Bulan Ramadan adalah bulan yang penuh berkah, di mana setiap amal kebaikan dilipatgandakan pahalanya di bulan suci ini. Dan di antara ibadah yang sangat dianjurkan pada bulan ini adalah salat tarawih. Seperti sabda yang Rasulullah saw. ucapkan:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang qiyam pada bulan Ramadan (salat Tarawih) dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya yang telah berlalu akan diampuni.” (HR. Imam Muslim, no.1266).[1]
Sependek-pendeknya, hadis ini menunjukkan betapa besar keutamaan salat tarawih, yakni sebagai sarana untuk mendapatkan ampunan Allah Swt. dari dosa-dosa yang telah lalu. Salat tarawih ini bukan sekadar ritual tambahan di malam-malam Ramadan, tetapi juga menjadi wujud kehambaan dan ibadah khusus di bulan Ramadhan. Namun, penting diingatkan, bahwa meskipun memiliki keutamaan yang besar, salat tarawih tetaplah bersifat sunah, bukan fardhu.
Dalam perjalanan sejarahnya, salat tarawih mengalami dinamika pada praktiknya. Rasulullah saw. sendiri pernah melaksanakannya di masjid, lalu tidak keluar lagi pada malam-malam berikutnya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu:
وَقَالَ الْمَكِّيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنِي سَالِمٌ أَبُو النَّضْرِ مَوْلَى عُمَرَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ احْتَجَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حُجَيْرَةً مُخَصَّفَةً أَوْ حَصِيرًا فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيهَا فَتَتَبَّعَ إِلَيْهِ رِجَالٌ وَجَاءُوا يُصَلُّونَ بِصَلَاتِهِ ثُمَّ جَاءُوا لَيْلَةً فَحَضَرُوا وَأَبْطَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُمْ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ فَرَفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ وَحَصَبُوا الْبَابَ فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ مُغْضَبًا فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا زَالَ بِكُمْ صَنِيعُكُمْ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُكْتَبُ عَلَيْكُمْ فَعَلَيْكُمْ بِالصَّلَاةِ فِي بُيُوتِكُمْ فَإِنَّ خَيْرَ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ
Zaid bin Tsabit meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah membangun ruangan kecil yang ditutupi dengan tikar, lalu beliau salat di dalamnya. Orang-orang yang mengetahui hal itu pun ikut salat bersama beliau. Namun, pada malam berikutnya, Rasulullah saw. tidak keluar. Orang-orang pun mulai bersuara dan melempari pintu dengan kerikil untuk menarik perhatian beliau. Rasulullah saw. kemudian keluar dalam keadaan marah dan bersabda, “Masih saja kalian bersikeras datang hingga aku mengira salat ini akan diwajibkan atas kalian. Maka, hendaklah kalian mengerjakan salat di rumah kalian masing-masing, karena sebaik-baik salat seseorang adalah di rumahnya, kecuali salat wajib.” (HR. Imam Bukhari, no. 6113).[2]
Kemudian hadis ini menjadi dalil bahwa Rasulullah saw. tidak ingin memberatkan umatnya. Jika beliau terus melaksanakan salat tarawih berjamaah di masjid, maka ada kemungkinan umat mengira bahwa hal itu wajib dilakukan. Maka bagaimana beratnya para pekerja yang waktu istirahat malamnya terbebani tarawih sebulan penuh. Oleh karena itu, Rasulullah saw. lebih memilih untuk menahan diri agar tidak menimbulkan kesalahpahaman atas kesunahan salat tarawih. Dalam kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, pada syarah hadis Imam Bukhari di atas, Ibnu Hajar menjelaskan beberapa point penting bahwa,
قَوْلُهُ ” وَحَصَبُوا الْبَابَ ” أَيْ رَمَوْهُ بِالْحَصْبَاءِ ، وَهِيَ الْحَصَى الصِّغَارُ تَنْبِيهًا لَهُ وَظَنُّوا أَنَّهُ نَسِيَ . قَوْلُهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : ( فَإِنَّ خَيْرَ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ ) هَذَا عَامٌّ فِي جَمِيعِ النَّوَافِلِ الْمُرَتَّبَةِ مَعَ الْفَرَائِضِ وَالْمُطْلَقَةِ إِلَّا فِي النَّوَافِلِ الَّتِي هِيَ مِنْ شَعَائِرِ الْإِسْلَامِ ، وَهِيَ الْعِيدُ وَالْكُسُوفُ وَالِاسْتِسْقَاءُ وَكَذَا التَّرَاوِيحُ عَلَى الْأَصَحِّ ، فَإِنَّهَا مَشْرُوعَةٌ فِي جَمَاعَةٍ فِي الْمَسْجِدِ ، وَالِاسْتِسْقَاءُ فِي الصَّحْرَاءِ ، وَكَذَا الْعِيدُ إِذَا ضَاقَ الْمَسْجِدُ
Mereka melemparkan kerikil-kerikil kecil ke pintu untuk memperingatkan beliau dan membuat beliau mengira bahwa beliau lupa. Nabi bersabda, “Sesungguhnya salat yang paling utama bagi seorang laki-laki adalah di rumahnya, kecuali salat fardu”. Ini berlaku umum untuk semua salat fardu dan salat sunah, kecuali salat fardu yang merupakan bagian dari syiar Islam, seperti salat ied, salat gerhana, salat tarawih, karena salat tarawih diwajibkan secara berjamaah di masjid, salat sunah di padang pasir dan salat ied yang tidak memungkinkan karena sempitnya masjid.[3]
Maka tujuan para sahabat melemparkan batu itu untuk mengingatkan Rasulullah saw. yang mereka kira ketidakhadiran beliau berasalkan lupanya. Padahal itu siasat beliau agar tidak terjadi kesalahpahaman atas kesunahan salat tarawih.
