Bagi kaum Salafi (Wahabi), Nashiruddin Albani adalah seorang ulama besar dan ahli hadis terkemuka. Karya-karyanya dalam bidang hadis sangat berlimpah dan sering dijadikan rujukan utama dalam menilai keabsahan riwayat hadis. Menurut mereka, hal ini disebabkan oleh ketekunan Albani dalam meneliti dan berani memberikan komentar terhadap hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab para ulama terdahulu. Puncaknya, Albani menyusun kitab-kitab khusus yang mengelompokkan hadis-hadis shahih, dhaif (lemah), dan maudhu’ (palsu), baik yang ada dalam kitab para ulama (ta’liq) maupun yang ada dalam kitab karangannya yang bertajuk Silsilatu Ahadits ad-Dhaifah.
Bagi kaum Salafi dan Wahabi, Albani dianggap sebagai ahli hadis yang memiliki penguasaan mendalam di bidangnya. Oleh karena itu, sebagian dari mereka merasa puas setelah mengetahui pendapat Albani mengenai hadis yang mereka kaji, seakan telah mencapai kesimpulan akhir dan final ketika menyatakan “hadis ini dishahihkan oleh Albani” atau “Albani mendhaif-kan hadis ini.”
Nah, sebagai kelanjutan dari tulisan sebelumnya, penulis dalam kesempatan kali ini ingin memberikan testimoni pernyataan dari para ulama perihal kesalahan-kesalahan Albani dalam men-takhrij hadis. Sebab, segala kesimpulan yang penulis buat perihal kredibilitas Albani tidak akan ada nilainya apabila tidak dijustifikasi dengan pernyataan para ulama yang berkaitan dengannya.
Kitab karya Syekh Hasan bin Ali al-Saqqaf yang berjudul Tanaqudhat Albani al-Wadhihah merupakan sebuah tulisan yang menarik dan mendalam dalam mengungkapkan kesalahan-kesalahan fatal yang dilakukan oleh Albani. Dalam kitab tersebut, al-Saqqaf mencatat sebanyak seribu lima ratus (1500) kesalahan Albani yang disertai dengan data dan bukti. Bahkan, berdasarkan penelitian ilmiahnya, terdapat tujuh ribu (7000) kesalahan fatal yang ditemukan dalam karya-karya yang ditulis oleh Albani. Oleh karena itu, jika mayoritas ulama telah menegaskan penolakan terhadap pandangan tersebut, hal ini menunjukkan bahwa Nashiruddin Albani mungkin kurang tepat untuk dijadikan rujukan atau panutan.
Hal ini juga diakui oleh Syekh Yusuf Qardhawi dalam tanggapannya terhadap Albani, yang mengomentari hadis-hadis dalam kitabnya yang berjudul al-Halal wal-Haram fil-Islam, sebagai berikut, “Oleh sebab itu, penetapan Syekh Albani tentang dhaif-nya suatu hadits bukan merupakan hujjah yang qath’i (pasti) dan sebagai kata pemutus. Bahkan dapat saya katakan bahwa Syekh Albani hafizhahullah terkadang melemahkan suatu hadis dalam satu kitab dan mengesahkannya (menshahihkannya) dalam kitab lain”.1
Bahkan, pernyataan tegas Syekh Yusuf Qardhawi ini senada dengan pengakuan Syekh Abdullah bin Muhammad Ad-Duwaisy, salah seorang muridnya, dalam kitabnya yang bertajuk “Tanbihul Qari’ ‘ala Taqwiyati Ma Dha’afahu al-Bani” sebagai berikut,
أَمَّا بَعْدُ : فَهَذِهِ أَحَادِيْثُ وَآثَارٌ وَقَفْتُ عَلَيْهَا فِي مُؤَلَّفَاتِ الشَّيْخِ مُحَمَّدٍ نَاصِرِ الدِّيْنِ اْلأَلْبَانِي تَحْتَاجُ إِلَى تَنْبِيْهٍ مِنْهَا مَا ضَعَّفَهُ وَلَمْ يَتَعَقَّبْهُ وَمِنْهَا مَا ضَعَّفَهُ فِي مَوْضِعٍ وَقَوَّاهُ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ وَمِنْهَا مَا قَالَ فِيْهِ لَمْ أَجِدْهُ أَوْ لَمْ أَقِفْ عَلَيْهِ أَوْ نَحْوَهُمَا ، وَلَمَّا رَأَيْتُ كَثِيْرًا مِنَ النَّاسِ يَأْخُذُوْنَ بِقَوْلِهِ بِدُوْنِ بَحْثٍ نَبَّهْتُ عَلَى مَا يَسَّرَنِيَ اللهُ تَعَالَى . فَمَا ضَعَّفَهُ وَهُوَ صَحِيْحٌ أَوْ حَسَنٌ وَلَمْ يَتَعَقَّبْهُ بَيَّنْتُهُ وَمَا ضَعَّفَهُ فِي مَوْضِعٍ ثُمَّ تَعَقَّبَهُ ذَكَرْتُ تَضْعِيْفَهُ ثُمَّ ذَكَرْتُ تَعْقِيْبَهُ لِئَلاَّ يَقْرَأَهُ مَنْ لاَ اطِّلاَعَ لَهُ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي ضَعَّفَهُ فِيْهِ فَيَظُنُّهُ ضَعِيْفًا مُطْلَقًا وَلَيْسَ اْلأَمْرُ عَلَى مَا ظَنَّهُ
