Dalam studi ilmu hadis, salah satu tantangan yang dihadapi adalah memastikan keshahihan hadis yang diriwayatkan. Hal ini menjadi penting karena hadis merupakan salah satu sumber hukum dan pedoman hidup dalam Islam setelah Al-Qur’an. Oleh karena itu, ulama telah menetapkan berbagai kaidah dan aturan yang harus dipenuhi untuk menentukan apakah suatu hadis dapat dianggap shahih. Hadis shahih adalah hadis yang dapat diandalkan, baik dari segi sanad maupun matan, serta bebas dari kekurangan atau kecacatan.
Penelitian terhadap hadis tidak hanya memerlukan pemahaman yang mendalam tentang isinya, tetapi juga harus mencakup pengujian terhadap sanad, yaitu rantai periwayatan yang menyampaikan hadis dari Nabi Muhammad SAW hingga sampai kepada kita. Memahami kaidah-kaidah keshahihan sanad ini sangat krusial untuk menjaga keaslian ajaran Islam dan memastikan bahwa hadis-hadis yang dipelajari adalah hadis yang sah dan dapat dijadikan landasan hukum dan ibadah.
Untuk meneliti sebuah hadis, diperlukan acuan yang terdiri dari kaidah-kaidah keshahihan hadis. Hadis yang diteliti sering kali bukanlah hadis mutawatir (hadits yang diriwayatkan oleh banyak perawi pada setiap tingkatan sanadnya yang menurut akal tidak memungkinkan mereka sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits). Akan tetapi hadis ahad-lah yang memerlukan pengecekan lebih ketat.
Benih-benih kaidah keshahihan hadis sebenarnya telah muncul sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan masa sahabat, meskipun belum tersusun secara formal. Ulama besar seperti Imam asy-Syafi’i, Imam al-Bukhari, dan Imam Muslim kemudian memperjelas dan menerapkan kaidah-kaidah ini dalam karya mereka. Pada masa berikutnya, ulama lain terus mengembangkan rumusan tersebut, hingga akhirnya kaidah-kaidah ini dirumuskan secara komprehensif dan digunakan hingga kini.1
Salah seorang yang berjasa dalam menyusun kaidah keshahihan hadis adalah Abu Amr Usman bin Abdi ar-Rahman bin al-Salah asy-Syahrazuri atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Salah (w. 577 H/1245 M). Rumusan kaidah yang dikemukakannya yakni:
أَمَّا الْحَدِيثُ الصَّحِيحُ : فَهُوَ الْحَدِيثُ الْمُسْنَدُ الَّذِي يَتَّصِلُ إِسْنَادُهُ بِنَقْلِ الْعَدْلِ الضَّابِطِ إِلَى مُنْتَهَاهُ وَلَا يَكُونُ شَاذًّا وَلَا معللاً.
“Adapun hadis shahih ialah hadis yang bersambung sanad- nya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dabit sampai akhir sanad, (di dalam hadis itu) tidak terdapat kejanggalan (syuzuz) dan cacat (‘illat).”2
Dari definisi tersebut, unsur-unsur keshahihan hadis dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Sanad bersambung: Rangkaian periwayat hadis tidak boleh terputus, mulai dari mukharrij-nya (rawi terakhir yang menuliskan riwayat yang ia dapat dalam sebuah catatan/karya pribadinya) hingga kepada Nabi Muhammad SAW.
2. Periwayat adil: Perawi yang adil adalah seorang Muslim yang telah baligh, berakal, terbebas dari kefasikan karena melakukan dosa besar atau terus-menerus melakukan dosa kecil, serta terjaga dari hal-hal yang merusak kehormatannya.
3. Periwayat dabit: Setiap perawi harus memiliki kemampuan yang baik dalam mengingat dan menyampaikan hadis dan tidak ada penyimpangan (yang buruk dan banyak) dalam hadis yang dia riwayatkan dengan perawi lain.
