Buku berjudul “Dari Aborsi Sampai Childfree: Bagaimana Mubadalah Bicara?” baru-baru ini menempati peringkat Big Topic pada obrolan-obrolan seputar gender dan isu-isu kontemporer, di kalangan mahasiswa maupun pegiat kajian keislaman. Oleh karena dialektika pemaparan di dalam buku ini cukup militan, dari hal-hal yang semula tabu juga dibicarakan sampai pada suatu pemaknaan yang patut diluruskan, dan semua itu disuguhkan secara revolusioner berdasar kajian-kajian hadis melalui paradigma mubadalah, yang bermakna hubungan kesalingan atau relasi timbal-balik.
Perlu diingatkan di awal, bahwa pembicaraan dari aborsi sampai childfree bukanlah produk feminisme. Akan tetapi, sebagai reaktualisasi terhadap wacana bacaan sebilang gender di dalam Islam dengan realitas kontemporer yang semakin bergelombang. Pemaknaan kembali melalui kajian-kajian hadis menjadi tidak terelakkan ketika membahas keadilan gender serta isu-isu kontemporer lainnya dari pandangan agama Islam. Karena hadis tidak serupa karakteristik bahasa Al-Qur’an yang Jalalul Rububiyah. Maka, sifat manusiawi daripada hadis tidak peduli seberapa terang cahaya nubuwwah itu, dan apapun yang diwahyukan dalam bahasa dan ucapannya tetap tercetak dengan sifat kemanusiaan dan tunduk pada dampak perasaan manusia.
Atas pembahasan “Dari Aborsi Sampai Childfree”, memang tidak melulu mengenai reproduksi atau perlindungan otoritas seksual. Integrasi kemaslahatan manusia menjadi konsepsi kunci di dalam relasi laki-laki dan perempuan, terkhusus perempuan dalam pengalaman hidup yang khas dialami, baik pada peran biologis maupun sosial. Mubadalah yang diusung sebagai paradigma tampaknya mengharuskan Kang Faqih (sapaan penulis “Dari Aborsi Sampai Childfree”, Faqihuddin Abdul Kodir) mengambil dan mengkaji hadis yang memiliki detail “keadaan yang sebanding” dengan isu-isu yang diangkat di dalam bukunya itu. Padahal, kesimpulan spesifik yang dilahirkan atas nama “mengkaji Hadis” —sekalipun ia sebut melalui Mubadalah— haruslah dari mengumpul-satukan seluruh hadis yang berhubungan atau diduga memiliki kesinambungan, lalu memunculkan konfirmasi lintas disiplin Hadis, hingga beberapa tahap lagi. Dan pada hadis-hadis yang dinyatakan dalam satu kasus yang sama (tematik) barulah terbuka untuk dikaji dengan pelbagai pendekatan. Tidak terkecuali, pendekatan Mubadalah.
Berkaca pada Redaksi Hadis
“Inni mukatsirun bi-kum al-umam”. Artinya: “sungguh aku membanggakan (dengan banyaknya) kalian di hadapan umat-umat (terdahulu)”.
Redaksi Hadis di atas adalah frasa dari sebuah hadis yang utuh. Akan tetapi, mafhum dari lafal hadis ini akan rumpang bahkan disalahpahami jika tidak diulas kembali dengan lafal sebelum atau sesudahnya.
Terdapat beberapa hadis yang memuat lafal ini, di antaranya menerangkan tentang pernikahan dan perintah menikah, manasik dan seputar ibadah haji, serta larangan kembali kafir dan perilaku kufur.
Pertama, lafal hadis ini dibilang di dalam hadis tentang pernikahan dan perintah menikah. Akan tetapi, pemaknaan yang disepakati oleh para ulama ialah anjuran (al-irsyd) bukan kewajiban.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي، فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي، وَتَزَوَّجُوا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ، وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ ؛ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ .” (أخرجه ابن ماجه 1846)
Artinya: “Nikah itu sunnahku. Barang siapa yang tidak mengamalkan sunahku, bukan bagian dariku. Menikahlah kalian!, karena aku bangga (dengan banyaknya) kalian di hadapan umat-umat (terdahulu). Dan barang siapa yang masih panjang (kemampuannya), maka menikahlah!. Barang siapa yang belum menemukan (pasangan), maka atasnya (baik) berpuasa, karena sungguh puasa baginya sebagai peredam (dari syahwat).”
