Setelah sebulan penuh menahan lapar, dahaga, dan godaan, umat Islam tiba di gerbang Idulfitri. Sebuah perayaan, tentu saja, tapi juga lebih dari itu. Ada yang melihatnya sebagai momentum kembali ke fitrah: jiwa yang suci, layaknya lembaran yang dikosongkan dari noda. Ada pula yang menyebutnya sebagai kemenangan, bukan atas musuh di luar sana, tetapi atas diri sendiri: hawa nafsu yang selama Ramadhan dikekang, diuji, diajarkan tunduk pada perintah. Dan tentu saja, bagi banyak orang, Idulfitri adalah hari makan besar, sebuah selebrasi sederhana setelah berhari-hari menahan diri. Mungkin, dalam semua pemaknaan itu, ada benarnya.
Idulfitri bukan sekadar hari raya; ia adalah penanda sebuah perjalanan dari sebulan penuh menahan diri, menjaga lisan, menata hati. Ia dirayakan di seluruh dunia, di setiap rumah yang selama Ramadhan dipenuhi doa dan cahaya. Sejarahnya bermula di tahun kedua Hijriah, saat puasa Ramadhan pertama kali diwajibkan. Sebelum itu, masyarakat Arab telah memiliki hari-hari perayaan mereka sendiri, diisi dengan hiburan dan permainan. Tetapi Nabi saw. datang membawa perubahan: mengganti euforia tanpa makna dengan dua hari besar yang sarat dengan nilai spiritual: Idulfitri dan Iduladha. Sejak saat itulah, hari kemenangan ini tak sekadar menjadi perayaan, tapi juga pengingat akan jiwa yang telah ditempa sepanjang bulan suci.
Dalam sebuah hadis, Anas bin Malik r.a. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda:
أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَ : أَنْبَأَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ : حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا ، فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْمَدِينَةَ قَالَ : كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا ، وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا : يَوْمَ الْفِطْرِ ، وَيَوْمَ الْأَضْحَى
Telah mengabarkan kepada kami ‘Ali bin Hujr, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Isma’il, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Humaid, dari Anas bin Malik, ia berkata: Dahulu, pada masa Jahiliyah, penduduknya memiliki dua hari dalam setiap tahun di mana mereka bermain-main. Ketika Nabi saw. tiba di Madinah, beliau bersabda: “Dahulu kalian memiliki dua hari yang kalian gunakan untuk bermain-main, namun kini Allah telah menggantinya dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari Idulfitri dan hari Iduladha.”1
Dalam syarah hadis ini, dijelaskan bahwa:
قَوْله ( وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّه بِهِمَا ) أَيْ فِي مُقَابَلَتهمَا يُرِيد أَنَّهُ نَسَخَ ذَيْنِكَ الْيَوْمَيْنِ وَشَرَعَ فِي مُقَابَلَتِهِمَا هَذَيْنَ الْيَوْمَيْنِ ، وَقَوْله ” وَيَوْم الْأَضْحَى ” بِفَتْحِ الْهَمْزَة جَمْع أَضْحَاة شَاة يُضَحَّى بِهَا ، وَبِهِ سُمِّيَ يَوْم الْأَضْحَى
Sabda Nabi saw.: “Dan Allah telah menggantinya dengan dua hari yang lebih baik,” maksudnya adalah sebagai pengganti dari dua hari perayaan jahiliyah tersebut. Artinya, kedua hari itu telah dihapus dan sebagai gantinya Allah telah mensyariatkan dua hari raya ini. Adapun perkataan beliau saw.: “Dan hari Iduladha,” kata Adha berasal dari bentuk jamak Adhāh, yang berarti kambing yang disembelih sebagai kurban, dan karena itu pula hari tersebut dinamakan Iduladha.2
