Tulisan ini tidak lebih dari sekedar artikel ringan yang ditujukan ke, pertama, diri penulis sendiri. Kedua, para pembaca artikel ini. Untuk memulainya, saya ingin melontarkan pertanyaan yang bisa kita diskusikan kedepannya: apakah semua ilmu yang telah dipelajari itu akan bertahan lama bila tidak dituliskan? Katanya, ilmu yang hanya disimpan di kepala ibarat air yang mengalir tanpa wadah, segar sesaat, lalu hilang begitu saja. Tidak mengherankan jika para ulama dahulu menekankan pentingnya menulis. Imam al-Khatib al-Baghdadi dalam Taqyid al-‘Ilm mencatumkan salah hadis perihal“Qayyidul ‘ilma bil kitabah” (Ikatlah ilmu dengan tulisan).[1] Hadisnya:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أُقَيِّدُ الْعِلْمَ؟ قَالَ: «نَعَمْ» . قُلْتُ وَمَا تَقْيِيدُهُ، قَالَ: “الْكِتَابُ
Dari Abdullah bin ‘Amr. Ia berkata: Aku berkata: “Wahai Rasulullah, bolehkah aku mengikat (mencatat) ilmu?” Beliau menjawab: “Ya.” Aku bertanya lagi: “Apakah yang dimaksud dengan mengikatnya?” Beliau menjawab: “(Dengan) menuliskannya.”[2]
Sejak mula, Islam tidak hanya bertumpu pada hafalan, tapi juga pada tulisan. Nabi Saw. menunjuk beberapa sahabat sebagai penulis, salah satunya Zayd bin Tsabit, yang dikenal sebagai penulis wahyu. Bahkan ada sahabat yang merasa unggul dalam meriwayatkan hadis karena ia menulis. Abu Hurairah, misalnya, pernah berkata dalam sebuah riwayat di kitab Shahih Bukhari:
سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ: مَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ أَحَدٌ أَكْثَرَ حَدِيثًا عَنْهُ مني، إلا كَانَ مِنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، فَإِنَّهُ كَانَ يَكْتُبُ وَلَا أَكْتُبُ
Aku mendengar Abu Hurairah berkata: “Tidak ada seorang pun dari para sahabat Nabi Saw. yang lebih banyak meriwayatkan hadis darinya (Nabi) daripada aku, kecuali Abdullah bin ‘Amr. Sebab, ia menulis (hadis), sedangkan aku tidak menulis.”[3]
Di sini terlihat, menulis memberi kelebihan tersendiri. Abdullah bin ‘Amr sampai dikenal memiliki kumpulan catatan yang disebut al-Sahifah al-Sadiqah, semacam “buku catatan pribadi” berisi hadis-hadis langsung dari Nabi Saw. Setidaknya dari sana kita tahu, sejak generasi sahabat, menulis sudah menjadi bagian dari cara menjaga ilmu, bukan sekadar pelengkap hafalan.
Sebelum lebih jauh, saya ingin menarik ini ke ranah mahasantri, maka saya akan mengatakan bahwa ilmu yang dipelajari di Ma’had Aly, betapa pun luas dan dalamnya, akan mudah menguap bila hanya berhenti di ruang kelas atau halaqah. Ia perlu diikat, ditata, lalu dibagikan kembali. Para guru kita pernah mengingatkan, al-‘ilmu shaydun wa kitabatuhu qaydun, artinya, ilmu itu ibarat buruan, dan tulisan adalah tali pengikatnya. Tanpa ikatan itu, ilmu hanya singgah sebentar dalam ingatan, lalu hilang ditelan kesibukan sehari-hari.
Karena itu, menulis bagi mahasantri bisa menjadi sebuah kebutuhan, barangkali yang sekunder. Tradisi belajar di Ma’had Aly, yang sarat dengan kitab kuning, diskusi intensif, dan kajian hadis, akan menjadi sia-sia bila tidak melahirkan rekaman tertulis. Catatan kecil minimal, atau esai barangkali, atau dijadikan artikel populer juga bisa jadi cara sederhana agar ilmu yang dipelajari tidak berhenti sebagai konsumsi pribadi.
