Dalam ajaran Islam, setiap individu diajarkan untuk memiliki kemandirian dan kehormatan diri, yang tercermin dalam konsep “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” Ungkapan ini menggambarkan pentingnya menjadi seorang pemberi dibandingkan dengan meminta-minta, yang dalam Islam dipandang dapat merendahkan martabat seseorang. Oleh karena itu, seorang Muslim dianjurkan untuk menjaga kehormatan dirinya dengan bersikap perwira (‘afîf), yang berarti tidak bergantung pada bantuan orang lain kecuali dalam keadaan darurat.
Dalam konteks ini, zakat mal, zakat kekayaan, maupun zakat fitri pada dasarnya juga merupakan simbolisasi pemadatan nilai keimanan yang tidak kasat mata dan fundamental. Adapun ide dasar yang terkandung dalam keduanya adalah penyucian. Sedang sarana penyuciannya adalah dengan menunjukkan komitmen, kepedulian sosial. Zakat yang sesungguhnya mengandung pesan-pesan kemanusiaan, juga harus dipahami semangat dan dinamikanya pada zaman sekarang ini, termasuk di dalamnya kelompok orang yang wajib mengeluarkan zakat (muzakki). Lebih dari itu, zakat juga menjadi instrumen distribusi ekonomi yang berfungsi mengurangi kesenjangan sosial serta mendorong kesejahteraan yang lebih merata dalam masyarakat.
Hal itu karena, seperti yang kita ketahui, kitab-kitab fiqih yang mengatur masalah zakat merupakan hasil respons dan ijtihad para ulama pada zaman dahulu, yang hidup pada era agraris. Seiring perubahan zaman dan masuknya era industri seperti sekarang ini, para ulama dituntut untuk kembali memikirkan, mengupayakan, dan memperbarui hukum-hukum fiqih yang ada, sehingga hukum-hukum fiqih tetap dinamis dan mampu memberikan solusi bagi masalah dan tantangan zaman.[1]
Dalam Islam, kepemilikan harta harus didasarkan pada prinsip keadilan, yaitu tidak boleh diperoleh melalui cara-cara yang zalim atau merugikan hak orang lain. Oleh karena itu, zakat yang berarti penyucian terhadap harta kekayaan menegaskan bahwa harta dalam Islam tidak boleh diperoleh melalui penindasan terhadap hak orang lain. Konsep keharusan mendapatkan harta dalam Islam tidak boleh diperoleh dengan cara-cara yang tidak benar, batil, atau bahkan dengan penindasan atau mengambil hak lainnya. Maka, konsep zakat sebagai penyucian harta menjadi sebuah nilai keagamaan yang wajib dan nilai yang erat akan kemanusian.
Selain itu, Islam tidak hanya menganjurkan umatnya untuk berzakat, tetapi juga untuk bekerja keras dan berusaha mencapai kesejahteraan ekonomi. Konsep keharusan mendapatkan harta dengan cara yang benar dalam Islam maksudnya tidak setelah mendapatkan proses pembenaran atau legalisasi hukum dikatakan benar. Melainkan cara yang dibenarkan dalam syariat, yang kemudiam disalurkan dengan cara dan jalan yang baik pula.
Dengan menganjurkan orang Islam mengeluarkan zakat, baik zakat mal (harta kekayaan) maupun zakat fitrah pada bulan puasa, menunjukan arti agama Islam menganjurkan orang beriman giat bekerja dan berupaya menjadi orang kaya (dalam artian mampu dan tidak terperdaya dengan harta dunia). Hal ini karena memberikan sebagian rezeki merupakan satu perwujudan dan pembuktian keimanan yang batiniah.[2]
Hal senada dianjurkan dalam sebuah hadis Nabi Saw. yang berbunyi,
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ يَذْكُرُ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ عَنْ الْمَسْأَلَةِ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَالْيَدُ الْعُلْيَا الْمُنْفِقَةُ وَالْيَدُ السُّفْلَى السَّائِلَةُ
Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah dari Malik dari Nafi’ dari ‘Abdullah bin ‘Umar bahwa Rasulullah saw. bersabda, -Beliau menyebutkan tentang sedekah dan enggan untuk meminta-minta-: “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Tangan di atas adalah orang yang berinfak dan tangan yang di bawah adalah orang yang meminta-minta.”( HR. An-Nasa’i dalam Sunan nya)[3]
Dalam hadis pada kitab lain juga disebutkan,
حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَذْكُرُ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ عَنْ الْمَسْأَلَةِ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى وَالْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ
Telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar berkata, “Saat beliau di atas mimbar, beliau menyebutkan tentang sedekah dan menjaga kehormatan dari meminta-minta, beliau katakan, “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” Tangan di atas adalah orang yang memberi dan yang di bawah adalah orang yang meminta.”(HR. Imam Malik dalam Muwattha nya)[4]
Hadis ini mengisyaratkan bahwa memberi lebih mulia, terhormat, daripada menerima. Sedang pada sisi yang lain, secara bersamaan, juga memberikan pemahaman bahwa meminta-minta adalah pekerjaan yang tidak terhormat. Dengan demikian, umat Muslim tidak diajarkan sebagai manusia yang mental bad, sikap meminta tidak ada dalam diri seorang Muslim, tetapi dalam waktu yang sama, mental ‘memberi’ tanpa diminta sudah menjadi sikap anjuran dalam agama Islam.
Pendek saja, sekian dan maturnuwun.
[1] Nurcholis Madjid, Ensiklopedia NM, Blog dari kumpulan artikel-artikel Cak Nur, hlm. 3635.
[2] Ibid.
[3] Abu Abdirrahman Ahmad bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr Al Khurasany, Sunan an-Nasai, hadis no. 2486. [Makhtabah al-Ma’rifah, Riyadh]
[4] Malik bin Anas, Muwattha Imam Malik, hadis no. 1932, [Dar al-Ma’rifah, Lebanon]
Penulis: Mahasantri semester 4 (Angkatan Syalmahat)
Editor: Vigar Ramadhan Dano M.D.