“Kitab ini terdiri dari hadis dan atsar yang saya temukan dalam kitab-kitab Syekh Albani yang memerlukan peringatan, diantaranya hadis yang ia nilai dhaif tapi tidak ia ralat, diantaranya juga hadis yang ia nilai dhaif di satu kitab tetapi ia shahihkan di kitab yang lain, juga yang ia katakan ‘saya tidak menemukannya’ (padahal dapat ditemukan dalam kitab-kitab hadis), dan sebagainya. Ketika saya melihat banyak orang yang mengambil keterangan dari Albani tanpa meneliti maka saya ingatkan, sesuai yang dimudahkan oleh Allah kepada saya. Maka, apa yang di dhaifkan oleh Albani padahal hadis itu shahih atau hasan, maka saya jelaskan. Juga hadis yang didhaifkan Albani di satu kitab tapi ia ralat, maka saya sebutkan penilaian dhaifnya dan ralatannya tersebut. Supaya tidak dibaca oleh orang yang tidak mengerti di bagian kitab yang dinilai dhaif oleh Albani sehingga ia menyangka bahwa hadis itu dhaif secara mutlak, padahal hakikatnya tidak seperti itu”.2
Dua testimoni pernyataan ini mengindikasikan bahwa Albani sering kali melakukan kesalahan dalam menilai status hadis. Dari sini, kami tertarik untuk menampilkan beberapa hadis yang dianggap dhaif (lemah) oleh Albani dalam satu kitab, tetapi ia anggap shahih dalam kitab lain.
Hadis pertama, adalah hadis Mahmud bin Lubaid, ia berkata Rasulullah ﷺ diberitahu tentang seorang laki-laki yang menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus. Maka Rasulullah ﷺ bangkit dengan marah, lalu bersabda: “Apakah kitab Allah SWT dipermainkan sementara aku masih berada di tengah-tengah kalian?!” Hingga ada seorang laki-laki yang berdiri dan berkata: “Wahai Rasulullah, bolehkah aku membunuhnya?” (H.R. An-Nasa’i).
Albani menilainya dhaif dalam Misykat al-Mashabih.3 Kemudian ia menilainya shahih dalam Kitab Ghayat al-Maram Takhrij Ahadits al-Halal wa al-Haram.4
Hadis kedua, adalah hadis riwayat Abu Dawud, Rasulullah bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian berada di bawah sinar matahari, lalu bayangan menjauh darinya sehingga sebagian tubuhnya berada di tempat teduh dan sebagian lagi di bawah sinar matahari, maka hendaklah ia berdiri (dan berpindah tempat).”
Albani menilainya shahih dalam Kitab Sahih al-Jami’ ash-Shaghir.5 Kemudian Albani menilainya dhaif dalam Takhrij Misykat al-Mashabih.6
Dari uraian singkat di atas, dapat kita simpulkan bahwa Albani sering kali melakukan kesalahan dalam menilai status kesahihan atau kedhaifan sebuah hadis, bahkan terdapat banyak kontradiksi antara penilaiannya dalam satu kitab dengan penilaiannya di kitab lain. Sebagai penutup, penulis mengundang pembaca untuk mempertimbangkan: Dengan data-data yang telah disajikan, bagaimana pandangan Anda mengenai relevansi Albani sebagai rujukan dalam kajian hadis?
Penulis merupakan Mahasantri semester 1 (Angkatan Amatsil)
Editor: Vigar Ramadhan Dano M. D.
- Halal dan Haram , DR. Yusuf Qardhawi, Robbani Press, Jakarta, 2000/417 ↩︎
- Tanbih al-Qari’‘ala Taqwiyati Ma Dha’afahu al-Bani, 5, Abdullah ad-Dawisy ↩︎
- Takhrij Misykat al-Mashabih (Juz II hal. 981. Cetakan III, Beirut, 1405 H, al-Maktab al-Islami). ↩︎
- Ghayat al-Maram Takhrij Ahadits al-Halal wa al-Haram (Hal. 164 No hadis: 261, Cetakan III, Maktab al-Islami, 1405 H) ↩︎
- Sahih al-Jami’ ash-Shaghir wa Ziyadatuhu (I/266) ↩︎
- Takhrij Misykat al-Mashabih (Juz III, hal. 1337 No hadis: 4725 Cetakan III) ↩︎