Dua hari perayaan di masa Jahiliyah itu dimaksudkan untuk hari perayaan Nauruz dan Mihrajan, hal ini senada dengan hadis dalam riwayat Al-Baihaqi yang berbunyi:
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ الْحَافِظُ، ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثنا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ عَفَّانَ، ثنا أَبُو أُسَامَةَ، ثنا عَوْفٌ، عَنْ أَبِي الْمُغِيرَةِ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرو، قَالَ: «مَنْ بَنَى فِي بِلَادِ الْأَعَاجِمِ فَصَنَعَ نَوْرُوزَهُمْ وَمِهْرَجَانَهُمْ وَتَشَبَّهَ بِهِمْ حَتَّى يَمُوتَ وَهُوَ كَذَلِكَ حُشِرَ مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ». وَهَكَذَا رَوَاهُ يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، وَابْنُ أبي عَدِيٍّ، وَغُنْدَرٌ، وَعَبْدُ الْوَهَّابِ، عَنْ عَوْفٍ، عَنْ أَبِي الْمُغِيرَةِ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو مِنْ قَوْلِهِ
Abu Abdillah al-Hafizh telah mengabarkan kepada kami, ia berkata: Abu Al-Abbas Muhammad bin Ya’qub telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Al-Hasan bin Ali bin ‘Affan telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu Usamah telah menceritakan kepada kami, ia berkata: ‘Auf telah menceritakan kepada kami, dari Abu Al-Mughirah, dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata:“Barang siapa yang tinggal di negeri orang-orang non-Muslim, lalu ia merayakan perayaan Nauruz dan Mihrajan mereka serta menyerupai mereka hingga ia meninggal dalam keadaan demikian, maka ia akan dibangkitkan bersama mereka pada hari kiamat.” Demikian pula riwayat ini telah disampaikan oleh Yahya bin Sa’id, Ibn Abi ‘Adi, Ghundar, dan Abdul Wahhab, dari ‘Auf, dari Abu Al-Mughirah, dari Abdullah bin ‘Amr sebagai perkataannya sendiri.3
Syahdan, perayaan yang awalnya dirayakan dengan berpesta pora ala Jahiliyah, diganti oleh Nabi saw. dengan Idulfitri yang diisi dengan saling bermaaf-maafan dan Iduladha dengan berkurban serta makan-makan.
Pada Idulfitri, dalam sebuah hadis dikatakan bahwa seorang Muslim akan diampuni dosa-dosanya setelah melaksanakan salat Ied di pagi harinya.
فإذا كان يومُ الفطرِ نزلتِ الملائكةُ فوقفتْ على أفواه الطُّرق يقولون يا أمةَ محمدٍ اغدوا إلى ربٍّ كريم فإذا صاروا فى المصلى نادى الجبارُ فقال يا ملائكتى ما جزاءُ الأجيرِ إذا فرغ من عملِهِ قالوا ربنا جزاؤُه أن يوفَّى أجرَه فإنَّ هؤلاء عبادى وبنو عبادى أمرتُهم بالصيامِ فصاموا وأطاعونى وقضوا فريضتى فينادى المنادى يا أمةَ محمدٍ ارجعوا راشدين فقد غفر لكم
Pada Idulfitri, para malaikat turun ke bumi dan berdiri di persimpangan jalan, menyeru umat Nabi Muhammad dengan panggilan: “Wahai umat Muhammad, bergegaslah menuju Tuhan yang Maha Pemurah!” Ketika kaum muslimin berkumpul di tempat shalat Ied, Allah berfirman: “Wahai malaikat-Ku, apa balasan bagi seorang pekerja yang telah menyelesaikan tugasnya?” Para malaikat menjawab: “Ya Rabb, balasannya adalah menerima upahnya secara penuh.” Kemudian Allah berfirman: “Mereka adalah hamba-hamba-Ku dan anak-anak hamba-Ku. Aku perintahkan mereka untuk berpuasa, dan mereka menaati-Ku serta menjalankan kewajiban-Ku.” Maka seorang penyeru mengumumkan: “Wahai umat Muhammad, kembalilah ke rumah kalian dalam keadaan baik, karena kalian telah diampuni.”4
Selain itu Idulfitri memiliki banyak keutamaan yang tercermin dalam berbagai hadis Nabi saw. ada beberapa keutamaan Idulfitri yang penulis ingin tuliskan.