4. Terhindar dari kejanggalan (syuzuz): Hadis tersebut tidak boleh bertentangan dengan hadis-hadis lain yang lebih kuat.
5. Terhindar dari cacat (‘illat): Tidak terdapat kelemahan tersembunyi dalam sanad atau matan yang bisa merusak keshahihan hadis.
Selanjutnya, Muhyi ad-Din Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi yang dikenal dengan Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) juga memberikan rumusan yang sejalan dengan kaidah yang dikemukakan oleh Ibnu Salah di atas. Menurut Imam Nawawi dalam kitabnya, al-Taqrib wa al-Taysir :
مَا اتَّصَلَ سَنَدُهُ بِالْعُدُولِ الضَّابِطِينَ مِنْ غَيْرِ من غير شذوذ وَلَا عِلَّة.
“(Hadis shahih ialah) hadis yang bersambung sanad-nya, (diriwayatkan oleh orang-orang yang) adil dan dabit, serta tidak terdapat (dalam hadis itu) kejanggalan (syuzuz) dan cacat (‘llat).”3
Dengan adanya kaidah-kaidah ini, maka ulama mampu menilai apakah sebuah hadis dapat dianggap sebagai hadis shahih atau tidak. Apabila hadis tersebut memenuhi semua unsur keshahihan, baik dalam sanad maupun matan, maka hadis tersebut dinyatakan lolos sebagai hadis shahih. Namun, apabila ada satu atau beberapa unsur yang tidak terpenuhi, maka hadis tersebut tidak dapat dianggap sebagai shahih dan bisa jadi tergolong sebagai hadis dha’if atau bahkan maudhu’.
Agar lebih jelas memahami kaidah-kaidah di atas -sekaligus memperjelas tulisan ini-, akan saya sajikan contoh konkrit sebuah hadis shahih yang memenuhi kriteria kaidah di atas, berikut hadisnya:
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ ، قَالَ : حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ، قَالَ : حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ ، أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ ، يَقُولُ : سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : ” إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ “.
Telah menceritakan kepada kami al-Humaidi Abdullah bin az-Zubair, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Sufyan, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id al-Anshari, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ibrahim at-Taimi, bahwa ia pernah mendengar Alqamah bin Waqash al-Laitsi berkata: “Aku pernah mendengar Umar bin al-Khathab di atas mimbar berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Semua perbuatan tergantung pada niatnya, dan setiap balasan tergantung pada apa yang diniatkan. Barang siapa yang berhijrah karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya akan tertuju pada apa yang ia niatkan.“4
Mari kita ungkap semua kaidah yang telah dibahas sebelumnya dalam hadis di atas:
- Kaidah pertama: Salah satu ciri bersambungnya sanad adalah rawi harus menyatakan dengan jelas bahwa ia mendengar (atau dalam bentuk lain yang setara) dari gurunya dalam salah satu riwayatnya, contohnya adalah ketika perawi berkata: ( حدثنا، وحدثني، وسمعت، وأخبرنا، وأخبرني ). Dari ciri pertama, mari kita lihat mulai dari rawi terakhir Abdullah bin Zubair sampai kepada Umar bin Khattab (yang beliau sendiri mendengar langsung dari Rasulullah) di sini terlihat bahwa hadis di atas memenuhi kaidah pertama. Dan setelah saya melihat biografi, tepatnya tahun wafat setiap rawi, tersimpulkan sangat memungkinkan bahwa setiap perawi pernah bertemu sebab semua rawi berada di abad yang sama dan mukim di Madinah (kecuali Sufyan bin Uyainah yang hidup di Kufah).
