Feminisme akhir-akhir ini menjadi paham yang cukup populer. Paham Feminisme membawa wacana kesetaraan (equality) di tengah ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan. Perempuan di seluruh dunia dianggap sebagai makhluk yang tertindas, sehingga melahirkan ketimpangan sosial. Menurut kaum feminis, ada beberapa ketimpangan yang terjadi yang menimpa perempuan di ruang publik.
Kate Millet, seorang feminis radikal libertarian dalam sexual politic mengatakan bahwa agama merupakan salah satu faktor yang menjadi penyebab tersingkirkannya perempuan. Melalui agama, orang-orang bisa menjustifikasi bahwa perempuan harus seperti ini dan seperti itu serta mengatakan bahwa ini merupakan ajaran Tuhan. Dan inilah yang sedang terjadi pada ajaran agama Islam. Beberapa kelompok mencoba menyetarakan konsep keadilan yang dibawa oleh Islam.
Jika kita ingin mengetahui bagaimana paham Feminisme ini bekerja, maka kita harus membaca sejarah genealoginya terlebih dahulu. Feminisme merupakan ide untuk menyetarakan peran perempuan di ruang publik. Ide ini muncul di Barat ketika Barat masih membatasi ruang gerak perempuan. Pada abad pertengahan, yang saat itu Eropa masih belum mengizinkan perempuan untuk turut serta dalam kehidupan di luar rumah.
Perempuan juga tidak mempunyai hak untuk memiliki kekayaan dan untuk belajar. Begitu juga yang terjadi di Jerman, seorang suami masih memiliki hak untuk menjual istrinya. Di Amerika, perempuan bahkan tidak memiliki hak untuk memilih atau menduduki jabatan politik yang dipilih melalui pemilu.
Keadaan seperti inilah yang mendorong lahirnya gerakan Feminisme. Tetapi, jika kita menarik lebih jauh maka akan ditemukan bahwa ketimpangan yang terjadi di dunia Barat dipengaruhi oleh pandangan ahli teologi Kristen yang menjadikan perempuan sebagai objek dan melahirkan paham-paham yang misoginis (sikap atau pandangan yang membenci, merendahkan, atau mendiskriminasi perempuan).
Tertullian, seorang ahli teologi Kristen abad ke 2 M berpendapat bahwa setiap perempuan membawa kutukan (curse) Hawa. Dalam ajaran kristen, Hawa dianggap sebagai penyebab dihukumnya Adam ke Bumi. Dalam kitab kejadian 3 : 5-6 yang berbunyi :
3:5 “Tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.”
3:6 “Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya.”
Selain Tertullian, ada beberapa ahli teologi Kristen yang memiliki paham misoginis seperti Saint John Chrysostom, Saint Thomas Aquinas dan Saint Paul’s yang berpandangan bahwa perempuan merupakan sumber dosa dan manusia kelas dua di dunia. Menurut Henry, pandangan para ahli teologi Kristen ini dipengaruhi oleh teks-teks Bible yang bernuansa misoginis. Contohnya seperti Sirakh 42:14 yang berbunyi :
“Kejahatan laki-laki lebih baik dari daripada kebaikan perempuan, dan perempuanlah yang mendatangkan malu dan nista.”
Ringkasnya, gerakan Feminisme di Barat muncul sebagai reaksi ketidakpuasan terhadap teks-teks Bible sehingga mereka menolak untuk terus-menerus membaca teks-teks kitab suci dan tradisi patriarkal kuno sebagaimana diungkapkan oleh Nicola Slee.
Kenapa Islam tidak perlu difeminisasi?
Islam muncul ketika perempuan masih dianggap sebagai barang. Perbudakan, poliandri dan poligami tanpa batas masih terjadi di semenanjung Arab pada saat itu. Sampai pada Islam hadir pada abad ke 6 masehi, lalu Islam memberikan perempuan kedudukan yang layak sebagaimana manusia yang sama.
Peran Islam dalam mengangkat derajat perempuan bisa kita lihat dari peran para sahabat perempuan pada saat itu yang banyak berkotribusi dalam persebaran agama Islam seperti Asma binti Abu Bakar yang membantu memberikan logistik pada Nabi Muhammad dan Abu Bakar ketika hendak hijrah ke Madinah, begitu juga dengan Nusaiba binti Ka’ab al-Anshari yang ikut berpartisipasi dalam perang uhud.
Islam juga menghilangkan stigma masyarakat Arab pada saat itu yang menganggap bayi perempuan sebagai bentuk kesialan dan aib keluarga sehingga mereka menguburnya hidup-hidup. Hal ini menunjukan bahwa Islam memberikan kedudukan yang sama dengan laki-laki sebagai manusia.
Jika kita melihat secara sekilas, mungkin ada persamaan nilai antara Islam dan Feminisme, yaitu keduanya mencoba memberikan ruang dan hak pada perempuan-perempuan tertindas. Keduanya sama-sama mengangkat kedudukan perempuan sebagai manusia. Tetapi sebagaimana yang saya jelaskan diatas bahwa Feminisme lahir sebagai respon ketidakpusan dan kekecewaan terhadap ajaran-ajaran Kristen yang dibawa oleh para ahli teologi Kristen.
Sehingga mereka menuduh bahwa Kristen adalah agama yang anti perempuan dan penindasan perempuan berasal dari kitab suci. Inilah yang kemudian memunculkan sebuah ungkapan yang populer dikalangan feminsime yaitu ungkapan Meredith Burgmann, ia mengatakan :
If you thought about your life as a women, the first thing you would do is reject christianity.
“Jika kamu berpikir tentang kehidupan kamu sebagai seorang perempuan, hal pertama yang akan Anda lakukan adalah menolak agama Kristen.”
Disinilah letak perbedaan Islam dan Feminisme. Islam secara substantif membawa ajaran tentang bagaimana menempatkan perempuan sesuai dengan perannya. Islam memang tidak menghendaki kesetaraan tetapi Islam menghendaki keadilan. Keduanya pun secara konseptual memiliki perbedaan. Feminisme menginginkan kesetaraan sedangkan Islam menginginkan keadilan.
Sekian.
Penulis merupakan alumni Ma’had Aly Hasyim Asy’ari (Angkatan Tsuroya)
Editor: Vigar Ramadhan Dano M. D.