Agar tulisan yang saya tulis mempunyai keberlanjutan dan keterkaitan, maka tulisan kali ini (insyaallah kedepannya juga) adalah kelanjutan dari tulisan-tulisan sebelumnya, yang semoga saja bisa terus continue kedepannya. Tentu dengan menyuguhkan tema-tema seputar hadis dan ilmu hadis. Nah, pada kesempatan kali ini, saya ingin menguak lebih mendalam -sedikitnya- lima kaidah penetapan keshahihan hadis Nabi SAW.
Mengenai bagaimana awal mula kaidah-kaidah ini muncul, sampai pada penyempurnaannya oleh Ibnu Salah, hal tersebut sudah dijelaskan pada tulisan sebelumnya (Telaah Awal Keshahihan Hadis).1 Maka, demi kefokusan pembahasan, tulisan ini akan langsung membahas dan menguraikan setiap kaidah yang sudah ditetapkan dalam ilmu hadis.
1. Bersambungnya Sanad ( اتصال السند )
Bersambungnya sanad berarti, setiap perawi dalam rantai sanad sebuah hadis benar-benar menerima atau mengambil hadis dari gurunya, hal seperti ini diharuskan mulai dari awal hingga akhir sanad. Dengan demikian, sebuah hadis dapat dikatakan bersambung sanadnya apabila mata rantai sanad hadisnya tidak terputus, di mana setiap perawi mendengar hadis dari gurunya atau perawi sebelumnya.
Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa sanad periwayatan bersambung, maka harus dipenuhi dengan dua syarat:
Pertama, setiap perawi mendengar atau mengambil secara langsung hadis dari gurunya. Kedua, tidak ada satu pun perawi yang terlewat dari rantai sanad atau terlepas dari tadlis التدليس (yang nantinya akan dibahas pada tema tersendiri)
Selain itu, bersambungnya sanad juga dapat diketahui melalui dua cara berikut,
Pertama, adanya pernyataan tegas dari perawi bahwa ia mendengar hadis tersebut, misalkan menggunakan lafaz munawalah (حدثنا, سمعت, أخبرنا, وغيره). Kedua, adanya kesamaan zaman antara perawi -yang dengan kesamaan zaman hidupnya itu- menjadi indikator kemungkinan mereka bertemu dan mendengar langsung.
Sebagai contoh, saya ambil dari kitab Taysir Mustholah al-Hadis, yang nantinya bisa dipakai untuk contoh di kaidah selanjutnya:
2.حدثنا عبد الله بن يوسف، قال: أخبرنا مالك، عن ابن شهاب، عن محمد بن جبير بن مطعم، عن أبيه، قال: سمعت رسول الله ﷺ قرأ في المغرب بالطور
Pada hadis ini, setiap rawi mulai awal hingga akhir benar-benar telah mendengar dari guru-gurunya, dengan ciri menggunakan kalimat munawalah yang sesuai dengan kaidahnya.
2. Sifat Adilnya Perawi ( عدالة الراوي )
Adil yang dimaksud disini adalah kondisi di mana perawi terbebas dari kefasikan dan hal-hal yang merusak kehormatannya. Menjauhi perbuatan tercela dan tidak pantas, yang itu akan memperburuk citranya di depan manusia. Maka, perawi yang adil, disyaratkan menjadi sebagai berikut: Muslim yang telah baligh, berakal, terbebas dari kefasikan (sebab melakukan dosa besar maupun dosa kecil yang terus-menerus), dan menjaga diri dari hal-hal yang merusak kehormatannya (muru’ah).
Setelah syarat-syarat di atas, keadilan perawi nantinya ditetapkan melalui tiga hal, yaitu:
Pertama, memang dikenal di kalangan ulama sebagai orang yang adil. Kedua, mendapat banyak pujian atas keadilannya, seperti halnya para imam empat mazhab. Ketiga, adanya pernyataan tegas dari dua atau satu ulama yang mengakui keadilannya.
Lihat ke contoh hadis di atas, sekaligus merangkup ke keidah yang ketiga, semua rawi bersifat adil dan mempunyai hafalan yang kuat (dabit ) menurut para ulama jarh wa tadil, berikut perinciannya:
- Abdullah bin Yusuf: Tsiqah mutqin
- Malik bin Anas: Jelas beliau masyhur sebagai imam dan hafidz (hadis)
- Ibnu Syihab: Seorang pakar fiqih, ulama sepakat akan hal itu.
- Muhammad bin Jubair: Tsiqah
- Jubair bin Muth’im: Sahabat Rasulullah (tentu seluruh sahabat dinilai adil. Untuk alasannya akan dibahas dibagian yang lain)
3. Ketelitian Perawi ( ضبط الراوي)
Sifat dabit seorang perawi yaitu setiap perawi hadis tersebut harus benar-benar sempurna hafalannya, cara mengetahuinya adalah dengan mencari tahu apakah riwayatnya sesuai dengan riwayat perawi lain yang terpercaya, jika sebagian besar hadis yang diriwayatkan sejalan dengan perawi lain yang terpercaya, maka ia dianggap dabit.
