Dewasa ini teknologi berkembang dengan sangat cepat sampai-sampai manusia pun terkadang kebingungan dan latah dalam menghadapinya. Kemajuan teknologi tanpa disertai dengan sumber daya manusia yang juga berkembang bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi dapat membantu dan memudahkan urusan bahkan memecahkan permasalahan, di sisi lain tidak jarang teknologi itu sendiri bahkan menjadi sumber permasalahan.
Beragam produk muncul dari hasil perkembangan teknologi, di antaranya adalah AI (Artificial intelligence). Seringkali AI digunakan untuk mencari sumber inspirasi atau memudahkan dalam mencari informasi. Sayangnya lebih sering lagi AI menjadi pembunuh bagi kemampuan akal manusia dalam mengkritisi. AI menjadi candu dan sumber dopamin bagi akal-akal yang malas berpikir dan mencari jawaban dari suatu permasalahan dari berbagai sumber referensi. AI menjadi rujukan untuk jawaban segala macam permasalahan, mulai dari tugas kuliah yang harus dipecahkan dan diselesaikan, solusi dari masalah dalam suatu hubungan, bahkan sampai hukum-hukum terkait syari’at dan agama yang masih dibingungkan.
“Apa hukum tidak menikah sampai mati?”
“Apa hukum menikah dengan sepupu sendiri?”
“Bagaimana status hadis ini menurut pandangan ulama?”
“Di kitab mana hadis ini dapat ditemukan?”
Dan berbagai macam pertanyaan lainnya yang seringkali diajukan. AI hadir sebagai sosok yang serba tahu dengan membawa jawaban dari segala pertanyaan, bahkan mampu mendatangkan referensi-referensi yang menguatkan jawabannya tersebut. Akal yang sudah kecanduan rasa malas pun menerima jawaban tersebut tanpa mampu mengkritisi dan membuktikan kebenaran referensi-referensi yang telah dicantumkan.
Kitab-kitab kuning pun mulai usang dan diabaikan, para ulama yang benar-benar paham agama mulai diabaikan dan dirasa tidak lagi diperlukan. AI dirasa menjadi solusi terhadap segala permasalahan dan mampu dengan tepat menjawab segala pertanyaan, AI dirasa dapat menggantikan posisi ulama-ulama yang sebenarnya tidak bisa dan tidak akan pernah bisa tergantikan.
Hukum meminta fatwa atau jawaban terhadap permasalahan agama kepada AI
Terlepas dari dampak positif dan negatif dari penggunaan AI serta segala dinamikanya, sebenarnya bagaimana hukum meminta fatwa atau jawaban dari suatu permasalahan agama kepada AI jika dikaitkan dengan tinjauan para ulama?
Syekh Abdul Malik bin Abdillah al-Juwaini dalam kitab Al-Waraqat menjelaskan bahwa di antara syarat seseorang boleh memberi fatwa adalah memahami fiqih baik dalam pokok-pokok permasalahannya maupun cabang-cabangnya, perbedaan pendapat antara ulama, dan pendapat yang dipakai di dalam madzhab. Selain itu, disyaratkan juga memahami dan menguasai segala hal yang diperlukan untuk berijtihad serta mengambil kesimpulan hukum. Mulai dari tafsir ayat sampai keterangan-keterangan hadis yang berkaitan dengan hukum-hukum syari’at.
Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam kitabnya, Al-Wajiz fi Ushulil Fiqhi menjelaskan beberapa syarat untuk menjadi seorang mufti (pemberi fatwa). Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
- Seorang mufti haruslah seorang yang paham terhadap hukum-hukum fiqih dan segala hal yang menunjangnya seperti ushul fiqih dan qoidah-qoidah fiqih.
- Seorang mufti haruslah seseorang yang bersifat ‘adalah (suatu kondisi yang mendorong pemiliknya untuk mengerjakan segala perintah dan menjauhi segala larangan serta menjaga harga diri dan ketakwaannya).
- Mengetahui kronologi dari permasalahan yang ditanyakan, mulai dari perinciannya, motif dan akibatnya.
- Mengetahui situasi dan kondisi orang yang bertanya.
- Mengetahui situasi dan kondisi budaya masyarakat sekitar, di mana kebiasaan masyarakat di daerah tersebut merupakan hal-hal yang maslahat bagi mereka.
- Mengetahui keselarasan hukum yang diputuskan dan permasalahan yang sedang terjadi.
