori akad yang bathil/tidak sah. Berbeda dengan jual beli kurma dengan anggur, akad ini diperbolehkan. Jika dilihat dari berbagai aspek tidak ada perbedaan di antara kedua jual beli di atas. Lantas apa yang melatarbelakangi adanya perbedaan hukum kedua jual beli tersebut?. Padahal kedua akad ini sama-sama mutafadhilan/berbeda nilainya kok hukumnya malah berbeda?
Tentu, karena dalam kedua kasus ini yang menjadi tolok ukur adalah mi’yaru/miqdaru syar’i. Pada kasus jual beli daging dengan hewan di sini terdapat perbedaan dalam segi cara mengukur. Daging diukur dengan cara ditimbang (mauzun) sedangkan hewan diukur berdasarkan jumlahnya (ma’dud). Satu kwintal daging tidak boleh ditukar dengan satu ekor kambing meskipun nilainya sama.
Berbeda dengan kasus kedua yaitu membeli kurma dengan anggur. Kurma dan anggur memiliki persamaan dalam segi cara mengukurnya, keduanya sama-sama bisa menggunakan mauzun (timbangan) atau makil (takaran). Satu kilo kurma seharga 100 ribu boleh ditukar dengan satu kilo anggur 50 ribu meskipun terdabat perbedaan nilai. Satu ember kurma seharga 100 ribu juga boleh ditukar dengan satu ember anggur seharga 50 ribu meskipun terdapat perbedaan nilai.
Titik tumpu atau mahallu syahid adalah dalam metode cara mengukurnya bukan dari nilai barangnya. Bila menggunakan metode yang sama maka boleh, sebaliknya jika menggunakan metode yang berbeda maka tidak boleh. Hal tersebut selaras dengan keterangan Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayatu Zain berikut,
الرَّابِع كَونه (مَعْلُوم قدر) بكيل فِي مَكِيل أَو وزن فِي مَوْزُون أَو ذرع فِي مذروع أَو عد فِي مَعْدُود
Artinya: “Yang keempat yaitu diketahui kadarnya, takaran berdasarkan alat takar, timbangan berdasarkan alat timbang, ukuran berdasarkan alat ukur, jumlah per individu.”
Betapa jeli dan betapa bijaknya syariat mengatur kehidupan ini. Pada intinya, ukuran tahdid tidak bisa diganggu gugat sedangkan dalam ukuran taqrib fuqoha terdapat khilaf. Lebih lengkapnya bisa buka dalam kitab Fathul Qodir fi Ajaibil Maqodir karya Syekh Maksum Ali al-Jawi. Di sana terdapat penjelasan lengkap perihal taqrib (kira-kira) dalam ukuran yang ada dalam nash (tahdid). Semoga bermanfaat.
Wallahua’lam
Penulis merupakan mahasantri semester 3 (Angkatan Syalmahat)
Editor: Mawil Hasanah Almusaddadah