Dalam hiruk-pikuk dunia belajar hari ini, segalanya terasa terburu-buru. Usai satu pelajaran, segera berganti ke pelajaran berikutnya. Selesai kelas, langsung beranjak tanpa jejak. Tradisi menutup majelis ilmu dengan doa perlahan terlupakan, tergantikan oleh ritme zaman yang serba cepat dan efisien.
Di banyak pesantren, ada sebuah tradisi yang diam-diam menanamkan adab mendalam: usai belajar, para santri tidak langsung bangkit dari tempat duduk. Mereka menundukkan kepala, menyatukan suara, lalu melantunkan doa penutup. Sebuah pengakuan diam-diam bahwa apa yang baru saja dilalui, betapapun serius dan khusyuknya, tetap menyimpan kemungkinan kekhilafan.
Tradisi ini sejatinya tidak lahir dari budaya pesantren semata. Ia berakar dari teladan Rasulullah Saw., yang mengajarkan bahwa di setiap majelis ilmu, perlu ditutup dengan doa permohonan ampun dan pengakuan akan kebesaran Allah.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw. bersabda:
عَنْ أَبِي بَرْزَةَ الْأَسْلَمِيِّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ بِأَخَرَةٍ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَقُومَ مِنْ الْمَجْلِسِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ لَتَقُولُ قَوْلًا مَا كُنْتَ تَقُولُهُ فِيمَا مَضَى فَقَالَ كَفَّارَةٌ لِمَا يَكُونُ فِي الْمَجْلِسِ
Dari Abu Barzah Al-Aslami ia berkata, “Ketika akan mengakhiri majelis Rasulullah ﷺ mengucapkan: (Mahasuci Engkau Ya Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Aku memohon ampunan dan tobat kepada-Mu).” Seorang laki-laki lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, sungguh engkau mengucapkan suatu bacaan yang tidak pernah engkau ucapkan sebelumnya!” Beliau bersabda, “Itu sebagai penebus dosa yang terjadi selama dalam majelis.”1
Dalam riwayat di atas, Abu Barzah al-Aslami meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. memiliki kebiasaan yang tidak biasa. Saat hendak bangkit meninggalkan majelis, beliau tidak serta-merta berdiri begitu saja. Melainkan membaca sebuah doa: “Subḥānaka Allāhumma wa biḥamdika, asyhadu an lā ilāha illā anta, astaghfiruka wa atūbu ilaik.”
Seorang sahabat yang hadir dalam majelis itupun bertanya, karena merasa sebelumnya Rasulullah Saw. belum pernah melakukannya. Beliau pun menjawab, “Doa itu menjadi kafarah (penebus) bagi kekurangan yang terjadi dalam majelis.”
Jawaban ini sederhana, dan Rasulullah Saw. sebagai manusia paling mulia dan paling sedikit celanya saja, tetap menutup majelisnya dengan pengakuan akan ketidaksempurnaan dan permohonan ampun. Bagaimana dengan kita manusia biasa yang penuh dosa ini?
Lewat tindakan ini, Rasulullah Saw. tidak hanya mengajarkan formula doa, tetapi juga membentuk kesadaran: bahwa dalam setiap pertemuan manusia, bahkan dalam majelis ilmu yang tampaknya mulia, tetap ada potensi kekhilafan, baik dalam lisan, sikap, atau hati. Maka sebelum majelis ditutup, perlu ada upaya untuk “menyapu bersih” noda-noda kecil yang mungkin tertinggal sebelum meninggalkannya.
Doa penutup majelis pada hadis di atas kiranya bukan sekadar ritual pelengkap. Ia adalah pengakuan jujur bahwa dalam proses berbicara, mendengar, berpikir, dan berdiskusi, manusia tidak pernah luput dari kesalahan, tentu, baik disengaja maupun tidak. Mungkin ada kata yang tidak tepat, niat yang bergeser, atau hati yang berdesir bangga tanpa sadar.
Ketika Rasulullah mengajarkan untuk membaca tasbih, tahmid, syahadat, istighfar, dan taubat di akhir majelis, -bagi penulis- beliau sedang mengajarkan adab yang besar: bahwa ilmu bukan untuk meninggikan diri, tetapi untuk merendahkan hati. Bahwa majelis ilmu, betapapun sakralnya, tetap membutuhkan pembersihan spiritual sebelum ditinggalkan.
Dengan membaca, “Subhanakaallahumma wa bihamdika…”, seorang penuntut ilmu meletakkan dirinya dalam posisi yang tepat: sebagai hamba, bukan sebagai orang berilmu. Inilah adab yang mulai langka di zaman modern, di mana sering kali ilmu hanya dikejar demi prestise, gelar, atau pengakuan. Jangankan belajar dengan guru, tidak bisa dipungkiri sekarang kita ada di zaman orang-orang banyak belajar dengan internet, alih-alih membaca dan bertanya kepada guru, justru google menjadi alat rujukan utama. Dengan itu, lalu kita berbangga berbicara tentang ilmu.