Lebih jauh lagi, menulis seakan membuat kita mengambil jarak dari apa yang dipejari. Mengambil ancang-ancang untuk menyusunnya dalam bahasa kita sendiri, dan menimbangnya agar menjadi pantas untuk dibaca orang lain. Di titik ini, menulis menjadi proses intelektual yang khas, semacam sedang mengikat ilmu, juga menghidupkannya.
Mari coba kita tarik bacaan ini ke konteks hari ini, dimana kita hidup di tengah arus informasi yang begitu deras. Setiap detik, layar gawai dibanjiri berita, opini, hingga konten singkat yang silih berganti. Dalam situasi seperti ini, ilmu yang tidak dicatat atau dituliskan akan lebih cepat hilang, saya yakin akan itu, lalu terkubur di antara ribuan pesan yang datang dan pergi.
Di era media sosial ini, siapa saja bisa menjadi penyampai gagasan. Siapa saja. Namun, justru di situlah tantangannya, semakin banyak suara, semakin mudah yang dangkal mengalahkan yang dalam. Budaya instan saya menyebutnya, yang lebih mementingkan kecepatan daripada kedalaman, membuat banyak orang terbiasa menerima potongan informasi tanpa sempat mencerna. Barangkali ini yang disebut fenomena yang menyebabkan diksi brain rot muncul: kondisi di mana pikiran dipenuhi cuplikan, tapi kehilangan keutuhan.
Maka, dalam konteks ini menulis menjadi bentuk perlawanan intelektual. Dengan menulis, kita menawarkan alternatif, bukan sekadar menambah deru informasi, tetapi menghadirkan wacana yang bernas, runtut, dan berakar pada tradisi keilmuan Islam. Karena barangkali, tulisan yang lahir dari kedalaman kajian di Ma’had Aly bisa menjadi penyeimbang di tengah riuh rendah jagat digital. Atau sekurang-kurangnya menjadi aksi kecil yang konkrit. Soal apakah ada impact-nya atau tidak itu hal yang lain.
Okey, kita sampai di bagian akhir. Di titik ini saya ingin menyatakan bahwa menulis, pada akhirnya bukan hanya keterampilan teknis, ini bisa menjadi amanah intelektual. Ia adalah cara seorang, yang dalam konteks ini mahasantri, menjaga ilmu yang dipelajarinya, buku yang dibacanya, pengetahuan yang didengarnya, sekaligus memberi kehidupan baru bagi tradisi ulama. Dari Nabi Saw. yang mendorong sahabat untuk mencatat, hingga para muhaddits yang menyusun kitab-kitab besar, menulis selalu menjadi jantung peradaban Islam. Oh tidak. Dunia…
Kini, tugas itu berpindah ke tangan kita. Setiap kali seorang mahasantri menulis, ia seperti sedang melanjutkan estafet panjang itu, mengikat, membaginya agar bermanfaat, dan menanamkannya kembali dalam ruang publik. Sekaligus promosi untuk para pembaca, tulisan di platform seperti Nuskha ini bukan sekadar catatan pribadi, tetapi bagian dari dakwah digital yang memperluas jejak keilmuan hingga ke pembaca yang tak pernah kita temui.
Di akhir tulisan ini, saya ingin menuliskan ungkapan dari Ali Mustafa Yaqub:
وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ كَاتِبُونَ
Oh ya, ini juga menjadi slogannya website ini, alias Nuskha. Tujuannya tentu agar kita semangat menulis. Maka, silakan kirimkan tulisan kalian ke Nuskha sekarang juga. Hehehe…
[1] al-Khatib al-Baghdadi, Taqyīd al-‘Ilm, بَابُ ذِكْرِ مَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ، صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ، أَنَّهُ قَالَ: “قَيِّدُوا الْعِلْمَ بِالْكِتَابَةِ, hlm. 69 [Ihya as-Sunnah an-Nabawiyah: Beirut] Lihat: https://app.turath.io/book/13089
[2] Ibid. hlm 68.
[3] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhari, Shahih Bukhari, no. 113, juz13/54 [Turats].










