Agama Islam dikenal sebagai agama yang kompatibel (bergerak dengan keserasian) dengan perubahan zaman dan kondisi (sholih likulli zaman wa makan). Adapun dasar hukum Islam adalah -pasti- kembali pada muara Al-Qur’an dan Hadis. Namun, untuk memahami kedua sumber primer tersebut diperlukan kecakapan dalam menyesuaikan konteks. Tidak heran, jika para Fuqaha memiliki pandangan dan pemikiran berbeda dalam menyikapi suatu problematika yang ada. Walaupun dengan dalil yang sama, tetapi memiliki konklusi yang berbeda. Inilah yang menyebabkan Islam selalu siap dan sigap dalam menghadapi zaman yang terus berkembang.
Perbedaan dalam metode, epistimologis dan cara pandang dalam menyikapi suatu problematika, menjadikannya memiliki hukum yang lebih dari satu. Akan tetapi, ini bukanlah hal buruk, justru ini menjadi rahmat bagi umat Islam. Perbedaan pendapat itu hal yang lumrah dan manusiawi. Namun, jangan sampai perbedaan pendapat menjadikan seseorang bermusuhan, saling membenci, saling hina, maupun saling menyalahkan. Dikatakan, “Perbedaan dikalangan umat Islam merupakan rahmat, sedangkan perpecahan merupakan adzab”.
Dari dulu hingga sekarang, problematika umat terus saja bertambah dan semakin bertambah kompleks, sehingga dibutuhkan jawaban dan reaktualisasi kembali ajaran Islam yang shalih likulli zaman wa makan. Hingga para ulama bekerja keras dalam memberikan fatwa yang sesuai dengan konteks kekinian, tanpa meninggalkan nilai luhur dari maqasid syariah. Para ulama telah mencetuskan paradigma berfikir dan metode untuk menghadapi kondisi zaman yang selalu berubah. Tidak ketinggalan, KH. Hasyim Asy’ari (selanjutnya disebut Kiai Hasyim) sebagai founding father jamiyyah Nahdlatul Ulama yang memiliki pemikiran progresif dan revolusioner juga merupakan salah satu ulama yang memegang peran tersebut.
Walaupun memang Kiai Hasyim tidak menulis tulisan khusus yang berkaitan dengan paradigma berfikir dan metode fatwa dalam menghadapi problematika kemasyarakatan, tetapi hal itu sudah terbaca secara implisit melalui berbagai kitab karya tulisannya. Tulisan Kiai Hasyim terdiri berbagai genre, dan kebanyakan berupa risalah singkat yang menjawab problematika sosial yang sedang berkembang di saat itu. Ada latar belakang dan nilai historis dari setiap tulisan Kiai Hasyim. Tulisan-tulisan tersebut tidak muncul di ruang hampa begitu saja, melainkan ada faktor dan gejala sosial yang mempengaruhinya.
Diantara masterpice Kiai Hasyim yang fenomenal adalah kitab Ziyadah at-Ta’liqot, kitab ini ditulis untuk merespon pernyataan dan tuduhan Kiai Abdullah Yasin Pasuruan terhadap NU. Pernyataan demi pernyataan yang dituduhkan direspons oleh Kiai Hasyim dengan ilmiah dan kajian yang mendalam. Boleh dikatakan, kitab ini termasuk kitab terkompleks dan terbesar yang ditulis oleh Kiai Hasyim. Kajian di dalamnya menggunakan perpaduan lintas madzhab dan berbagai sudut pandang, serta dipadu dengan kaca mata sosial dan historis.
Dalam kitab tersebut, terdapat pemikiran fikih Kiai Hasyim atau boleh dikatakan Manhaj Fikr Al-Hasyimi tentang sikap dan respon atas pluralnya pendapat ulama tentang suatu problematika. Kiai Hasyim menyatakan bahwa semua pendapat ulama itu benar, dan semua memiliki landasan yang argumentatif. Maka tidak selayaknya saling tuduh menuduh, itu salah, ini benar, itu bid’ah, ini surga, itu neraka. “Tinggal dan jauhi ta’ashub (fanatik buta) mazhab” itulah pesan Kiai Hasyim.
