Zaman ini suka berlari. Segala hal ingin dicapai dengan cepat: informasi, keuntungan, pertumbuhan ekonomi. Kita bangga ketika jalan diperlebar, hutan dibuka, dan bukit diratakan. Dalam narasi yang disusun rapi oleh penguasa dan pengusaha, semua ini kerap disebut “kemajuan”. Namun ketika kita berhenti sejenak dan menatap langit yang kian buram, sungai yang mengering, serta udara yang kian sesak, kita tahu ada yang tidak beres.
Kita hidup dalam kontradiksi yang tak lagi malu-malu: membanggakan kecepatan zaman sambil membiarkan fondasinya retak. Atas nama modernisasi, alam diperlakukan seperti objek tanpa nyawa: ditambang, ditebang, diperah habis-habisan. Tapi untuk apa kemajuan dikejar, jika dunia tempat kita hidup justru ditinggalkan dalam puing-puing?
Paradoks ini, seperti kata Yuval Noah Harari, lahir sejak manusia mulai menggantikan keterhubungannya dengan alam dengan mesin-mesin industri. Kemajuan bukan lagi tentang kedekatan manusia dengan bumi, tapi tentang seberapa jauh manusia bisa meninggalkannya. Bahkan merusaknya. Perlahan. Tapi dalam sejarah yang panjang, tak ada satu pun peradaban yang selamat ketika mereka menghancurkan tanah tempat mereka berpijak.
Di banyak peradaban kuno, alam bukanlah benda mati. Ia bukan objek yang bisa ditaklukkan begitu saja, apalagi diperas hingga tandus. Dalam tradisi kuno, seperti Taoisme dan Hinduisme, alam adalah guru yang sabar, menyampaikan pelajaran tentang keseimbangan, keheningan, dan ketepatan waktu. Dalam Islam, secara filosofis, alam disebut sebagai “ayat”: tanda-tanda kebesaran Tuhan, bukan komoditas yang bisa dihitung hanya dengan rupiah per hektar.
Namun modernitas membawa cara pandang baru. Ilmu pengetahuan dipisahkan dari rasa takjub. Bumi tak lagi suci, hanya bisa diukur. Alam kehilangan auranya, karena manusia lebih suka menguasai ketimbang memahami. Di sinilah perbedaan antara eksplorasi dan eksploitasi menjadi terang.
Eksplorasi adalah -mudahnya- adalah penjelajahan, atau sebuah tindakan menjelajah dengan hormat. Ia mengandaikan kerendahan hati, keterbukaan, dan kesediaan untuk belajar. Sementara eksploitasi lahir dari hasrat untuk menguasai, mengambil tanpa memberi, memeras hingga habis.
Pikiran yang sehat harusnya menempatkan manusia sebagai bagian dari semesta, bukan pusatnya, seperti yang kini kerap disebut antroposentrisme. Ia layaknya amanah yang dimonopoli oleh pasar dan politik yang menjadikan manusia sebagai penguasa tunggal, dan alam hanya sebagai “bahan mentah”. Di sinilah luka-luka alam bermula: bukan dari ketidaktahuan, tapi dari keserakahan.
Sebagaimana motor yang dimodifikasi agar bisa berlari lebih kencang, kita lupa bahwa kecepatan tanpa perhitungan hanya akan merusak mesin. Dunia ini ibarat motor yang mulai panas, oli-nya kering, dan bannya aus. Tapi kita tetap memacu gas, demi merasa hebat, tanpa peduli: akan sampai ke mana?
Mari kita renungkan sejenak pikiran ini. Siapa sebenarnya yang paling sering bicara tentang “pembangunan”? Siapa yang paling lantang menyerukan “kemajuan zaman”? Bukan petani kecil yang kehilangan sawahnya. Bukan warga pinggir sungai yang airnya kini berwarna abu-abu. Biasanya, suara itu datang dari mereka yang duduk di kursi empuk, di ruangan ber-AC, memegang peta investasi, dan melihat hutan hanya sebagai lahan kosong yang bisa diekploitasi dan menghasilkan pundi-pundi rupiah.
