Hadis merupakan salah satu sumber utama dalam ajaran Islam yang menjadi rujukan setelah Al-Qur’an. Keberadaan hadis tidak hanya memiliki dimensi spiritual, tetapi juga historis dan akademis, karena proses penghimpunannya melalui perjalanan panjang yang penuh kehati-hatian dan dedikasi. Salah satu topik penting dalam studi hadis adalah sejarah penulisan dan metodologi pembukuan hadis.
Menurut Prof. Ali Mustafa Yaqub dalam bukunya Kritik Hadis, terdapat kesalahpahaman yang sering muncul tentang anggapan bahwa orang pertama yang menulis hadis adalah Ibnu Syihab al-Zuhri. Namun, penelitian mutakhir telah meluruskan anggapan ini dengan mengungkap bahwa banyak sahabat Nabi Muhammad saw. telah menulis hadis sejak masa beliau hidup. Artikel ini akan membahas sedikit perkembangan metodologi pembukuan hadis dari masa Nabi saw. hingga periode ulama klasik, mengupas berbagai metode seperti juz’, atraf, muwatta’, mushannaf, musnad, jami’, mustakhraj, mustadrak, sunan, mu’jam, majma’, dan zawaid, yang menunjukkan betapa sistematis dan beragamnya cara ulama dalam menjaga warisan hadis.
Kesalahpahaman sementara orang bahwa orang yang pertama kali menulis hadis adalah Ibnu Syihab al-Zuhri (w. 123 H) telah diluruskan oleh pakar-pakar ilmu hadis kontemporer seperti Prof. Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dan Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami. Hal itu karena menurut penelitian mutakhir terbukti bahwa tidak kurang dari 52 Sahabat Nabi saw. memiliki tulisan-tulisan hadis yang mereka lakukan pada masa Nabi saw. Prof. Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib bahkan menyatakan bahwa orang yang pertama kali menulis hadis di hadapan Nabi saw. dan atas restu beliau adalah ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash (w. 65 H), di mana tulisannya kemudian dibukukan dengan judul al-Shahifah al-Shahihah. Karenanya, al-Zuhri bukanlah orang yang pertama kali menulis hadis, melainkan, tepatnya beliau adalah orang yang pertama kali mengumpulkan tulisan-tulisan hadis.
Metode Juz’ dan Atraf
Sejak masa Nabi saw. sampai kira-kira pertengahan abad ke-2 H, pembukuan hadis masih sangat sederhana. Kesederhanaan ini tampak dalam bentuk dan metodenya. Umumnya kitab-kitab hadis yang ditulis pada masa itu tidak diberi nama tertentu oleh penulisnya, sehingga kitab-kitab itu kemudian populer dengan penulisnya. Misalnya, Shahifah Amr al-Mu’minin Ali bin Abi Thalib, Shahifah Jabir bin Abdullah al-Anshari, dan lain-lain. Memang ada juga shahifah (kitab) yang diberi nama khusus oleh penulisnya seperti al-Shahifah al-Sadiqah dan al-Shahifah al-Shahihah milik Hammam bin Munabbih (w. 131 H). Namun, penamaan kitab seperti itu tidak mendominasi penulisan hadis pada masa itu.
Kesederhanaan yang lain juga tampak dalam metode pembukuannya, di mana matan-matan hadis disusun berdasarkan guru yang meriwayatkan hadis kepada penulis kitab. Metode ini disebut metode juz’ yang secara kebahasaan berarti bagian. Seperti kitab hadis tulisan Suhail bin Abu Shalih (w. 188 H), di mana ia hanya menyebutkan satu jalur sanad yang meriwayatkan hadis-hadis yang ditulisnya, yaitu Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Nabi saw.
Di samping metode juz’, pada masa klasik ini juga sudah dikenal metode atraf. Atraf berarti pangkal-pangkal. Metode atraf dalam ilmu hadis adalah pembukaan hadis dengan menyebutkan pangkalnya saja sebagai petunjuk matan hadis selengkapnya. Di antara ulama klasik yang menulis hadis dengan metode ini ialah Auf bin Abu Jamilah al-‘Abdi (w. 146 H). Namun, menurut Prof. Ali Mustafa tampaknya metode atraf ini lebih banyak berkembang pada abad ke-4 dan ke-5 H.