قَوْلُهُ ” وَحَصَبُوا الْبَابَ ” أَيْ رَمَوْهُ بِالْحَصْبَاءِ ، وَهِيَ الْحَصَى الصِّغَارُ تَنْبِيهًا لَهُ وَظَنُّوا أَنَّهُ نَسِيَ .
Mereka melemparkan kerikil-kerikil kecil ke pintu untuk memperingatkan beliau dan membuat beliau mengira bahwa beliau lupa.
Beliau juga menyebutkan bahwa hadis ini menunjukkan sahabat bahwa,
فَإِنَّ خَيْرَ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ
“Sesungguhnya salat yang paling utama bagi seseorang adalah di rumahnya, kecuali salat fardu.”
Namun, Ibnu Hajar tetap menegaskan bahwa salat tarawih tetap disyariatkan untuk dilakukan secara berjamaah di masjid karena itu termasuk bagian dari syiar agama Islam.
Senada dengan itu, dalam penjelasan lainnya pada kitab Imdatul Qori Syarah Shahih Bukhari, dijelaskan mengapa Nabi saw. tidak keluar setelah beberapa sahabat melempari pintu beliau dengan kerikil,
قوله : ” فخرج ” أي رسول الله صلى الله تعالى عليه وسلم إليهم حال كونه مغضبا ، وسبب غضبه أنهم اجتمعوا بغير أمره ، ولم يكتفوا بالإشارة منه لكونه لم يخرج إليهم ، وبالغوا حتى حصبوا بابه ، وقيل : كان غضبه لكونه تأخر إشفاقا عليهم ؛ لئلا يفرض عليهم ، وهم يظنون غير ذلك
“Kemudian Rasulullah saw. keluar menemui mereka dalam keadaan marah. Sebab kemarahan beliau adalah karena mereka berkumpul tanpa perintahnya, mereka tidak cukup dengan isyarat darinya bahwa beliau tidak keluar menemui mereka, bahkan mereka berlebihan hingga melempari pintunya dengan kerikil. Dikatakan pula bahwa kemarahan beliau terjadi karena beliau sengaja tidak segera keluar karena kasih sayang terhadap mereka, agar tidak sampai diwajibkan atas mereka, sementara mereka mengira hal yang berbeda.”[4]
Kiranya, pendek saja, bahwa sikap beliau ini menunjukkan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan suatu amalan agar tidak memberatkan umat. Dari berbagai riwayat di atas, dapat disimpulkan bahwa salat tarawih adalah ibadah sunah yang sangat dianjurkan di bulan Ramadan. Meskipun Rasulullah saw. pernah menahan diri dari melaksanakannya secara berjamaah, bukan berarti salat ini tidak memiliki keutamaan. Sebaliknya, dari banyaknya keistimewaan bulan Ramadhan dan ibadah di dalamnya, sebagai role model atau tuntunan umat Islam, Rasulullah ingin menunjukkan suatu amal yang walaupun banyak keutamaannya, tetapi ada hukum yang tidak mencapai kewajiban di dalamnya. Bukannya penulis ingin mengajak pembaca untuk tak perlu tarawih, tetapi mengetahui suatu amal sebelum melakukannya adalah -bagi penulis- langkah yang baik bagi seorang Muslim.
Sekian, maturnuwun…
[1] Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, [Dar al-Kutub al-Islamiyyah, hadis no. 1266].
[2] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari, Shahih Bukhari, [Dar Tawq al-Najat-Beirut, hadis no. 6113].
[3] Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, [Software Khadim al-Haramain, 10/534]
[4] Imam Badruddin Al-‘Aini, Imdah al-Qori Syarah Bukhari, [Software Khadim al-Haramain, 22/161]
Penulis: Mahasantri Semester 4 (Angkatan Syalmahat).
Editor: Vigar Ramadhan Dano M.D.