Salah satu sunnah utama pada malam Idulfitri adalah mengumandangkan takbir sebagai bentuk syukur atas selesainya ibadah Ramadhan.
Nabi saw. dalam hadisnya bersabda:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ وُهَيْبٍ الْغَزِّيُّ ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ أَبِي السَّرِيِّ الْعَسْقَلَانِيُّ ، حَدَّثَنَا بَقِيَّةُ بْنُ الْوَلِيدِ ، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ رَاشِدٍ الْيَمَامِيُّ ، حَدَّثَنَا أَبُو كَثِيرٍ يَزِيدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : زَيِّنُوا أَعْيَادَكُمْ بِالتَّكْبِيرِ
Diriwayatkan kepada kami oleh Abdullah bin Wahb al-Ghazzi, ia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Muhammad bin Ahmad bin Abi Sari al-Asqalani, ia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Baqiyyah bin al-Walid, ia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Umar bin Rasyid al-Yamami, ia berkata: Diriwayatkan kepada kami oleh Abu Katsir Yazid bin Abdurrahman, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Hiasilah hari-hari raya kalian dengan takbir.”5
Takbir Idulfitri ini biasanya dimulai sejak matahari terbenam di malam 1 Syawal hingga sebelum salat Idulfitri dilaksanakan.
Pada hari raya Idulfitri, kita juga dianjurkan untuk mandi dalam artian berangkat salat dengan keadaan bersih dan suci. Ini senada dengan hadis:
مَالِكٌ ، عَنْ نَافِعٍ ، أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ ، كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى
Malik, dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu biasa mandi pada hari raya Fitri sebelum pergi ke tempat salat.6
Selanjutnya, salah satu sunnah yang diajarkan Nabi saw. sebelum salat Idulfitri adalah makan terlebih dahulu, biasanya dengan kurma dalam jumlah ganjil. Ini tercatat dalam hadis Anas bin Malik r.a., Nabi saw. bersabda:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ وَقَالَ مُرَجَّأُ بْنُ رَجَاءٍ : حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللهِ قَالَ: حَدَّثَنِي أَنَسٌ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا
Dari Anas, ia berkata: Rasulullah saw. tidak berangkat pada hari raya Fitri sampai beliau makan beberapa butir kurma. Dan Murajjah bin Rajaa’ berkata: Ubaidullah bercerita kepadaku, ia berkata: Anas bercerita kepada kami dari Nabi Saw., bahwa beliau makan kurma tersebut secara ganjil (bilangan ganjil).7
Sedikitnya, itulah beberapa keutamaan yang bisa kita lakukan saat hari raya Idulftri.
Sampai pada kesimpulan, penulis ingin menyampaikannya dengan agak berbau sastra: Idulfitri datang seperti janji yang dipenuhi. Setelah Ramadhan yang panjang, setelah hari-hari yang dijalani dalam sunyi, dalam menahan diri, dalam sepi yang kadang mengetuk pintu malam. Dan di ujungnya, ada pagi yang lain: takbir membelah udara, jalanan berwarna oleh wajah-wajah yang berseri, tangan-tangan yang saling menjabat, lalu memaafkan.
Tetapi Idulfitri bukan sekadar perayaan. Ia bukan hanya tentang hidangan yang tersaji, atau pakaian yang baru. Ia adalah ingatan yang diperbarui: bahwa diri pernah ditempa, pernah ditundukkan oleh lapar, pernah diajak berdamai dengan kesederhanaan. Turut merasakan bagaimana rasa lapar dialami oleh mereka yang tidak mampu.