- Untuk bagian ini, saya akan menggabungkannya dengan kaidah yang ketiga karena kesinambungannya dan untuk mempersingkat tulisan ini: Untuk persoalan keadilan dan kedhabitan setiap rawi pada hadis di atas saya lakukan dengan membaca penilaian Ibnu Hajar al-Ashqolani dalam kitabnya Taqrib al-Tahdzib. Dari semua rawi yang meriwayatkan, tidak ada penilaian buruk, sebaliknya, semuanya dinilai: ثقة (Tsiqqoh) yang berarti dapat dipercaya dan diandalkan periwayatannya. Maka, kaidah kedua dan ketiga pada hadis di atas telah terpenuhi.
- Keempat: mengenai syuyuz, setelah dilakukan takhrij hadis dan perbandingan dengan jalur-jalur periwayat lainnya, tidak ditemukan kejanggalan atau perbedaan pada redaksi matan yang disebutkan, dan walaupun ada perbedaan rawi yang meriwayatkan, semua hadis tetap berstatus shahih. Maka, kaidah selanjutnya ini dapat diterima.
- Terakhir: Kaidah kelima ini juga sebenarnya masih mempunyai kesinambungan dengan keidah keempat, seperti yang dikatakan Dr. Luqman Hakim mengenai kaidah kelima ini dalam kitabnya Imdad al-Mughis Bitashili Ulum al-Hadis:
وهو أن لا يوقف في الحديث على قادح خفي، ويحصل بانتفاء العلة الاطمئنان بأن هذا الحديث الذي نبحثه بعينه قد سلم من القوادح الخفية بعد التأكد من سلامته من القوادح الظاهرة. وتعرف العلة بما يعرف به الشذوذ
“Hal ini berarti bahwa tidak ada cacat tersembunyi yang menghalangi hadis, dan dengan tidak adanya cacat tersebut, akan ada keyakinan bahwa hadis yang kita teliti ini telah terbebas dari cacat-cacat tersembunyi setelah memastikan bahwa ia juga terjaga dari cacat-cacat yang terlihat. Cacat ini diketahui melalui pengertian tentang kejanggalan (syadz).”5
Setelah meneliti hadis di atas dengan membaca penilaian para ulama ahli hadis, tidak ditemukan kecacatan di dalamnya. Maka, dengan kaidah kelima ini, terpenuhilah sudah semua kaidah yang sudah dijabarkan untuk hadis di atas.
Kesimpulannya, meneliti keshahihan hadis memerlukan pemahaman mendalam tentang kaidah-kaidah yang mengatur keshahihan sanad dan matan. Ulama seperti Ibnu Salah dan Imam Nawawi telah menyusun panduan yang detail untuk memastikan bahwa sebuah hadis benar-benar shahih. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah ini, para peneliti dapat menilai apakah suatu hadis dapat dijadikan dasar hukum atau tidak. Melalui pengujian yang ketat terhadap sanad dan matan ini, umat Islam dapat memastikan bahwa mereka berpegang pada ajaran yang murni dan otentik dari Nabi Muhammad SAW.
Pemahaman tentang kaidah keshahihan hadis tidak hanya berfungsi sebagai alat ilmiah dalam studi hadis, tetapi juga menjadi benteng dalam menjaga kemurnian ajaran Islam dari penyimpangan dan distorsi.
- Prof. Dr. M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis, Hal. 106 ↩︎
- Ibnu Salah, Kitab Muqaddimah atau bernama asli ( معرفة أنواع علوم الحديث، ويُعرف بمقدمة ابن الصلاح ) , Hal. 11-12 (Versi website Turath/Turots) ↩︎
- Imam An-Nawawi, at-Taqrib wa at-Taisir, Hal. 2 (Versi website Turath/Turots) ↩︎
- Imam al-Bukhari, Shahih Bukhari, Hadis no. 1 ↩︎
- Dr. Lukman Hakim, Imdad al-Mughis Bitashili Ulum al-Hadis, Hal. 31 ↩︎
Penulis merupakan mahasantri semester 3 (Angkatan Syalmahat)
Editor: Mawil Hasanah Almusaddadah