Mafhum “Inni mukatsirun bi-kum al-umam” dari hadis di atas adalah sebagai sebab diperintahkannya menikah (di samping menikah adalah sunnah), karena Nabi shalallahu alaihi wasallam akan bangga karena banyaknya umat di akhirat kelak. Jika dilihat dari ilmu nahwu, lafal tersebut didahului fa’ sababiyah yang bermakna alasan atau suatu latar belakang.
Hal ini diperkuat dengan riwayat hadis dari salah seorang sahabat yang bernama Ma’qil bin Yasar yang bercerita bahwa Nabi shalallahu alaihi wasallam berulang kali didatangi oleh seorang pemuda yang meminta restu untuk menikahi wanita berumur yang cantik namun sudah tidak bisa memiliki keturunan. Tetapi Nabi Muhammad selalu mencegahnya, hingga pada kali ketiga Nabi bersabda: “tazawwajuu al-wadud al-walud fa-inni mukatsirun bi-kum al-umam”, artinya: “menikahlah kalian! Dengan gadis yang (penuh) rasa sayang dan (subur) pengasuhan anak, karena aku membanggakan (dengan banyaknya) kalian di hadapan umat-umat (terdahulu)”.
Dari riwayat Ma’qil bin Yasar demikian menunjukkan bahwa pernyataan perintah menikah di atas dilatarbelakangi dan akan menjadi sebab terhadap rasa bangga Nabi shalallahu alaihi wasallam terhadap banyaknya kuantitas umatnya.
Kedua, lafal hadis ini disebut di dalam hadis tentang manasik dan seputar ibadah haji, serta larangan kembali kafir dan perilaku kufur. Di sinilah muncul mafhum larangan keras saling bunuh-membunuh.
Dari riwayat Ibnu Mas’ud yang menceritakan bahwa suatu ketika Nabi shalallahu alaihi wasallam di Padang Arafah saat Hari Arafah memberikan pertanyaan kontemplatif mengenai mulianya negeri, bulan, dan hari itu. Nabi kemudian bersabda (berkhutbah):
هَذَا بَلَدٌ حَرَامٌ، وَشَهْرٌ حَرَامٌ، وَيَوْمٌ حَرَامٌ قَالَ: ” أَلَا وَإِنَّ أَمْوَالَكُمْ، وَدِمَاءَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا، فِي يَوْمِكُمْ هَذَا، أَلَا وَإِنِّي فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ، وَأُكَاثِرُ بِكُمُ الْأُمَمَ، فَلَا تُسَوِّدُوا وَجْهِي، أَلَا وَإِنِّي مُسْتَنْقِذٌ أُنَاسًا، وَمُسْتَنْقَذٌ مِنِّي أُنَاسٌ، فَأَقُولُ: يَا رَبِّ أُصَيْحَابِي؟ فَيَقُولُ: إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ ” (أخرجه ابن ماجه: 3057)
Sesungguhnya harta dan darah kalian diharamkan atas kalian, seperti keharaman bulan kalian ini, di negeri kalian ini, dan pada hari kalian ini. Ingatlah! Sesungguhnya aku orang yang mendahului kalian di telaga surga. Dan aku akan bangga (dengan banyaknya) kalian di hadapan umat-umat (terdahulu), maka janganlah kalian mencoreng wajahku. Ingatlah! Sesungguhnya aku adalah orang yang menyelamatkan manusia, dan mereka akan meminta bantuan keselamatan dariku. Aku berkata kepada tuhanku: ‘Wahai Tuhan, bagaimana dengan para sahabatku?’ Allah menjawab: ‘Sesungguhnya kamu tidak tahu apa yang mereka perbuat (ada-adakan) setelah kamu tiada’.”
