Naqdul matan, secara makna, adalah menampilkan suatu hadis yang kemudian dibandingkan dengan syarat-syarat keshahihan yang berhubungan dengan matan untuk mengetahui apakah syarat tersebut terpenuhi atau tidak[1]. Secara bahasa, naqdun bermakna iqtiroh (kritik), akan tetapi guru kami, Dr. Ubaidi Hasbillah, lebih memilih makna tamyiz (membedakan), karena keluhuran hadis sendiri yang termasuk bagian dari wahyu[2], sehingga tidak pantas untuk dikritik. Hal ini juga selaras dengan keterangan dalam kitab Mu’jam Al-Mua’sirah dengan diksi:
نقَد الشّيءَ: بيَّن حسنَه ورديئه
“Mengkritik sesuatu: menjelaskan baik dan buruknya.”
Dalam konteks ini, “نقد” berarti memberikan penilaian atau kritik dengan cara menunjukkan aspek positif (kebaikan) dan negatif (keburukan) dari sesuatu tersebut.
Dalam dunia ilmu Naqdul Matan modern saat ini, terdapat empat kaidah pokok untuk proses filterisasi mutan hadis, yang semuanya terilhami dari aktivitas Naqdul Matan yang dilakukan oleh para sahabat, terutama Shabiyyah Sayyidah Aisyah Radhiyallahu’anha, yaitu:
- 1. Kritik terhadap riwayat-riwayat yang bertentangan dengan Al-Qur’an.
- 2. Kritik terhadap riwayat-riwayat yang bertentangan dengan hadis dan sirah yang shahih.
- 3. Kritik terhadap riwayat-riwayat yang bertentangan dengan akal, pancaindra, atau sejarah.
- 4. Kritik terhadap riwayat-riwayat yang tidak menyerupai perkataan kenabian.
Poin pertama mengacu pada penilaian riwayat-riwayat hadis yang isinya bertentangan dengan ajaran atau ketentuan yang jelas dalam Al-Qur’an. Poin kedua berfokus pada evaluasi riwayat-riwayat yang bertentangan dengan hadis-hadis yang telah diakui keshahihannya atau dengan peristiwa-peristiwa yang tercatat secara jelas dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad (sirah). Poin ketiga menekankan pentingnya memeriksa riwayat yang tidak masuk akal, tidak sesuai dengan realitas yang dapat dirasakan oleh pancaindra, atau tidak sejalan dengan fakta sejarah yang diketahui. Poin keempat mengacu pada riwayat-riwayat yang bahasanya atau isinya tidak sesuai dengan gaya bahasa atau karakteristik ucapan Nabi Muhammad, baik dari segi kebijaksanaan, kesantunan, atau sifat khas kenabian lainnya.
Keempat poin ini menunjukkan langkah-langkah metodologis dalam kritik hadis untuk menilai keabsahan sebuah riwayat dengan menggunakan standar yang bersumber dari Al-Qur’an, hadis shahih, logika, realitas, dan ciri khas ucapan kenabian.
Cara kerja naqdul matan sendiri adalah dengan melihat redaksi periwayatan hadis. Maka dari itu, terkadang didapati sebuah matan yang tidak mungkin keluar dari ucapan Rasulullah SAW, dan seketika ulama pun langsung menolaknya tanpa mempertimbangkan sanadnya, meskipun sanadnya shahih[3]. Kesejarahan ilmu naqdul matan dimulai dari para sahabat nabi. Akan tetapi, aktivitas pada saat itu hanya terbatas untuk membenarkan makna kandungan hadis saja, bukan sampai mendhoifkan seperti peran ilmu naqdul matan pada masa ini.[4]
Seluruh sahabat pada saat itu mempunyai peran dalam fan ilmu naqdul matan ini. Namun, Sayyidah Aisyah lah yang disinyalir sebagai Shahabiyyah yang paling aktif dalam aktivitas naqdul matan pada masa awal hijriah.[5] Hal inilah yang mengilhami penulis untuk memaparkan apa saja peran Sayyidah Aisyah dalam memilah dan memilih hadis pada saat itu. Sekiranya sangat pantas pula jika Sayyidah Aisyah Radhiyallahu’anha disematkan gelar Ummi Naqdil Matan sebagai gelar kehormatan atas seluruh jasa beliau yang mampu memberikan interpretasi lebih terhadap filterisasi hadis nabi.
Berikut adalah metode Sayyidah Aisyah dalam menyeleksi hadis yang dijadikan rumusan metodologi tetap ilmu naqdul matan sampai saat ini:
1. Menggunakan Al-Qur’an
Seperti halnya hadis sebagai mubayyin Al-Qur’an, adalah suatu kemustahilan jika hadis bertentangan dengan kandungan Al-Qur’an. Contoh kasus ini adalah hadis dari Abu Hurairah:
وَلَدُ الزِّنَى شَرُّ الثَّلاثَة
“Anak zina adalah yang terburuk di antara tiga orang.”
