… رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ١٩١
… “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka. (QS. Ali ‘Imran: 191)
Dalam hiruk-pikuk perhatian manusia terhadap realitas yang megah nan memesona, ada komunitas yang sering luput dari pandangan. Mereka kecil, nyaris tak terlihat, bahkan kerap dianggap mengganggu. Namun, justru di balik ketidakterlihatan itulah, mereka memegang peran yang tak tergantikan dalam rantai kehidupan. Mereka hidup sesuai dengan aturan yang berlaku, melaksanakan peran, tanpa mengharap imbalan.
Sadarkah kita, para manusia, bahwa tataran ekosistem sedemikian rumit ternyata terorganisir dengan sempurna. Mā tarā fī khalqi ar-Rahmāni min tafāwut: ‘Tidaklah engkau lihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih itu sesuatu yang tidak seimbang’ (QS. Al-Mulk: 3) begitulah yang termaktub dalam kitab-Nya. Dia tak segan untuk membuat perumpamaan sekecil nyamuk bahkan yang lebih kecil darinya, sebagai isyarat bahwa dalam penciptaan yang terlihat remeh itu terdapat tanda-tanda keagungan-Nya. Dari nyamuk yang kecil itu, Dia menyediakan makanan bagi sebagian hamba-Nya yang lain. Dia juga menyiapkan hikmah-hikmah yang sangat besar di balik seluruh ciptaan-Nya, bahkan yang dipandang sebelah mata oleh manusia.
وَاِنْ مِّنْ شَيْءٍ اِلَّا عِنْدَنَا خَزَاۤىِٕنُهٗ وَمَا نُنَزِّلُهٗٓ اِلَّا بِقَدَرٍ مَّعْلُوْمٍ ٢١
Tidak ada sesuatu pun melainkan di sisi Kamilah perbendaharaannya dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu. (QS. Adz-Dzariyat: 21)
Allah sudah menentukan segala sesuatu sesuai dengan takarannya. Bumi dan segala tumbuhan yang mengakar padanya, hewan-hewan yang berpijak di atasnya, kemudian air dan udara yang menjadi sumber kehidupan, semuanya telah terukur. Lalu, di kemudian hari, datanglah manusia yang berkehendak semaunya. Ia merusak tatanan yang sudah rapi itu, kemudian menggantinya dengan apa yang menguntungkannya. “Tak heran jika ada yang berkata, ‘Kalau ada hutan, ganti saja dengan ladang; sama-sama tanaman, bukan?’” Selama itu menguntungkan, mengapa tidak, iya, ‘kan?
Coba kita sama-sama renungkan hadis di bawah ini,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: ” نَزَلَ نَبِيٌّ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ تَحْتَ شَجَرَةٍ فَلَدَغَتْهُ نَمْلَةٌ فَأَمَرَ بِجَهَازِهِ فَأُخْرِجَ مِنْ تَحْتِهَا، ثُمَّ أَمَرَ بِبَيْتِهَا فَأُحْرِقَ بِالنَّارِ فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَيْهِ فَهَلَّا نَمْلَةً وَاحِدَةً
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Seorang nabi dari para nabi pernah berteduh di bawah sebuah pohon. Lalu ia digigit oleh seekor semut. Maka ia memerintahkan agar peralatan (barang bawaannya) dikeluarkan dari bawah pohon itu. Kemudian ia memerintahkan agar sarang semut itu dibakar dengan api. Maka Allah mewahyukan kepadanya: ‘Mengapa tidak (cukup) seekor semut saja (yang kamu hukum)?’” (HR. Bukhari, no. 3092)
Mengapa kita selalu buta akan hal-hal yang kecil. Padahal dari yang kecil itu kita bisa hidup. Mereka juga memiliki kehidupan, berjalan dengan nyawa ciptaan-Nya dan menyangga pilar ekosistem dengan cara yang tidak kita duga. Lalu kita, tanpa tahu apa-apa, dengan congkaknya berani menginjak, mencabut, dan membakar makhluk-makhluk kecil itu, seolah mereka tidak membawa apa-apa selain gangguan. Padahal, dalam sunyi mereka, para semut bertasbih, para lebah menyeimbangkan rantai penyerbukan, dan makhluk-makhluk kecil itu menjaga tanah tetap subur, daur hidup tetap berjalan. Mengapa kita selalu buta?
Sebelum manusia berpijak, alam telah menjalankan simfoni sempurnanya, matahari bersinar tanpa takut menyakiti, air mengalir tanpa takut tercemari. Para lebah menari dari bunga ke bunga. Semuanya tertata, semuanya berjalan di garisnya. Hingga datanglah manusia, membawa akal dan ambisi. Ia tak sekadar berpijak, tapi mengukir jejak yang mengubah irama. Simfoni pun mulai sumbang, matahari terasa panas oleh tangan yang menebang, air keruh oleh limbah yang dibuang sembarangan, dan lebah kehilangan arah karena bunga-bunga tak lagi mekar.
Kini, alam tak butuh banyak kata. Ia hanya ingin didengar. Dalam desah angin, gemuruh hujan, dan sekaratnya hutan, ia terus bersuara. Mampukah kita, yang mengaku paling sadar, belajar kembali diam—untuk mendengar, merenung, dan akhirnya bersujud?. Karena mungkin kita terlalu lama bicara, hingga lupa mendengar. Alam telah bersujud dengan caranya. Tinggal kita: masihkah tahu cara ikut bersujud bersamanya?
Penulis: Mahasantri Semester 4 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Editor: Vigar Ramadhan Dano M.D.
…