Meninjau dari beberapa persyaratan di atas, AI sepertinya sangat tidak layak untuk dijadikan sumber rujukan fatwa. AI tidak mengetahui situasi dan kondisi dari penanya, budaya masyarakat sekitar, serta keputusan yang paling mungkin untuk mendatangkan maslahat. Meskipun terkadang jawaban yang diberikan sesuai dengan jawaban yang bisa ditemukan dalam kitab-kitab yang dapat dipercaya.
Di samping itu, Syekh Muhammad bin Abdurrahim al-Armawi juga menyatakan dalam kitabnya, Nihayatul Wushul fi Dirasatil Ushul bahwa seseorang yang tidak diketahui kepribadiannya (alim-tidaknya, ‘adalah–‘fasiqnya), maka pendapat yang dipilih adalah ketidakbolehan meminta fatwa atau jawaban dari permasalahan agama kepadanya. Sehingga, oleh karena AI bersifat anonymous (majhul al-hal), maka AI tidak layak untuk diminta fatwa atau jawaban dari permasalahan hukum agama.
AI sebagai sumber referensi hukum, bolehkah?
Setelah diambil kesimpulan bahwa AI tidak layak untuk diminta fatwa, muncul pertanyaan bagaimana jika AI hanya dijadikan sebatas sebagai sumber referensi saja?
Dalam kitab Hasyiah al-Atthor, terdapat kutipan dari Abu Ishaq al-Isfirayini yang menyatakan bahwa pada dasarnya diperbolehkan mengambil referensi hukum dari kitab-kitab yang terpercaya, baik kitab-kitab fiqih maupun hadis. Imam Thobari juga menambahkan bahwa diperbolehkan meriwayatkan hadis yang diambil dari kitab-kitab hadis shahih meskipun tidak pernah mengambil riwayat hadis tersebut secara langsung kepada seorang guru.
Namun, jika sumber yang dijadikan rujukan bukanlah sumber yang terpercaya dan bisa dijadikan pegangan, maka kitab (referensi) yang di dalamnya terdapat hal yang benar dan yang salah tersebut tidak boleh dijadikan sumber rujukan untuk mencari jawaban terhadap suatu permasalahan secara langsung. Hal tersebut disampaikan oleh Syekh Musthofa bin Sa’ad dalam kitabnya, Mathalib Ulin Nuha. Hal ini juga senada dengan pernyataan Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab Fatawa Kubro yang menyatakan bahwa tidak boleh bagi seseorang untuk berpegang kepada kitab (referensi) yang tidak diketahui siapa penulisnya (anonymous) dan tidak diketahui ‘adalah serta fasiqnya.
Berdasarkan beberapa poin di atas, dapat disimpulkan bahwa AI tidak layak untuk dijadikan sumber referensi tanpa memeriksa dan mencari langsung ke sumber aslinya. Poin-poin tersebut juga diperkuat oleh temuan penulis yang membuktikan bahwa seringkali AI mencantumkan redaksi tertentu, kemudian disandarkan kepada kitab yang dapat dipercaya, tetapi setelah dilakukan pemeriksaan ulang terhadap kitab yang disebutkan, redaksi tersebut tidak dapat ditemukan bahkan mengandung pemahaman yang sangat bertolak belakang dengan redaksi yang benar-benar ditemukan dalam kitab tersebut. Selain itu, penulis juga menemukan kasus ketika AI memberikan informasi sumber hadis tertentu yang setelah diperiksa langsung ke kitab yang disebutkan, hadis tersebut tidak dapat ditemukan.
Sebagai penutup, setelah diketahui bahwa AI tidak layak untuk diminta jawaban dan sumber referensi terhadap permasalahan agama sehingga pengetahuan yang didapat dari AI terkait urusan agama bukanlah pengetahuan yang mu’tabar (dapat diterima), penulis mengutip perkataan Ibnu Ruslan dalam kitab Zubad beliau :
و كل من بغير علم يعمل # أعماله مردودة لا تقبل
“Setiap orang yang beramal tanpa didasari pengetahuan, maka seluruh amal-amalnya ditolak dan tidak akan diterima”
| Penulis: Mahasantri Semester 2 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Editor: Mawil Hasanah Almusaddadah |
Referensi:
- Shofiyuddin Muhammad bin Abdurrahim al-Armawi, Nihayatul Wushul fi Dirasah Ilmil Ushul
- Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushulil Fiqhi
- Hasan bin Muhammad Al-Athar, Hasyiyah Atthor
- Ibnu Hajar al-Haitami, Fatawa Kubro Ibnu Hajar al-Haitami
- Ibnu Ruslan, Zubad