Kalimat wadhifiyah pada redaksi hadis di atas (red: Ingatlah!) berfaedah sebagai sebuah peringatan, atau pernyataan penting. Dengan didahului oleh dua wadhifiyah dan setelahnya terdapat satu wadhifiyah lagi, menunjukkan tingginya tingkat peringatan dari mafhum “Inni mukatsirun bi-kum al-umam” dengan disandarkan pada kesimpulan matan hadis di atas. Sehingga, bukan hanya tingginya tingkat keharaman harta dan darah bagi sesama, namun juga pernyataan penting tentang keberolehan memasuki surga dan keberolehan syafaat bagi umat Nabi shalallahu alaihi wasallam kelak yang dibanggakan karena banyaknya itu.
Sebuah redaksi penjelas dari pada matan hadis di atas diriwayatkan oleh Qais dari Sunabih bin al-A’sar berujar, Nabi Muhammad bersabda:
أَلَا إِنِّي فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ، وَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ، فَلَا تَقْتَتِلُنَّ بَعْدِي ( أخرجه ابن ماجه 3944)
Artinya: “Ingatlah! Sesungguhnya aku orang yang mendahului kalian di telaga surga. Dan aku bangga (dengan banyaknya) kalian di hadapan umat-umat (terdahulu), maka jangan sekali-kali kalian saling bunuh-membunuh sepeninggalku.”
Berangkat dari sudut pandang wadhifiyah yang mendahului lafal “Inni mukatsirun bi-kum al-umam”, maka larangan yang disampaikan oleh Nabi shalallahu alaihi wasallam bersifat larangan keras, larangan keras untuk saling bunuh-membunuh. Demikian karena Nabi shalallahu alaihi wasallam akan bangga terhadap banyaknya kuantitas umat menjadi sebuah akibat dari atau mengakibatkan larangan keras (yang memuat hukum haram) sekaligus perhatian menjauhi perilaku (menunjukkan ancaman) untuk saling bunuh-membunuh di antara umatnya.
Mubadalah Membaca
Dari kesimpulan redaksi hadis yang pertama, menunjukkan bahwa sebab banyaknya kuantitas umat Rasulullah, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam akan membanggakan di akhirat. Diikuti dengan anjuran untuk menikah secara sehat dan memiliki keturunan. Namun, bukan berarti bagi seseorang yang tidak menikah (atau memilih tidak menikah) dan tidak memiliki keturunan (atau memilih tidak berketurunan) akan dicela atau diabaikan oleh Rasulullah di akhirat kelak.
Otoritas berketurunan merupakan sebuah pilihan bagi pasangan suami-isteri. Maka dalam hal ini childfree diperbolehkan. Karena tidak ada satu pun di dalam hadis suatu larangan tegas (haram atau ancaman) untuk tidak memiliki anak, baik biologis ataupun adopsi. Akan tetapi, pilihan untuk childfree atau bebas anak tidak bisa diambil dengan tergesa-gesa. Di sejumlah budaya bahkan memahami pernikahan sebagai berketurunan secara formal, sehingga bagi pasangan yang tak kunjung berketurunan seakan terkena sanksi budaya secara fungsional. Pilihan untuk childfree tidak pantas disandarkan pada hal-hal yang mengarah pada lifestyle atau gaya hidup, di antaranya karena gaya hidup karir, anti-aging atau anti penuaan, suplai emisi karbon, tren feminis, dan lain-lain.
Sebagai sebuah pilihan yang muncul karena adanya pernikahan, maka sudah semestinya latar belakang childfree ialah “kebahagiaan pernikahan”, yang disepakati antara suami dan istri, bahkan keluarga kedua belah pihak. Beserta konsekuensi childfree yang diterima secara terbuka dan komitmen, sebagaimana konsekuensi bagi pasangan yang memilih berketurunan.
Kemudian dari kesimpulan redaksi hadis yang kedua, karena Rasulullah shalallahu alaihi wasallam akan membanggakan banyaknya jumlah umat di akhirat kelak, maka Rasulullah mengeluarkan larangan keras (haram dan mendapatkan ancaman besar) untuk bunuh-membunuh. Baik penghilangan nyawa secara langsung (pembunuhan, genosida, dsb) atau penghilangan nyawa secara tidak langsung (penyiksaan, diracun, malpraktek, dsb).