Secara sekilas, hadis ini bermakna bahwa anak hasil zina adalah salah satu dari tiga keburukan. Jika demikian, maka kandungan hadis ini seakan bersifat timpang sebelah. Bagaimana mungkin seseorang yang melakukan dosa, lalu beban dosanya juga dibebankan kepada orang lain? Mungkin seseorang akan berpikir, “Zina siapa yang dapat dosa siapa?” Ternyata, memang bukan seperti itu maknanya. Maka Sayyidah Aisyah membenarkan maknanya dengan ayat Al-Qur’an:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى
“Dan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.”
Dalam surah Al-An’am ayat 164 di atas, menunjukkan bahwa seorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain. Beliau membenarkan makna hadis tersebut karena bertentangan dengan Al-Qur’an, dimana seluruh hadis tidak mungkin bertentangan dengan kandungan Al-Qur’an, karena tugas nabi adalah mubayyin dari Al-Qur’an. Adapun makna yang benar menurut Imam Sufyan adalah, “Apabila anak itu melakukan zina seperti apa yang dilakukan orang tuanya”.[6]
Sangat berkebalikan dengan makna yang seakan diskriminatif tadi, penjelasan Sayyidah Aisyah justru sangat bersahabat. Beliau menuturkan bahwasanya pada suatu hari ada seorang pria dari golongan munafik yang menyakiti Nabi SAW. Kemudian Nabi SAW berkata, “Siapa yang menyakitiku?” Salah satu sahabat menimpali, “Dia adalah anak hasil zina.” Lalu Nabi SAW kemudian berkata:
هو شَرُّ الثَّلاثَة
“Dia adalah salah satu dari tiga keburukan.”[7]
Maka, jika kita menggunakan makna dari Imam Sufyan, justru hasil makna yang didapati tidak diskriminatif sama sekali. Nabi mencari orang yang telah menyakitinya saat itu supaya beliau bisa membina dan mendidiknya, karena tanpa adanya binaan orang itu, kemungkinan akan melakukan kesalahan yang sama seperti orang tuanya dulu. Apabila dia melakukan kesalahan yang sama seperti orang tuanya dahulu, itulah yang dimaksud sebagai salah satu dari tiga keburukan.
2. Menggunakan Asbabul Wurud
Asbabul wurud adalah mengetahui keadaan saat itu ketika hadis diucapkan.[8] Maka dari itu, sangat penting dalam menyimpulkan makna suatu hadis dengan melibatkan asbabul wurudnya. Hal inilah yang juga dilakukan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu’anha. Contoh kasus ini adalah hadis:
إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ
“Sesungguhnya, mayit disiksa karena tangisan keluarganya atasnya.”
Terjemah hadis ini sekilas menunjukkan bahwa seorang mayit akan diazab sebab tangisan keluarganya. Guru kami, Dr. Ubaidi Hasbillah, menerangkan, “Bagaimana bisa seseorang yang di dalam kubur diazab sebab tangisan keluarganya yang masih hidup?” Ternyata, makna hadis itu sudah lebih dulu dibenarkan oleh Sayyidah Aisyah. Beliau meluruskannya dengan menjelaskan asbabul wurud hadis tersebut. Beliau menceritakan bahwasanya pada suatu perjalanan, Nabi mendapati seorang mayit perempuan Yahudi yang ditangisi oleh keluarganya. Kemudian beliau berkata, “Mereka tersiksa karena kepergian sang mayit,” dan si mayit pun juga akan disiksa di dalam kuburnya karena dia adalah orang Yahudi, bukan karena dia ditangisi oleh keluarganya yang masih hidup.[9]
3. Menggunakan Logika
Agama Islam adalah agama yang sesuai dengan logika. Islam membahas banyak persoalan yang harus diimani melalui kitab sucinya, yang membaca alam dan menjelaskannya kepada kita dengan rasional dan logis.[10] Dari sini kita mengetahui kedudukan logika dalam Agama Islam. Akan tetapi, tentu ada batasan-batasan tertentu dalam kita menyeleksi matan hadis dengan menggunakan metode ini. Pada contoh kasus ini adalah pembenaran makna suatu hadis yang berbunyi:
من غسل ميتا فليغتسل ومن حمله فليتوضأ
“Orang yang setelah memandikan mayit supaya mandi juga, dan barangsiapa yang setelah membawa seorang mayit supaya melakukan wudhu.”
Setelah hadis ini didengar oleh Sayyidah Aisyah, kemudian beliau pun menimpali, “Apakah mayit-mayit orang Muslim merupakan suatu barang yang najis?” Pada keterangan ini, beliau sama sekali tidak menyangkal dengan ayat Al-Qur’an, Asbabul Wurud, maupun hadis. Beliau hanya memberikan analogi dengan berkata:
وما على رجل لو حمل عودا؟
“Dan bagaimana seseorang yang membawa kayu?”