Di pesantren-pesantren, jejak adab Rasulullah ini tetap hidup hingga hari ini. Setiap kali pengajian kitab selesai, para santri tidak langsung bangkit meninggalkan majelis. Mereka tetap duduk dengan khidmat, mendengarkan sang guru mengangkat tangan, lalu serempak memanjatkan doa penutup. Ini juga masih menjadi tradisi yang langgeng di Ma’had Aly Hasyim Asy’ri tempat penulis menimba ilmu, yang sebelum dosen meninggalkan kelas, kami pasti bersama-sama membaca doa yang ada pada hadis di atas.
Bacaan seperti Kaffaratul Majlis ini selalu dilantunkan bersama, kadang dengan irama yang khas. Suasana menjadi hening, seolah seluruh santri ikut bersaksi bahwa ilmu yang baru saja dipelajari, telah dikembalikan kepada Allah dalam bentuk tasbih, tahmid, dan permohonan ampun.
Tradisi ini membentuk karakter. Sebagai santri, kami dilatih untuk memahami bahwa belajar bukan hanya soal menambah isi kepala, tetapi juga menambah kejernihan hati. Kami diajarkan bahwa ilmu harus diantarkan dengan adab, dan bahwa setiap proses menuntut ilmu mesti ditutup dengan kerendahan hati, bukan keangkuhan karena merasa tahu.
Di pesantren, belajar dimulai dengan doa (biasanya berupa bacaan Fatihah untuk pengarang kitab dan guru-guru terdahulu), lalu juga diakhiri dengan doa. Inilah sebuah pengingat sederhana tentang ilmu adalah titipan, dan tugas kita adalah mempelajarinya, dan menjaga kemuliaannya mulai dari niat hingga penutupannya.
Tradisi pada hadis yang mengajarkan doa di akhir majelis ini mengandung pesan yang tidak main-main: ilmu harus membuat kita semakin tunduk, bukan justru semakin tinggi kepala. Sepertinya, di tengah dunia yang menuntut kecepatan, kita perlu belajar untuk melambat sejenak. Menundukkan kepala, mengangkat tangan, dan mengakui bahwa belajar adalah perjalanan yang penuh ketidaksempurnaan. Bahwa bahkan di majelis ilmu, kita tetap membutuhkan ampunan. Dan dengan tradisi dalam hadis di atas, Rasulullah telah mengajarkan kita bahwa ilmu seharusnya membuat kita semakin tunduk, bukan justru semakin meninggi. Layaknya padi, yang semakin tinggi semakin menunduk.
Sebagai pengingat untuk tidak ada menyombongkan diri dalam mencari ilmu, ada hadis yang senada dengan ini:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيَصْرِفَ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ فَهُوَ فِي النَّارِ
Dari Ibnu Umar dari Nabi Saw. beliau bersabda, “Barang siapa menuntut ilmu untuk meremehkan orang-orang bodoh, atau untuk mendebat para ulama, atau untuk menarik perhatian manusia, maka ia akan masuk ke dalam neraka”.2
Maka, pendek kesimpulannya, dengan menghidupkan kembali doa di akhir pembelajaran, kita bukan hanya sedang menjaga tradisi, tapi sekaligus sedang menjaga jiwa ilmu itu sendiri: bahwa ia berasal dari Allah, dan harus kembali kepada-Nya. Ditambah dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, selain menjaga ilmu, kita juga dilarang untuk menuntut ilmu dengan tujuan yang salah seperti yang tertulis pada hadis di atas. Karena sejatinya, bukan banyaknya ilmu yang akan menyelamatkan kita, tapi keberkahannya. Dan keberkahan itu lahir dari adab; mulai dari niat, proses, hingga cara kita menutupnya.
Sekian, maturnuwun…
“Ketika ada orang bertambah ilmunya tapi tidak dibarengi dengan rasa takutnya kepada Allah, maka tidak ada manfaat di dalamnya…”
~KH. Mahfudz Ali Amari (Dosen Ma’had Aly Hasyim Asy’ari)
- Abu Dawud Sulaiman bin Asy’as As-Sijistani, Sunan Abi Dawud, no. 4859, juz 4/415 [Khadim Haramain] ↩︎
- Ibnu Majah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, no. 253, juz 1/170 [Khadim Haramain] ↩︎
Penulis: Mahasantri Semester 4 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari
Editor: Vigar Ramadhan Dano M.D.