Maka sudah paripurna integrasi kemaslahatan manusia dimulai dari hak-hak sesama untuk menjaga maqashid al-khamsah, yakni: al-Nafs (jiwa), al-Nasl (keturunan), al-Diin (agama), al-Mal (harta), dan al-‘Aql (akal). Akan tetapi, mubadalah membaca aborsi bukan sebagai kejahatan atau upaya pembunuhan janin. Hal ini tentu benar, jika didasarkan pada hukum fiqih serta layanan medis yang memadai.
Karena aborsi memiliki dua wajah: celaka atau terjaga. Usia janin atau bakal janin yang diperbolehkan untuk aborsi mendapati perbedaan pendapat para ulama. Mazhab Hanafi dan Hanbali sepakat membolehkan aborsi sebelum usia janin 120 hari atau 4 bulan, karena belum ditiupkannya ruh. Dengan catatan, aborsi dilaksanakan karena alasan yang jelas, prosedur yang memadai, dan layanan yang profesional. Adapun yang mengharamkannya ialah Mazhab Maliki, bahkan untuk mengeluarkan sperma yang telah bertemu dengan ovum (sel telur), karena dibilang awal mula penciptaan manusia yang harus dijaga. Sedangkan Mazhab Syafi’i, Mazhab mayoritas muslim Indonesia, memiliki pendapat hukum yang berbeda-beda, sebagian ulamanya membolehkan aborsi sebelum usia janin 40 hari, dan setelahnya dilarang; sebagian yang lain melarang sedari awal sebagaimana hukum Mazhab Maliki; dan sebagian lagi sebagaimana hukum aborsi menurut Mazhab Hanafi dan Hanbali.
Dan ulama sepakat bahwa aborsi setelah ditiupkannya ruh (usia kehamilan 4 bulan) hukumnya haram. Akan tetapi, ada beberapa keadaan diperbolehkannya aborsi, baik sebelum atau setelah usia kandungan 4 bulan. Antara lain: untuk menyelamatkan nyawa sang ibu, potensi kelainan atau penyakit, ada suatu cacat yang tidak memungkinkan diatasi, atau janin hasil perkosaan.
Aborsi sendiri seringkali dianggap hal yang tabu atau tercela, karena stigma sosial maupun stigma agama, padahal aborsi sebagai kegiatan medis memiliki beragam kesulitannya sendiri. Sebagaimana keputusan aborsi yang tidak boleh tergesa-gesa. Namun, aborsi dalam pandangan fiqih Islam ataupun medis sama-sama menaruh perhatian khusus pada si pemilik rahim, yakni mempertimbangkan kesiapan dan kesehatan secara biologis maupun psikologis, prosedur serta peralatan yang memadai, pelayanan maupun perlindungan yang profesional.
Demikian mubadalah memandang aborsi bukan hanya produk medis maupun fiqih Islam, akan tetapi juga keterlibatan “perempuan” dengan hak penuh atas tubuhnya yang harus terjaga dan terhindar dari celaka. Oleh karena itu, maqashid al-khamsah yang disinggung di atas seyogyanya menjadi parameter perempuan dalam mengambil keputusan seputar kekhasan situasi yang hanya dialami perempuan.
Wallahua’lam
Rujukan:
Faqihuddin Abdul Kodir, Dari Aborsi Sampai Childfree: Bagaimana Mubadalah Bicara?
Faqihuddin Abdul Kodir, Perempuan (Bukan) Makhluk Domestik
Yusni Amru Ghozali, Fiqh al-Hadis
Agus Hermanto, Maqashid al-Syari’ah: Metode Ijtihad dan Pembaruan Hukum Keluarga Islam
Ahmad bin Ali bin Muhammad, Fath al-Bari: Bi Syarhi al-Jami’ Shohih al-Bukhari
Penulis merupakan mahasantri semester 7 (Angkatan Rihlah)