Logika dasar inilah yang juga digunakan oleh Sayyidah Aisyah dalam aktivitas Naqdul Matan pada masa itu, karena seorang mayit itu diibaratkan seperti kayu, tetap suci dan tidak punya tendensi hukum apapun yang mengenai dirinya sendiri. Bahkan lebih dalam, seorang mayit yang disetubuhi orang yang masih hidup tidak terkena kewajiban mandi karena sudah hilangnya sifat-sifat taklifi.
Para ulama berpendapat mandi di sini bukan karena si mayit itu adalah sesuatu yang najis, tetapi sebagai sikap kehati-hatian terhadap kebersihan dan kesucian. Hemat penulis, mungkin saja saat proses pemandian mayit, dimungkinkan keluar suatu najis seperti darah dari jasadnya yang bisa mengenai orang yang memandikan.
4. Menggunakan Hadis
Sebagai tiang pokok nomor dua setelah Al-Qur’an, peran hadis selain menjadi mubayyin dari Al-Qur’an juga menjadi mubayyin dari hadis. Dalam aktivitas Naqdul Matan, pelurusan makna hadis juga menggunakan literatur hadis lain. Hal ini juga dilakukan oleh Sayyidah Aisyah. Pada saat itu, beliau mendapati sebuah hadis yang berbunyi:
من لم يوتر فلا صلاة له
“Orang yang tidak menutup sholatnya dengan sholat witir, maka tidak ada sholat baginya.”
Redaksi ini berangkat dari kesalahpahaman sahabat Abu Hurairah saat meriwayatkan secara makna apa yang didengar dari Rasulullah SAW yang berbunyi:
يا أهل القرآن أوتروا فإن الله وتر يحب وترا
“Wahai ahli Al-Qur’an, akhirilah sholat kalian dengan sholat witir, sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Witir (Tunggal) dan menyukai sholat witir.”
Secara makna, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ini terlihat begitu janggal karena seakan menyandarkan diterimanya sholat-sholat maktubah dengan sholat witir. Hematnya, orang yang tidak melakukan sholat akhir witir maka seluruh sholatnya tidak diterima. Hal ini juga sama saja memposisikan derajat sholat witir sama dengan bahkan melebihi sholat wajib.
Dalam hal ini, Sayyidah Aisyah Radhiyallahu’anha membenarkan makna hadis tersebut dengan menampilkan hadis yang berisi bahwa kewajiban sholat secara mutlak itu hanya lima. Apabila sholat witir memang benar menjadi sebuah kewajiban, maka Nabi SAW akan mengatakan bahwa kewajiban sholat ada enam.
Semoga dengan tulisan ini mampu menambah semangat kita dalam mempelajari Ilmu Diroyah Hadis dan mengetahui bahwa aktivitas dialog ilmu hadis sudah terjadi semenjak zaman awal hijriah.
Wallahu A’lam.
Penulis merupakan Mahasantri semester 3 (Angkatan Syalmahat)
Editor: Vigar Ramadhan Dano M. D.
[1] حوار حول منهج المحدثين في نقد الروايات سندا ومتنا لشيخ عبد الله بن ضيف الله الرحيلي باب هل نقد المتن وحده يثبت به تصحيح الحديث أو تضعيف؟ صحيفة 46
[2] الحديث و المحدثون لشيخ محمد أبو زهو
[3] منهج نقد المتن لشيخ صلاح الدين الإدليبي
[4] لدفاع عن السنة جامعة المدينة ( ماجستير) الدرس: ١٦ الرد على دعوى اهتمام المحدثين بنقد السند دون المتن صحيفة 3237
[5] منهج نقد المحدثين لشيخ صلاح الدين بن أحمد الإدلبي باب موضوع نقد المتن صحيفة 18
[6] السنن الكبرى لشيخ أبو بكر البيهقي كتاب الأيمان باب ما جاء في ولد الزنا الجز 20 صحيفة 153
[7] منهج نقد المحدثين لشيخ صلاح الدين بن أحمد الإدلبي باب موضوع نقد المتن صحيفة 125
[8] السبر عند المحدثين لشيخ عبد الكريم جراد المبحث العاشر: معرفة أسباب ورود الحديث صخيفة 484
[9] منهج نقد المحدثين لشيخ صلاح الدين بن أحمد الإدلبي باب موضوع نقد المتن صحيفة 12
[10] Fethulllah Gulen Hoejaefendi ( 21 Agustus 2015) ISLAM ADALAH AGAMA YANG SESUAI DENGAN AKAL DAN LOGIKA ( Situs Islam Rohmatalila’lamin)