Klasifikasi Hadis
Sampai kira-kira pertengahan abad ke-2 H, pembukuan hadis belum mengenal klasifikasi berdasarkan topiknya atau yang populer disebut metode tabwib (klasifikasi hadis berdasarkan topik atau babnya). Baru sejak saat itu para penulis hadis dalam membukukan hadis menggunakan metode tabwib. Namun tidak ada kejelasan siapakah ulama yang pertama kali menggunakan metode itu. Ada yang menyebutkan nama Ibnu Juraij (w. 150 H), dan ada pula yang menyebutkan nama lain.
Metode klasifikasi ini pada tahap berikutnya berkembang menjadi berbagai metode, dan kemudian metode-metode itu menjadi populer sebagai nama kitab-kitab hadis. Karena, seperti disinggung di muka, pada umumnya para penulis hadis tidak memberikan nama tertentu untuk kitab-kitab tulisannya. Metode-metode itu adalah sebagai berikut:
Metode Muwatta’
Secara kebahasaan kata muwatta’ berarti sesuatu yang dimudahkan. Sedang menurut terminologi ilmu hadis, muwatta’ adalah metode pembukuan hadis yang berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab fiqhiyah) dan mencantumkan hadis-hadis marfu’ (berasal dari Nabi saw.), mauquf (berasal dari Sahabat), dan maqtu’ (berasal dari Tabi’in). Dari kata muwatta’ timbul kesan bahwa motivasi pembukuan hadis dengan metode ini adalah untuk memudahkan orang dalam menemukan hadis. Barangkali pada masa itu orang-orang sudah mulai kesulitan untuk merujuk kepada suatu hadis.
Banyak sekali ulama yang menyusun kitab hadis dengan menggunakan metode muwatta’ ini. Antara lain Imam Ibnu Abi Dzi’b (w. 158 H), Imam Malik bin Anas (w. 179 H), Imam Abu Muhammad al-Marwazi (w. 293 H), dan lain-lain. Namun tampaknya kitab Imam Malik adalah yang paling populer di antara kitab-kitab muwatta’ yang lain, sehingga apabila disebutkan nama muwatta’, maka konotasinya selalu tertuju kepada kitab beliau.
Metode Mushannaf
Meskipun secara kebahasaan kata mushannaf berarti sesuatu yang disusun, namun secara terminologi kata mushannaf ini sama artinya dengan kata muwatta’, yaitu metode pembukuan hadis berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab fiqhiyah) dan mencantumkan hadis-hadis marfu’, mauquf, dan maqtu’. Seperti halnya muwatta’, ulama yang menulis hadis dengan metode mushannaf ini juga banyak. Di antaranya, Imam Hammad bin Salamah (w. 167 H), Imam Waki’ bin al-Jarrah (w. 196 H), Imam ‘Abd al-Razzaq (w. 211 H), Imam Ibnu Abi Syaibah (w. 235 H), dan lain-lain.
Dalam rangka pemeliharaan terhadap hadis Nabi saw., para ulama-ulama terdahulu memiliki banyak metode dalam pengodifikasian hadis. Berbagai metode tersebut tentu disusun guna mempermudah generasi-generasi berikutnya dalam mempelajari hadis. Pelajar hadis bisa memilih untuk mempelajari kitab-kitab hadis dengan metodologi imam tertentu disesuaikan dengan kebutuhannya. Contohnya saja, bagi mereka yang ingin mempelajari hadis-hadis yang diriwayatkan oleh salah satu Sahabat Nabi saw., maka mereka bisa merujuk kitab-kitab hadis yang disusun dengan metode musnad atau metode mu’jam yang akan dibahas dalam tulisan selanjutnya.
Sekian dulu, kita lanjut ke part 2.
Penulis: Mahasantri semester 4 (Angkatan Syalmahat)
Editor: Mawil Hasanah Almusaddadah