Setelah kita mengetahui bahwa Albani adalah seorang yang kerap belajar hadis secara otodidak dan menelaah beberapa testimoni pernyataan dari para ulama perihal kesalahan-kesalahannya dalam men-takhrij hadis dari dua tulisan sebelumnya, maka dalam tulisan ini kami ingin menyuguhkan salah satu pernyataan kontroversi Albani seputar ilmu hadis. Yakni penolakannya atas mengamalkan hadis yang dianggap “dhaif” menurut perspektifnya, kendatipun hadis itu dianggap shahih oleh ulama hadis lain.
Pernyataan itu dapat kita temukan dalam kitabnya yang bertajuk, Tamamul Minnah,
ويبدو لي أن الحافظ رحمه الله يميل إلى عدم جواز العمل بالضعيف بالمعنى المرجوح لقوله فيما تقدم: . . ولا فرق في العمل بالحديث في الأحكام أو في الفضائل إذ الكل شرع
“Yang nampak jelas bagiku bahwa Al-Hafidz Ibnu Hajar memilih pendapat tidak bolehnya mengamalkan hadits dha’if (lemah) dengan makna marjuh, berdasarkan ucapan beliau yang disebutkan sebelumnya, “…Dan tidak ada perbedaan dalam masalah (larangan) mengamalkan hadits dha’if, baik dalam masalah hukum, maupun dalam masalah keutamaan amal shalih (semua terlarang), karena semua itu adalah syari’at.”1
Dalam menyikapi pernyataan ini, penting kiranya kita merujuk kepada ulama yang kompeten dan otoritatif dalam bidang hadis, sehingga kita dapat mengetahui apakah pernyataan Albani ini dapat dipertanggung jawabkan atau tidak.
Al-Hafidz, Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa dalam meriwayatkan hadis para ulama membedakan antara hal yang berkaitan hukum dengan hal yang berkaitan dengan keutamaan amal (fadhail ‘amal). Hal ini terilustrasi dalam pernyataan Imam Ahmad bin Hanbal yang dikutip oleh Ibnu Hajar,
وَقَدْ ثَبَتَ عَنِ اْلإِمَامِ أَحْمَدَ وَغَيْرِهِ مِنَ اْلأَئِمَّةِ أَنَّهُمْ قَالُوْا إِذَا رَوَيْنَا فِي الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ شَدَّدْنَا وَإِذَا رَوَيْنَا فِي الْفَضَائِلِ وَنَحْوِهَا تَسَاهَلْنَا
Telah tetap diriwayatkan dari Imam Ahmad dan para imam lainnya bahwa mereka berkata, “Apabila kami meriwayatkan tentang halal dan haram, kami memperketat (dalam menerima riwayat), namun apabila kami meriwayatkan tentang keutamaan (amal) dan semisalnya, kami bersikap longgar (dalam menerima riwayat).”2
Senada dengan pernyataan di atas, Imam Baihaqi menyebutkan perkataan Ibnu Mubarak,
وَيُحْكَى عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَهْدِى اِنَّهُ قَالَ : اِذَا رَوَيْنَا فِى الثَّوَابِ وَالْعِقَابِ وَفَضَائِلِ اْلاَعْمَالِ تَسَاهَلْنَا فِى اْلاَسَانِيْدِ وَتَسَامَحْنَا فِى الرِّجَالِ وَاِذَا رَوَيْنَا فِى الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ وَاْلاَحْكَامِ تَشَدَّدْنَا فِى اْلاَسَانِيْدِ وَانْتَقَدْنَا فِى الرِّجَالِ
“Imam Ahmad dan Imam yang lain (seperti Ibnu Mubarak) berkata: Jika kami meriwayatkan hadis tentang halal-haram (hukum), maka kami sangat selektif (dalam hal sanad), dan jika kami meriwayatkan hadis yang berkaitan dengan keutamaan-keutamaan, maka kami tidak begitu selektif (tetapi tidak sampai pada taraf hadis palsu)”3
