Sebagai seorang Muslim, manusia senantiasa mendapat berbagai kenikmatan yang tiada henti dalam kehidupan sehari-hari. Baik kenikmatan lahiriah berupa rezeki yang dapat dilihat oleh orang lain maupun kenikmatan batiniah berupa kesehatan, ketenteraman jiwa, dan sebagainya. Cara manusia dalam menyikapi berbagai kenikmatan ini pun beragam. Tak jarang di zaman sekarang banyak orang yang menunjukkan harta atau barang yang dimiliki – yang populer disebut flexing – di media sosial dengan berkedok tahadduts bi an-ni’mah. Padahal, hakikat kewajiban seorang hamba ketika mendapatkan nikmat adalah bersyukur kepada Allah.
Salah satu sebab munculnya perbuatan flexing tersebut dikarenakan kurangnya pemahaman mengenai perbedaan antara flexing dan tahadduts bi an-ni’mah. Persamaan tipis antara flexing dan tahadduts bi an-ni’mah terletak pada tindakan menampakkan atau menceritakan kenikmatan atau harta yang dimiliki kepada orang lain. Berangkat dari persamaan ini, banyak yang beranggapan bahwa antara flexing dan tahadduts bi an-ni’mah tidak memiliki perbedaan, keduanya sama-sama bentuk syukur kepada Allah. Padahal hakikat keduanya sangat berbeda.
Tahadduts bi an-ni’mah adalah perbuatan di mana seseorang menceritakan nikmat yang telah diterimanya sebagai bentuk syukur kepada Allah dengan menyebut nama-Nya. Tujuannya agar dapat diambil hikmah bagi setiap orang yang mendengarnya. Sebagaimana definisi yang dipaparkan oleh Sayyid Husain bin ‘Ali r.a.:
هُوَ الْعَمَلُ الصَّالِحُ يَعْمَلُهُ الرَّجُلُ فَيُحَدِّثُ بِهِ إِخْوَانَهُ مِنْ أَهْلِ ثِقَاتِهِ لِيَسْتَنَّ بِهِ وَيَعْمَلَ مِثْلَهُ
“(Tahadduts bi an-ni’mah) yaitu sebuah amal yang dilakukan seseorang kemudian ia menceritakannya terhadap saudara yang dipercaya dengan tujuan agar ia mampu meniru dan melakukan hal serupa.”[1]
Sementara itu, flexing berasal dari bahasa Inggris “to flex”, yang berarti memamerkan atau menunjukkan sesuatu dengan bangga. Dalam konteks media sosial, flexing mengacu pada tindakan memamerkan kekayaan, pencapaian, atau gaya hidup mewah secara berlebihan. Adapun Urban Dictionary mendefinisikan flexing sebagai tindakan menyombongkan diri tentang hal-hal yang berhubungan dengan uang, seperti jumlah kekayaan atau barang mewah yang dimiliki.
Ibnu Qayyim rahimahullah juga menjelaskan perbedaan kedua perbuatan tersebut,
الفرقُ بين التحدُّث بنعم الله، والفخر بها: أن المتحدث بالنعمة مخبِرٌ عن صفات وليِّها ومحضِ جودهِ وإحسانه، فهو مُثْنٍ عليه بإظهارها والتحدُّث بها، شاكر له، ناشر لجميع ما أوْلاه. مقصودُه بذلك إظهارُ صفاتِ الله ومدحُه والثناءُ عليه، وبعثُ النفوسِ على الطلب منه دون غيره، وعلى محبته ورجائه، فيكون داعيًا إلى الله بإظهار نعمِه ونشرِها والتحدُّثِ بها. وأما الفخر بالنعم، فهو أن يستطيل بها على الناس، ويُريهم أنه أعزُّ منهم وأكبر، فيركبُ أعناقهم، ويستعبدُ قلوبهم ويستميلُها إليه بالتعظيم والخدمة. قال النعمان بن بشير: إنَّ للشيطان مصاليَ وفخوخًا. وإنَّ من مصاليه وفخوخهِ البطشَ بنعم الله، والكبرَ على عباد الله، والفخرَ بعطيَّةِ الله، والهونَ في غير ذات الله. [2]
“Perbedaan antara menyebutkan nikmat Allah (tahadduts bi an-ni’mah) dengan sombong (merasa bangga dengan nikmat) adalah orang yang menyebutkan suatu nikmat, berarti telah mengabarkan tentang sifat Dzat yang menganugerahkan nikmat tersebut, kedermawanan, dan perbuatan baik-Nya. Maka, ia hakikatnya memuji Allah dengan menampakkan dan menyebutkan nikmat tersebut, bersyukur kepada-Nya, dan menyebarkan kabar tentang seluruh anugerah-Nya. Jadi, maksudnya adalah menampakkan sifat-sifat Allah, memuji, menyanjung-Nya (atas limpahan nikmat tersebut), mendorong diri untuk mencari nikmat tersebut dari-Nya, bukan dari selain-Nya, serta mendorong diri untuk mencintai dan mengharap-Nya. Sehingga dengan demikian, ia menjadi sosok hamba yang mengharap lagi tunduk mendekatkan diri kepada Allah dengan menampakkan, menyebarkan kabar tentang nikmat-Nya tersebut dan membicarakannya. Adapun membanggakan nikmat yaitu menyombongkan diri di hadapan manusia, menampakkan kepada mereka bahwa ia lebih mulia dan lebih besar keutamaannya dari mereka, ia hendak menunggangi tengkuk (baca: merendahkan) dan memperbudak hati mereka, serta memaksa mereka untuk menghormati dan melayaninya.” (Kitab Ar-Ruh, Ibnu Qoyyim, hal. 312).
Dari pemaparan di atas sudah sangat jelas bahwa keduanya adalah perbuatan yang berbeda, baik dari sisi niat maupun tujuan. Tahadduts bi an-ni’mah berpusat pada Allah dan bertujuan mengagungkan-Nya, sedangkan flexing berpusat pada diri sendiri yang sering kali menimbulkan kesombongan, riya’, serta dapat membuat orang lain iri atau sedih.
Pada akhirnya, seorang hamba yang menyebutkan nikmat Allah sesuai dengan apa yang disyari’atkan, lalu manusia memujinya sehingga ia terkesan/senang dengan pujian tersebut, namun dalam hatinya tidak ada keinginan riya` dan sum’ah, maka itu termasuk kabar gembira (janji pahala, ridha, ampunan, surga, dan rahmat-Nya) yang disegerakan bagi seorang mukmin. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat Abi Dzar r.a. beliau berkata,
قيل: يا رسول الله، أرأيت الرجل يعمل العمل من الخير، ويحمَده أو يحبه الناس عليه؟ قال: تلك عاجل بشرى المؤمن. رواه مسلم.[3]
“Ada yang berkata, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana pandangan Anda seseorang yang beramal dengan suatu amal kebaikan, lalu manusia memujinya atau mencintainya? Beliau bersabda (Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin).” (HR. Muslim: 2642)
Semoga kita senantiasa menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur atas nikmat yang dianugerahkan tanpa henti, dengan cara yang telah dituntunkan dalam Islam, aamiin.
[1] Abu al-Hajjaj, Tafsir Mujahid, vol. I hlm. 735, cet. Dar al-Fikr
[2] الروح – ابن القيم – ط عطاءات العلم – ابن القيم (٢ / ٦٩٤)
[3] Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, no. 2642.
Editor: Mawil Hasanah Almusaddadah