Oleh karena itu, Kiai Hasyim berpikiran bahwa boleh bagi seorang untuk taqlid (mengikuti) semua pendapat para ulama, walaupun toh itu pendapat yang marjuh (lemah). Kiai Hasyim berpendapat bahwa jika menjumpai sebuah permasalahan, dan para ulama berselisih pendapat tentangnya, maka tidak ada kewajiban bagi orang awam atau masyarakat biasa yang bukan pemuka agama untuk mengambil dan bertaqlid kepada pendapat yang rajih (kuat). Maka, untuk orang awan boleh saja untuknya mengambil pendapat yang marjuh (lemah). Dalam pendapat marjuh biasanya ditemukan kemudahan, kelonggaran dan keluwesan dalam beragama. Ini memberikan solusi konkret bagi masyarakat awam yang notabene kehidupannya banyak diwarnai dengan kebiasaan dan adat istiadat, sudah barang tentu akan kesulitan jika menggunakan pendapat yang rajih (kuat).
Kiai Hasyim menuliskan,
ومن المقرر ايضا انه اذا وجد في المسألة قولان او وجهان لا يلزم العمل بالاحوط والاشد اذ كل حق وشرع، هذا في حق العوام، واما الخواص من ائمة الدين وفقهاء الاخرة وعلماء الخشية فيلزمون انفسهم بالاشد والاحوط، فقد بلغ من ورعهم انهم يتركون ما لا بأس به مخافة مما به بأس
“Dan juga ditetapkan sebagai konsensus, bahwa jika terdapat dua pendapat atau dua pandangan dalam suatu masalah, maka tidak diwajibkan untuk mengikuti yang paling berhati-hati (Ahwath) atau paling ketat atau berat (Asyad), karena keduanya adalah kebenaran dan syariat. Ini berlaku bagi kalangan awam. Adapun golongan khusus dari pemimpin agama, ahli fikih akhirat, dan ulama yang takut kepada Allah, mereka mewajibkan diri mereka sendiri untuk mengikuti yang lebih ketat dan lebih hati-hati. Sesungguhnya ketakwaan mereka sampai pada tingkat di mana mereka meninggalkan hal-hal yang tidak bermasalah (Boleh/mubah) karena khawatir terhadap hal-hal yang mungkin membawa masalah (dosa).”
Hal ini bisa diterapkan dalam berbagai hal, seperti permasalahan melihat wajah dan telapak tangannya perempuan saat proses belajar mengajar. Dalam hal ini, ada dua pendapat. Pendapat pertama, menyatakan haram. Sedangkan pendapat kedua, menyatakan boleh dengan syarat-syarat tertentu. Kiai Hasyim Asy’ari sebagai representatif ulama khawas (hamba pilihan), beliau tidak mengambil pendapat kedua, beliau memilih berpandangan haram untuk dirinya sendiri. Namun, beliau tidak melarang masyarakat awam yang bukan golongan ulama untuk memilih pendapat pertama yang menyatakan boleh. Mudahnya, memilih yang berat untuk diri sendiri, dan yang ringan untuk orang lain. Itulah karakter ulama seperti Kiai Hasyim.
Lihatlah, pemikiran dan manhaj Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari ini merupakan bentuk toleran dan menghargai setiap pandangan orang lain, selama itu masih dalam koridor syariat. Selayaknya sebagai santri yang mendaku “ala darbi al-Hasyimi” mengikuti jejak langkah pemikiran Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari. Akhiran, Kiai Hasyim menyampaikan,
وما التضييق على عباد الله الا لقصور الباع وقلة الاطلاع
“Tidaklah sempit pandangan seseorang kecuali karena memang wawasannya terbatas dan kurangnya mentelaah dan membaca”.
Dengan manhaj berpikirnya yang toleran dan moderat, Kiai Hasyim memberikan teladan bagi umat Islam untuk bersikap bijaksana dalam perbedaan pendapat dan tidak memaksakan pandangan tertentu. Kiai Hasyim secara implisit mengajarkan agar umat menghargai perbedaan pendapat di antara para ulama, menghindari fanatisme buta terhadap satu mazhab, dan memahami bahwa setiap pandangan memiliki dasar yang kuat. Beliau menunjukkan bahwa fleksibilitas dalam beragama tidak mengurangi nilai-nilai ketakwaan, justru itu memperkaya wawasan dan keharmonisan antarumat. Sebagai santri yang mengikuti jejak beliau, kita diajak untuk meneruskan semangat inklusif (menyeluruh tanpa pandang bulu) dan penuh kasih dalam menghadapi tantangan dan keragaman pandangan dalam kehidupan umat beragama Islam.
Penulis merupakan alumni Ma’had Aly Hasyim Asy’ari
Editor: Vigar Ramadhan Dano M. D.