Hadhratussyikh Hasyim Asy’ari mendirikan organisasi NU dengan berlandaskan kepada 40 hadis yang beliau kumpulkan dan diberi nama Qonun Asasiy. 40 hadis tersebut mengandung mulai dari hakikat agama, bagaimana hidup bersosial sesama manusia, sampai kiat-kiat dalam berorganisasi yang ditunjukkan oleh makna hadis secara tersirat.
Bagian tersulit dalam memahami hadis-hadis yang dikumpulkan oleh Hadhratussyikh Hasyim Asy’ari dalam Qonun Asasiy adalah meraba keterkaitan hadis tersebut dengan dasar didirikannya organisasi NU. Namun, tulisan kali ini tidak akan mencoba meraba pemikiran-pemikiran beliau, melainkan penulis kali ini akan mencoba mengulas sedikit tentang hadis musalsal.
Salah satu hadis yang dicantumkan dalam Qonun Asasiy adalah hadis yang berbunyi:
الراحمون يرحمهم الرحمن تبارك و تعالى، ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء. رواه أبو داود
“Orang-orang yang bersifat kasih sayang akan dirahmati oleh Tuhan yang bersifat Rahman. Sayangilah penghuni bumi, niscaya kalian akan disayangi oleh penghuni langit.” Diriwiyatkan oleh Abu Dawud.
Hadis ini dikenal dengan hadis rahmah karena kandungannya yang berisi tentang cinta kasih terhadap sesama makhluk, baik manusia, hewan, maupun semua yang ada di bumi. Selain itu, hadis ini juga terkenal dengan hadis Musalsal Bil Awwaliyyah.
Sebelum membahas lebih dalam terkait hadis rahmah di atas, alangkah baiknya kita mengetahui apa itu hadis musalsal. Hadis musalsal adalah hadis yang diriwayatkan oleh para periwayat dengan satu cara tertentu (yang berupa perkataan, perbuatan, atau keduanya) atau satu keadaan tertentu dari mereka. Selain itu, hadis yang diriwayatkan dengan satu cara periwayatan, seperti diriwayatkan pada tempat atau waktu tertentu, juga disebut hadis musalsal.
Contoh hadis yang diriwayatkan dengan ucapan tertentu adalah hadis Musalsal Bil Mahabbah, yang mana setiap periwayat mengucapkan kalimat:
….والله إني أحبك فقل
Contoh hadis yang diriwayatkan dengan pekerjaan tertentu adalah hadis Musalsal Bil Mushafahah dan Musyabakah, yang mana setiap periwayat bersalaman atau memperancangkan tangan ketika meriwayatkan hadis.
Contoh hadis yang diriwayatkan dengan perkataan dan perbuatan tertentu adalah hadis Musalsal Bi Qabdh Al-Lihyah, yang mana setiap periwayat meriwayatkan hadis dengan memegang jenggot seraya mengucapkan:
أمنت بالقدر خيره و شره
Contoh hadis yang diriwayatkan dalam cara periwayatan tertentu adalah hadis Musalsal Bi Yaumi ‘Asyura, yang mana periwayatan harus dilaksanakan pada hari ‘Asyura.
Kembali ke topik utama, hadis rahmah yang sudah disebutkan sebelumnya diriwayatkan juga secara musalsal dan dinamai dengan nama hadis Musalsal Bil Awwaliyyah. Sebagian ulama mengatakan bahwa hadis ini adalah hadis pertama yang diriwayatkan secara musalsal. Hadis ini dinamakan dengan nama tersebut karena setiap periwayat ketika meriwayatkan hadis mengucapkan kalimat:
وهو أول حديث سمعته
“Hadis ini adalah hadis pertama yang aku dengar (dari guru yang meriwayatkan hadis).”
Cara periwayatan seperti ini berlanjut dari para penuntut ilmu di masa sekarang ketika mengambil riwayat hadis musalsal dari gurunya dan terus berlanjut sampai kepada Rasulullah.
Namun, yang menjadi masalah pada kenyataan di lapangan sering kali hadis ini bukanlah hadis yang pertama dia dengar dari guru yang meriwayatkan hadis secara musalsal tersebut. Walaupun masih memungkinkan pernyataan “Ini adalah hadis pertama yang aku dengar” diberi interpretasi bahwa hadis ini bukan hadis yang pertama didengar secara mutlak, melainkan hadis pertama yang didengar secara musalsal, lagi-lagi fakta di lapangan sering kali tidak menunjukkan seperti itu. Hadis ini pun bukanlah hadis musalsal yang pertama didengar dari gurunya.
Dengan demikian, masihkah hadis ini dikategorikan musalsal jika terdapat periwayat-periwayat sebagaimana dipaparkan sebelumnya dalam sanad-sanad hadis? Bolehkah para periwayat mengucapkan kalimat “Ini adalah hadis pertama yang aku dengar” untuk menjaga status musalsal hadis meskipun kenyataan tidak sesuai dengan yang diucapkan? Masih validkah penamaan hadis ini sebagai hadis musalsal padahal keberlangsungan kesamaan kondisi para periwayat hanya sebatas ucapan saja, tidak pada kenyataannya?
Bukankah dengan mengucapkan “Ini adalah hadis pertama yang aku dengar” di saat faktanya tidak seperti itu termasuk dalam kategori kebohongan yang dapat memengaruhi kredibilitas periwayat hadis?
Sependek yang penulis baca dari kitab-kitab turats, masih belum ditemukan redaksi-redaksi yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dipaparkan di atas secara eksplisit maupun implisit. Di sisi lain, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah jelas secara akal. Hadis yang menjunjung tinggi kejujuran periwayatnya, seharusnya tidak dikotori dengan praktik-praktik seperti disebutkan di atas hanya untuk menjaga status musalsal nya.
Penulis merupakan mahasantri semester 1 (Angkatan Amatsil)
Editor: Vigar Ramadhan Dano M. D.