Di balik nama-nama program besar seperti “green economy”, “proyek strategis nasional”, atau “transisi energi”, tersembunyi niat-niat yang tak selalu bersih. Alih-alih membela bumi, banyak dari proyek itu justru mempercepat kerusakan. Sungai dialihkan, gunung dilubangi, laut dicemari. Dan semua ini diberi stempel mulia: demi pertumbuhan, demi kemajuan.
Padahal, seperti yang sering terjadi dalam sejarah, pembangunan sering kali hanya berarti memindahkan penderitaan dari pusat ke pinggiran. Begitu katanya. Mereka yang tinggal di kota melihat jalanan yang mulus dan gedung-gedung kaca. Tapi mereka yang tinggal di kaki gunung melihat longsor. Mereka yang tinggal di pinggir hutan melihat satwa menghilang, air mengering, dan tanah merambah retak.
Kemajuan, dalam tangan oligarki, bukanlah soal masa depan bersama. Ia adalah topeng: menyembunyikan keserakahan dengan jargon kemajuan. Menyebut perampasan sebagai investasi. Menamai kehancuran sebagai transformasi.
Filsuf Prancis, Jacques Ellul dalam bukunya Masyarakat Teknologis, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta) menyebut teknologi modern sebagai kekuatan yang “bergerak sendiri”, tak bisa dihentikan. Tapi lebih dari itu, yang membuatnya berbahaya adalah ketika kekuatan itu dikendalikan oleh sedikit orang untuk kepentingan banyak harta, bukan banyak jiwa. Maka wajar jika alam kerap kalah. Ia tak bersuara. Ia tak bisa melobi.
Lalu kita, sebagai manusia biasa, disuguhi narasi besar yang membuat kita merasa kecil. Kita diminta diam, menonton sambil percaya bahwa semua ini untuk kebaikan kita. Padahal, pelan-pelan, alam sedang disayat, dan zaman sedang disabotase oleh mereka yang mengaku membangunnya.
Alam tak pernah terburu-buru. Ia tumbuh dalam diam, menyembuhkan luka tanpa pamer, dan memberi tanpa syarat. Ia tidak menuntut manusia untuk membalas, hanya agar tidak dilukai lebih jauh. Tapi manusia modern -yang dibutakan oleh kecepatan dan dikendalikan oleh mesin- telah menjadikan bumi ini ladang untuk diperah, bukan rumah untuk ditinggali bersama.
Kita menyebut kerusakan sebagai pembangunan. Menyebut perampasan sebagai investasi. Bahkan menyebut bencana ekologis sebagai “resiko teknis yang bisa diatasi”. Padahal, yang kita lawan bukan kekuatan alam, tapi kebijaksanaan alam. Dan dalam pertarungan itu, manusia pasti kalah: bukan karena kurang kuat, tapi karena terlalu sombong.
Jacques Ellul mengingatkan bahwa ketika teknologi berkembang tanpa kendali nilai, ia berubah menjadi kekuatan otonom yang membentuk dunia bukan berdasarkan kebaikan, tapi efisiensi. Pertanyaannya, apakah kita ingin hidup dalam dunia yang efisien tapi rusak? Cepat tapi rapuh? Maju tapi tanpa akar?
Kita harus bertanya ulang: apakah semua yang bisa kita lakukan, harus kita lakukan? Apakah semua tanah harus dibuka? Apakah semua sungai harus disalurkan? Apakah semua suara tentang “kemajuan” memang berasal dari suara mayoritas, atau hanya gema dari ruang-ruang rapat yang jauh dari jeritan tanah?
Sebab pada akhirnya, kita harus sadar: alam bukan warisan untuk diklaim, melainkan kehidupan yang harus dihormati. Ia bukan objek untuk dieksploitasi, melainkan ruang untuk dieksplorasi, dengan rasa ingin tahu, bukan kerakusan dengan kesadaran, bukan kekuasaan.
Dan bisa jadi, dari semua proyek besar yang kita bangun, yang paling bijak justru adalah yang kita biarkan tetap alami. Karena tidak semua yang dibangun membuat hidup tumbuh. Dan tidak semua yang didiamkan berarti stagnan. Terkadang, diamnya alam lebih bijak daripada gaduhnya manusia.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ ٤١
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Rum: 41)
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ ٥٦
Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-A’raf: 56)
Penulis: Mahasantri Semester 4 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari
Editor: Vigar Ramadhan Dano M.D.