Adapun terkait mengamalkan hadis dalam hal keutamaan amal (fadhail ‘amal), ulama salaf dan khalaf telah memaparkan bahwa hal itu diperbolehkan, bahkan menurut sebagian ulama dianggap sunah selagi status hadis tersebut tidak sampai ke taraf sangat lemah (syadidu dha’f) atau palsu (maudhu’). Hal ini sebagaimana penjelasan Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar,
العلماء من المحدثين والفقهاء وغيرهم: يجوز ويستحب العمل في الفضائل والترغيب والترهيب بالحديث الضعيف مالم يكن موضوعا وأما الحلال والحرام والبيع والنكاح والطلاق وغير ذلك فلا يعمل فيها إلا بالحديث الصحيح أو الحسن، إلا أن يكون في احتياط في شيء من ذلك كما إذا ورد حديث ضعيف بكراهة بعض البيوع أو الأنكحة فإن المستحب أن يتنزه عنه
“Para ulama ahli hadits, fikih, dan lainnya berpendapat bahwa boleh dan disunahkan mengamalkan hadits dha’if dalam fadhailul a’mal, targhib, dan tarhib selama hadits tersebut bukan hadits maudhu’. Adapun untuk ketentuan halal-haram, jual-beli, nikah, talak, dan semisalnya, maka selain hadits shahih dan hasan tidak boleh digunakan. Kecuali dalam rangka ihthiyath (berhati-hati). Misalnya ada hadits dha’if yang menjelaskan hukum makruh beberapa bentuk transaksi jual-beli atau akad nikah, maka disunahkan untuk menjauhi transaksi dan akad tersebut.”4
Bahkan, Imam Al-Haththab dalam kitab Mahabibul Jalil fi Syarhi Mukhatashar Syaikh Khalil, menyatakan bahwa kebolehan mengamalkan hadis dhaif telah disepakati oleh para ulama, sebagaimana ia katakan,
فَقَدْ اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى جَوَازِ الْعَمَلِ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ وَاغْتِنَامًا لِلثَّوَابِ الْوَارِدِ
“Para ulama sepakat boleh mengamalkan hadis dhaif dalam keutamaan amal dan meraih pahala (motivasi)”.5 Hal ini senada dengan perkataan Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarhu Muhadzdzab.6
Hanya saja, ulama menjelaskan bahwa kebolehan mengamalkan hadis dhaif dengan beberapa syarat. Sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Qalyubi,
قَوْلُهُ : ( لِلْعَمَلِ بِالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ ) لَكِنْ بِشُرُوطٍ ثَلَاثَةٍ أَنْ لَا يَشْتَدَّ ضَعْفُهُ ، وَأَنْ يَدْخُلَ تَحْتَ أَصْلٍ عَامٍّ ، وَأَنْ لَا يَعْتَقِدَ الْفَاعِلُ سُنِّيَّةَ ذَلِكَ الْفِعْلِ بِذَلِكَ الْحَدِيثِ
Mengamalkan hadis dhaif boleh tetapi dengan tiga syarat; bukan hadis yang sangat lemah, masuk dalam keumuman dalil dasar, dan pelakunya tidak meyakini hukum sunah berdasarkan hadis tersebut.7
Dari beberapa uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa pendapat Albani ini jelas bertentangan dengan ulama hadis, baik salaf maupun khalaf. Menurut para ulama hadis, boleh bahkan sunah mengamalkan hadis dhaif dengan beberapa syarat: 1) Bukan hadis yang sangat dhaif. 2) Memiliki kesesuaian dengan dalil yang lain (tidak bertentangan dengan dalil lain). 3) Tidak terkait dengan masalah hukum. 4) Pelakunya tidak meyakini hukum sunah berdasarkan hadis tersebut.
Wallahu Alam.
Penulis merupakan Mahasantri semester 1 (Angkatan Amatsil)
Editor: Vigar Ramadhan Dano M. D.