Ketika membicarakan Hari Pahlawan yang diperingati pada setiap tanggal 10 November, hal itu tidak dapat dilepaskan dari peristiwa Resolusi dan Fatwa Jihad Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945. Tidak hanya itu, tentu saja peristiwa revolusioner tersebut sangat diwarnai oleh peran para ulama dan cendekiawan Muslim. Karena banyak pengaruh pemikiran ulama dan cendekiawan Muslim dalam peristiwa itu, maka pokok pikiran mereka sudah barang tentu dekat dengan hadis-hadis Nabi.
Apa bukti bahwa sikap revolusioner para ulama dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia banyak bersumber dari hadis Nabi? Coba baca potret sejarah yang dilukiskan oleh KH. Saifuddin Zuhri dalam bukunya Berangkat dari Pesantren. Di sana terdapat beberapa hadis yang mewarnai perjuangan para tentara Hizbullah dan Sabilillah.
Hadis Pertama:
احْتَرِسُوا مِنَ النَّاسِ بِسُوءِ الظَّنِّ
“Jagalah keselamatan atas perbuatan orang lain dengan sikap buruk sangka” (Jami’ al-Saghir)
Riwayat ini dikeluarkan oleh Imam al-Bukhâri dalam adh-Dhu’afâ’, Imam ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath (no. 598 dan 9458), dan Imam Ibnu ‘Adi dalam al-Kâmil fii Dhu’afâ-ir Rijâl (6/401), dengan sanad mereka berdua dari jalur Baqiyah bin al-Walid, dari Mu’awiyah bin Yahya, dari Sulaiman bin Muslim, dari Anas bin Malik, dari Rasulullah SAW.
Terlepas dari kualitas riwayatnya, KH. Saifuddin Zuhri menggunakan hadis tersebut sebagai wujud sikap kewaspadaan terhadap kedatangan Sekutu. Diceritakan bahwa Letnan Jenderal Sir Philip Christison, wakil Laksamana Lord Luis Mountbatten, mendarat di Tanjung Priok sebagai komandan Sekutu. Ia mengeluarkan pernyataan yang mengakui Indonesia secara de facto. Pengakuan Christison tersebut muncul karena ia menyadari bahwa usaha-usaha Sekutu tidak akan berhasil tanpa bantuan pemerintah Republik Indonesia. Komandan Sekutu itu berjanji tidak akan mencampuri persoalan yang menyangkut status negara Indonesia.
Itulah sebabnya, kedatangan tentara Sekutu dianggap tidak mencurigakan. Padahal, dalam masa perjuangan kemungkinan-kemungkinan ancaman selalu ada. Oleh karena itu, sikap su’udzan diperlukan demi menjaga keselamatan umat Islam dan bangsa Indonesia secara umum.
Hadis Kedua:
يَنْزِلُ رَبُّنا تَبارَكَ وتَعالَى كُلَّ لَيْلةٍ إلى السَّماءِ الدُّنْيا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ، يقولُ: مَن يَدْعُونِي، فأسْتَجِيبَ له مَن يَسْأَلُنِي فأُعْطِيَهُ مَن يَستَغْفِرُني فأغْفِرَ له
“Rabb Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia pada setiap malam, yakni saat sepertiga malam terakhir seraya berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku niscaya akan Aku berikan, dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya akan Aku ampuni.”
Hadis tersebut muncul saat KH. Saifuddin Zuhri memotret peristiwa gerakan batin yang dilakukan oleh 200 ulama Magelang dan sekitarnya. Empat ulama besar saat itu, yaitu KH. Dalhar Watucongol, KH. Siraj Payaman, KH. R. Alwi Tonoboyo, dan KH. Mandhur Temanggung, melakukan riyadhah batiniyah dengan membaca Dalailul Khairat, Hizb al-Nasr, Hizb al-Bahr, dan Hizb al-Barr.
Hadis Ketiga:
اثِنَتانِ لاَ تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْد النِّدَاءِ وعِند البأْسِ حِينَ يُلْحِمُ بَعْضُهُم بَعضً
“Dua macam doa tak akan ditolak oleh Allah, yaitu doa di antara azan dan qomat, dan doa dalam peperangan saat pertempuran berlangsung.” (Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud).
Hadis tersebut dilontarkan oleh KH. Saifuddin Zuhri saat berdialog dengan Mas Wahab dan Tohari di atas mobil Bodge. Dialog tersebut berlangsung ketika mereka bertiga hendak sowan kepada Mbah Subeki. Saat itu, KH. Saifuddin Zuhri heran melihat banyak orang memanggul senjata dan bambu runcing dari dan ke arah Parakan. Hingga kemudian Mas Wahab bertanya kepada KH. Saifuddin Zuhri, “Apa di zaman Rasulullah SAW juga berlaku doa dalam peperangan?” Pertanyaan itu dijawab oleh KH. Saifuddin Zuhri dengan hadis di atas.
Hadis Keempat:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَيَّامِهِ الَّتِي لَقِيَ فِيهَا الْعَدُوَّ قَالَ: «يَا أَيُّهَا النَّاسُ، لَا تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ، وَسَلُوا اللَّهَ تَعَالَى الْعَافِيَةَ، فَإِذَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاصْبِرُوا، وَاعْلَمُوا أَنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ ظِلَالِ السُّيُوفِ». ثُمَّ قَالَ: «اللَّهُمَّ مُنْزِلَ الْكِتَابِ وَمُجْرِي السَّحَابِ وَهَازِمَ الْأَحْزَابِ اهْزِمْهُمْ وَانْصُرْنَا عَلَيْهِمْ
“Rasulullah pada hari-hari berhadapan dengan musuh menanti hingga terbenamnya matahari, kemudian berdiri berkhutbah di hadapan manusia seraya berkata: ‘Wahai sekalian manusia, janganlah kalian mengharapkan bertemu dengan musuh, tapi mintalah kepada Allah keselamatan. Dan bila kalian telah berjumpa dengan musuh, bersabarlah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya surga itu terletak di bawah naungan pedang-pedang’. Kemudian Beliau berdoa: ‘Ya Allah, Yang Menurunkan Kitab, Yang Menjalankan awan, hancurkanlah pasukan sekutu, binasakanlah mereka, dan tolonglah kami menghadapi mereka’.” Hadis ini merupakan kelanjutan dari dialog sebelumnya.
Paparan di atas menunjukkan bahwa perjuangan para ulama dan pahlawan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia selaras dengan nilai-nilai Islam yang terkandung dalam hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.
Melalui kutipan berbagai hadis, tulisan ini menyoroti bagaimana tokoh-tokoh seperti KH. Saifuddin Zuhri menggambarkan semangat perjuangan dan strategi keagamaan yang diambil oleh para pejuang Muslim, terutama dalam peristiwa Hari Pahlawan yang tidak lepas dari Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy’ari. Dari sikap waspada hingga doa dalam peperangan, hadis-hadis ini memperlihatkan bahwa perjuangan fisik dan spiritual berperan besar dalam mendorong semangat dan ketabahan. Tulisan ini menjadi pengingat pentingnya memaknai Hari Pahlawan sebagai waktu untuk menghargai kontribusi para ulama yang dengan teguh mempertahankan negeri dan menjaga nilai-nilai agama di tengah perjuangan.
Penulis merupakan Mahasantri Marhalah Tsaniyah (Semester 3)
Editor: Vigar Ramadhan Dano M. D.