Setiap nabi utusan Allah Swt. datang dengan mu’jizat yang selaras dengan kaum yang ia datangi. Sebut saja Nabi Musa a.s. yang diutus kepada kaum yang kental dengan ilmu sihirnya, maka Nabi Musa a.s. diberi mu’jizat berupa tongkat yang bisa berubah menjadi ular, dengan itu kaumnya bisa membedakan mana yang di luar kemampuan manusia. Begitu juga dengan Nabi Muhammad saw. yang turun pada kaum yang mencintai bahasa. Orang Arab pada masa jahiliyah memperjual-belikan syair-syair mereka di pasar. Pada saat itu orang Arab berada pada puncak keemasan dalam syair-syair dan keindahan bahasa. Maka mu’jizat Nabi Muhammad saw. adalah sebagai manusia yang paling fasih dalam berbahasa dan paling tinggi balaghahnya.[1]
Rasulullah memiliki keistimewaan jawami’ul kalim yakni ucapan singkat dengan retorika sempurna dan sarat makna. Keseimbangan struktur dan pemilihan kata yang baik menjadikan hadis-hadis nabi sangat layak untuk dijadikan sebagai pedoman dalam bahasa Arab.
Para sahabat nabi berbeda-beda dalam meriwayatkan hadis, sebagian ada yang meriwayatkan hadis secara sempurna dari segi redaksi matannya yang dikenal dengan istilah riwayat bil lafdzi. Sedangkan sebagian yang lain meriwayatkan dengan riwayat bil makna, yakni redaksi matan hadis tidak selalu sama dengan apa yang disampaikan nabi namun tetap sesuai dengan konteks yang ada dalam hadis tersebut. Di antara nama-nama sahabat yang memperbolehkan riwayat bil makna adalah Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Abu Hurairah dan beberapa dari kalangan tabiin seperti Hasan al-Bashri, Ibrahim an-Nakha’i, ‘Amr bin Dinar dan lain sebagainya.[2]
Imam Ibnu Sirrin berkata:
كنت أسمع الحديث من عشرة، المعنى واحد والألفاظ مختلفة
“Aku mendengar satu hadis dari sepuluh orang dengan makna yang sama namun redaksinya berbeda-beda”. Ibnu Sirrin merupakan ulama hadis yang masuk dalam kategori perawi mutasyaddid, beliau hanya menerima periwayatan hadis bil lafdzi. (Khatib al-Baghdadi 206)
Para ulama ahli nahwu kalangan muta’akhirin menilai bahwa kebolehan riwayat hadis bil makna inilah yang menyebabkan para ulama ahli nahwu generasi awal seperti Imam Sibawaih dan lainnya tidak menjadikan hadis nabi sebagai pedoman dalam teori kebahasaan dan memilih berpegangan pada Al-Qur’an dan syair-syair orisinil orang Arab.. Syekh Abdul Qodir al-Baghdadi berpandangan bahwa hadis-hadis macam itu telah banyak mengalami modifikasi karena kemungkinan para perawi hanya menyampaikan murodif (persamaan) dari suatu kata, banyak ditemukan kesalahan kalimat dalam hadis apalagi kebanyakan perawi hadis berasal dari luar arab (‘ajami).[3] Syekh Ahmad al-Iskandari mengatakan bahwa sejak era awal Abu Aswad ad-Duali sampai era Imam Ibnu Malik tidak pernah menjadikan hadis nabi sebagai rujukan dalam ilmu nahwu kecuali pada hadis mutawatir.[4]
Namun pandangan ini tidak sepenuhnya benar, sebab klaim yang mereka sandarkan kepada para ulama nahwu generasi awal yang tidak menjadikan hadis sebagai acuan dalam kaidah bahasa sebenarnya hanya propaganda belaka, para ahli nahwu mencari-cari alasan untuk menguatkan argumen mereka agar seolah-olah hadis nabi memang tidak layak digunakan sebagai pegangan dalam penerapan struktur kaidah kebahasaan.
Ada beberapa poin untuk menanggapi klaim tersebut. Pertama, hadis nabi lebih sahih sanadnya daripada syair-syair Arab, sebab hadis dikutip melalui perawi yang dabit dan adil hingga sampai pada nabi Muhammad saw. Sedangkan para ahli nahwu hanya mengutip syair dari seseorang yang bahkan tidak dikenali identitasnya.
Kedua, para ahli hadis yang memperbolehkan riwayat bil makna tentu sepakat bahwa riwayat bil lafdzi lebih utama. Kebolehan riwayat bil makna hanya pada yang belum pernah dibukukan dan hanya dalam keadaan mendesak. Para ulama hadis memberikan persyaratan yang sangat ketat dalam penerapan riwayat bil makna, salah satunya adalah seorang perawi hadis harus benar-benar menguasai kaidah bahasa dan memahami setiap pergantian kata yang dilakukannya sehingga tidak mengubah makna yang terkandung di dalam hadis tersebut. Jika tidak demikian maka haram bagi seorang perawi untuk meriwayatkan hadis bil makna.[5]
Ketiga, jika memang ditemukan kesalahan pada sebagian redaksi hadis bukan berarti menjadikan hadis nabi tidak layak digunakan sebagai pegangan dalam tatanan bahasa secara keseluruhan, namun hanya berlaku pada hadis itu saja dan diarahkan kepada keterbatasan dabit seorang perawi secara khusus.
Keempat, jika memang benar bahwa para ulama ahli nahwu generasi awal tidak menjadikan hadis sebagai acuan dalam kaidah bahasa bukan berarti mereka tidak memperbolehkan hal tersebut. Karena bisa jadi para ulama nahwu meninggalkan hadis sebagai dalil dalam ilmu nahwu dikarenakan sulitnya mendapatkan hadis pada saat itu. Terbukti bahwa generasi awal para pakar nahwu mulai dari guru-gurunya Imam Sibawaih sampai lahirnya kitab Shahih Bukhari tidak banyak mengutip hadis karena waktu itu hadis nabi belum dibukukan.[6]
Maka kesimpulannya, semua tuduhan para ulama nahwu kalangan muta’akhirin yang memandang bahwa hadis tidak layak dipakai sebagai acuan dalam kaidah bahasa dengan alasan-alasan di atas tidaklah benar. Hadis nabi merupakan salah satu mahakarya intelektual Islam yang sudah seharusnya menjadi dasar pokok segala macam keilmuan terutama dalam ilmu gramatikal Arab.
[1]Asy-Sya’rani, Tafsir Asy-Sya’rani 14/8727
[2] Jamaluddin al-Qasimi, Qowaid at-Tahdis 1/221
[3] Abdul Qodir al-Baghdadi, Khozinatul Adab 1/5-6
[4] Ahmad al-Iskandari, Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah 1/299
[5] Syamsuddin as-Sakhawi, Fathul Mughits fi Syarhi Alfiyah al-Hadis 3/156
[6] Muhammad bin Thayyib al-Fasi, Syarh Kifayah al-Mutahaffidz 16
Penulis: Mahasantri M2 (Marhalah Tsaniyah)
Editor: Vigar Ramadhan Dano M.D.