Kiranya, Idulfitri adalah pulang, bukan sekadar kembali ke rumah, tetapi kembali ke fitrah. Ke kesucian yang -barangkali- selama ini tersembunyi di antara kesibukan dunia. Ada yang menyebutnya hari kemenangan, tapi mungkin yang lebih tepat: ini adalah hari mengingat. Bahwa manusia pernah berusaha menjadi lebih baik. Bahwa di antara segala riuhnya dunia, masih ada ruang untuk sujud, untuk maaf, untuk sejenak merasa ringan.
Sekian, Maturnuwun…
Penulis: Mahasantri Semester 4 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Editor: Mawil Hasanah Almusaddadah
1. Abu Abdurrahman Ahmad bin Syuaib An-Nasai, Sunan An-Nasai, no. 1556, juz 1/334 [Khadim Haramain]
2. Jalaluddin As-Suyuthi, Sunan an-nasa’i bisyarhi al-hafidz Jaluddin as-suyuti, juz 3/179-180 [Khadim Haramain].
3. Ahmad bin Husain bin Ali bin Musa Al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, juz 9/392 [Turats].
4. Abdurrahman bin Abu Bakr As-Suyuti, Jami’ al-Ahadis, juz 3/465 [Turats].
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Syahin dalam At-Targhib dari Anas bin Malik. Namun, sanadnya mengandung kelemahan karena terdapat perawi bernama ‘Abbad bin ‘Abd As-Shamad. Al-‘Aqili menyebut bahwa hadis-hadisnya banyak yang munkar dan tidak dikenal kecuali darinya. Ibnu al-Jawzi dalam Al-‘Ilal juga menyatakan bahwa hadis ini tidak sahih. Selain itu, hadis ini memiliki jalur lain melalui Aṣram bin Ḥushayb, yang disebut oleh Ibnu Ḥibbān sebagai pemalsu hadis, dan hadis ini pun dimasukkan oleh Ibnu al-Jawzi dalam Al-Mawdu‘at (kitab hadis-hadis palsu). Ada jalur ketiga melalui Aban, yang juga perawi matruk (ditinggalkan). Para ulama seperti Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan dan Al-Hafizh dalam Lisan al-Mizan menyatakan bahwa hadis ini menyerupai buatan para pencerita kisah (qussas), sehingga tidak bisa dijadikan hujjah.
5. Sulaiman bin Ahmad Ath-Thabrani, Al-Mu’jam Ash-Shagir, no. 599, juz 1/358 [Khadim Haramian]
Disebutkan dalam catatan hadis ini bahwa “لم يروه عن أبي كثير إلا عمر، وعن عمر إلا بقية, تفرد به ابن أبي السري“ (Tidak ada yang meriwayatkannya dari Abu Katsir kecuali Umar, dan tidak ada yang meriwayatkannya dari Umar kecuali Baqiyyah. Ibnu Abi Sari juga sendirian dalam meriwayatkannya), yang menunjukkan bahwa hadis ini sangat lemah karena bersandar pada satu jalur yang tidak kuat. Meskipun demikian, makna hadis ini sejalan dengan anjuran umum dalam syariat Islam untuk memperbanyak takbir pada hari raya, sebagaimana disebutkan dalam ayat: وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (Agar kalian mengagungkan Allah atas petunjuk yang diberikan-Nya kepada kalian, dan supaya kalian bersyukur) (QS. Al-Baqarah: 185). Namun, karena kelemahan sanadnya, hadis ini tidak bisa dijadikan dasar hukum, tetapi dapat dijadikan sebagai penguat anjuran yang sudah ada dalam syariat terkait takbir di hari raya.
6. Malik bin Anas, Muwatta, no. 393, juz 1/248 [Khadim Haramain].
7. Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhari, Shahih Bukhari, no. 953, juz 2/17 [Khadim Haramain]