Atas diharuskannya sifat dabit seorang perawi, mau tidak mau rawi harus teliti, tidak lupa maupun ragu-ragu ketika menerima hadis atau saat meriwayatkannya. Maka, kiranya perawi harus benar-benar hafal hadis tersebut (jika ia meriwayatkan berdasar ingatannya). Lebih lanjut, perawi diharuskan teliti terhadap kitabnya jika ia meriwayatkannya dari tulisannya, terakhir perawi juga harus mengetahui akan perubahan makna jika ia meriwayatkan hadisnya secara makna.
Berdasarkan paparan singkat di atas, kedabitan nantinya terbagi menjadi dua jenis:
Pertama, dabit dalam ingatan, yakni kemampuan perawi untuk mengingat apa yang didengarnya sehingga bisa mengulanginya kapan saja. Kedua, dabit dalam kitab, yakni terpeliharanya periwayatan melalui kitab miliknya atau dengan kata lain, perawi dapat menjaga kitabnya sejak ia mendengar lalu menuliskannya, dan memeriksanya saat ia meriwayatkan hadis dari kitab tersebut.
Contohnya adalah Malik bin Anas, ulama bersepakat akan kepakarannya dalam bidang hadis, mengingat beliau sekaligus seorang imam dan hafidz (hadis)
4. Terlepas dari Syadz ( انتفاء الشذ)
Syadz atau yang berarti kejanggalan adalah kondisi di mana perawi yang tepercaya menyelisihi riwayat perawi yang lebih tepercaya (tsiqah) darinya, menyelisihi sekelompok perawi tepercaya (tsiqah) lainnya.
Adapun cara mengetahui adanya syadz -pendeknya- dengan dua cara:
Pertama, mengumpulkan berbagai jalur periwayatan dan redaksi hadis yang berbeda, lalu membandingkannya agar terlihat, apakah hadis tersebut sesuai dengan jalur-jalur lain sehingga diterima, atau menyelisihi riwayat lain yang lebih tsiqah sehingga harus ditolak. Kedua, memeriksa pendapat para ulama hadis mengenai hadis tersebut dalam kitab-kitab Jarh wa Ta’dil dan penjelasannya. Setelah menelisik cara di atas, kita akan tahu sebuah hadis bisa dikatakan syadz atau tidak.
Dalam kitab Taysir Mustholah al-Hadis telah dijelaskan mengenai contoh hadis di atas bahwa hadis ini tidak syadz dikarenakan tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat darinya.
5. Terlepas dari kecacatan ( انتفاء العلة القادحة )
Artinya, tidak ditemukan cacat yang tersembunyi dalam hadis tersebut. Dengan memastikan tidak adanya cacat yang tersembunyi, kita bisa merasa yakin bahwa hadis yang sedang diteliti ini bebas dari cacat yang tersembunyi, setelah sebelumnya dipastikan juga bebas dari cacat yang terlihat. Kecacatan ini diketahui dengan cara yang sama seperti mengetahui adanya kejanggalan (syadz) pada kaidah sebelumnya.
Seperti hadis di atas, ulama sepakat akan ketidakadaan cacat dalam hadis tersebut, tentu ulama lah hadis yang menilainya, sedang umat muslim bisa mengikuti pendapat tersebut.
Dalam perjalanan meneliti dan memahami hadis, kita dihadapkan pada kaidah-kaidah yang menjadi landasan keshahihannya. Setiap kaidah, mulai dari sanad yang bersambung hingga ketelitian perawi, memberikan kita panduan untuk menilai keotentikan sebuah hadis. Dengan mematuhi prinsip-prinsip ini, kita tidak hanya menghormati warisan ajaran Nabi Muhammad SAW, tetapi juga memastikan bahwa pemahaman kita tentang Islam tetap murni dan sahih.
Perlu diketahui bahwa, semua yang penulis paparkan adalah hasil representatif dan kutipan yang diambil dari kitab Imdad al-Mughis bitashili Ulum al-Hadis karya Dr. Luqman Hakim, kurang lebih ini adalah hasil rangkuman penulis atas kitab itu, tepatnya mulai dari halaman 23-31, dan ada beberapa tambahan juga yang diambil dari kitab Taysir Mustholah al-Hadis karya Dr. Mahmud ath-Thahhan.
Tulisan ini hanya sekedar pengantar dari pembahasan kaidah dalam ilmu hadis, maka dari itu, untuk lebih lengkap dan detailnya, pembaca sekalian bisa membuka dan membaca sendiri dua kitab di atas. Terakhir, melalui telaah ini, diharapkan -khususnya saya sendiri- agar semakin terdorong untuk mendalami ilmu hadis, karena setiap hadis yang shahih adalah sumber petunjuk yang berharga dalam kehidupan sehari-hari.
Sekian, semoga bermanfaat.
- https://perpus.tebuireng.ac.id/2024/10/07/telaah-awal-keshahihan-hadis-menyingkap-kaidah-sanad-dan-matan-dalam-hadis/ ↩︎
- البخاري، كتاب الأذان، باب الجهر في المغرب، ٢/ ٢٤٧، حديث ٧٦٥ ↩︎
Penulis merupakan mahasantri semester 3 (Angkatan Syalmahat)
Editor: Mawil Hasanah Al.