Proses pengonsepan ketentuan-ketentuan syari’at dalam agama Islam yang berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun, dan datangnya teks-teks agama yang tidak bisa dipisahkan dari konteks-konteksnya terkadang menyebabkan munculnya pandangan adanya pertentangan salah satu teks agama baik yang bersumber dari Al-Qur’an maupun hadis dengan teks yang lainnya. Dalam konteks hadis Nabi, ketika hal tersebut terjadi para ulama telah merumuskan konsep untuk menyikapi pertentangan lahiriah antara teks-teks tersebut sebagai berikut :
- Jika memungkinkan untuk mengompromikan antara dua teks yang seolah bertentangan tersebut, maka langkah kompromi harus diterapkan.
- Jika tidak memungkinkan untuk dikompromikan dan dapat diketahui kejadian dari hadis yang mana yang lebih dulu dan yang terjadi belakangan, maka hadis yang datang belakangan meralat hukum dari hadis yang lebih dulu.
- Jika tidak memungkinkan untuk dikompromikan dan tidak diketahui mana yang kejadiannya lebih dulu dan mana yang terjadi belakangan, maka kedua hadis tersebut dibandingkan keshahihannya. Hadis yang dianggap lebih shahih dipakai, dan hadis yang lemah ditinggalkan.
- Jika langkah-langkah yang sudah disebutkan sebelumnya tidak mungkin untuk diterapkan (hal ini sangat jarang terjadi), maka hadis-hadis yang bertentangan tersebut tidak bisa dipakai sampai terdapat indikasi yang menunjukkan mana hadis yang lebih kuat.
Salah satu contoh dari hadis yang secara lahiriah terlihat bertentangan adalah hadis tentang sikap seorang makmum ketika imamnya shalat dalam posisi duduk dan tidak mampu berdiri.
Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari beliau meriwayatkan dari guru beliau Abdullah bin Yusuf melalui Imam Malik bin Anas dengan sanad beliau dalam kitab Muwattho yang sampai kepada Sayyidah Aisyah r.a. :
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ المُؤْمِنِينَ، أَنَّهَا قَالَتْ: صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِهِ وَهُوَ شَاكٍ، فَصَلَّى جَالِسًا وَصَلَّى وَرَاءَهُ قَوْمٌ قِيَامًا، فَأَشَارَ إِلَيْهِمْ أَنِ اجْلِسُوا، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ: «إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا رَكَعَ، فَارْكَعُوا وَإِذَا رَفَعَ، فَارْفَعُوا، وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا» (أخرجه البخاري:688)
Dalam hadis tersebut diterangkan bahwa Rasulullah saw. shalat di rumah beliau dalam keadaan sakit (dalam hadis yang lain diterangkan bahwa betis beliau terluka karena jatuh dari kuda) dengan posisi duduk sedangkan para sahabat shalat dengan posisi berdiri di belakang beliau. Kemudian Rasulullah saw. mengisyaratkan kepada para sahabat agar shalat dengan posisi duduk pula, dan bersabda selepas shalat, “Seseorang dijadikan imam untuk diikuti. Apabila dia ruku’ maka ruku’lah kalian semua. Apabila dia bangun dari ruku’ maka bangunlah kalian semua. Apabila dia shalat dalam posisi duduk, maka shalatlah kalian semua dalam posisi duduk.”
Dari hadis di atas, dapat diambil kesimpulan hukum bahwa apabila imam shalat dengan posisi duduk, maka makmum pun juga harus shalat dalam posisi duduk.
Namun, hadis tersebut dianggap bertentangan dengan hadis riwayat Imam Malik dalam kitab Muwattho yang juga disebutkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya terkait sebuah cerita masyhur tentang perintah Rasulullah saw. kepada Sahabat Abu Bakar untuk mengimami para jama’ah ketika beliau sakit di akhir hayatnya :
وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ خَرَجَ فِي مَرَضِهِ. فَأَتَى فَوَجَدَ أَبَا بَكْرٍ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي بِالنَّاسِ، فَاسْتَأْخَرَ أَبُو بَكْرٍ. «فَأَشَارَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَنْ كَمَا أَنْتَ». فَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِلَى جَنْبِ أَبِي بَكْرٍ. فَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَهُوَ جَالِسٌ، وَكَانَ النَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ أَبِي بَكْرٍ (أخرجه مالك: 448/ 138)
Hadis tersebut adalah cerita ringkas dari kejadian di akhir hayat Rasulullah saw. ketika beliau sakit. Saat Rasulullah saw. merasa tidak mampu untuk mengimami shalat para sahabat, beliau memerintahkan Sahabat Abu Bakar r.a. untuk mengimami mereka. Kemudian, Rasulullah saw. merasa mampu untuk keluar shalat bersama sahabat Abu Bakar r.a. yang melihat Rasulullah saw. keluar pun lalu mundur sedikit dari posisi beliau untuk mempersilahkan Rasulullah saw. menjadi imam. Manakala Rasulullah saw. melihat respons Sahabat Abu Bakar r.a. tersebut, beliau mengisyaratkan kepada Sahabat Abu Bakar r.a. agar tetap berada di posisinya. Rasulullah saw. pun shalat dengan posisi duduk di samping Sahabat Abu Bakar r.a., sehingga pada waktu itu para sahabat yang lain mengikuti shalatnya Sahabat Abu Bakar r.a., dan Sahabat Abu Bakar r.a. mengikut kepada shalatnya Rasulullah saw.
Dari hadis ini dapat dipetik beberapa kesimpulan hukum, di antaranya kesimpulan yang bertentangan dengan kesimpulan hukum dari hadis sebelumnya. Dalam hadis ini diambil kesimpulan bahwa ketika imam shalat dengan posisi duduk dan tidak mampu berdiri (dalam kasus ini adalah Rasulullah saw.) maka makmum boleh shalat dengan posisi berdiri (dalam kasus ini Sahabat Abu Bakar r.a.).
Dengan memperhatikan konsep dalam menyikapi hadis yang bertentangan seperti sudah disebutkan sebelumnya, meninjau bahwa hadis yang kedua terjadi di akhir hayat Rasulullah saw. dan hadis pertama terjadi sebelumnya, maka kebanyakan fuqoha berpendapat bahwa hadis yang kedua menasakh (mengubah) hukum yang disimpulkan dari hadis pertama. Dengan demikian disimpulkan bahwa ketika imam shalat mengimami dengan posisi duduk dan tidak mampu berdiri, maka makmum boleh shalat dalam posisi berdiri. Hal ini juga disebutkan oleh imam Bukhari pada salah satu tajuk judul hadis-hadis beliau dalam kitab Shahih Bukhari Imam Bukhari yang menerangkan bahwa guru beliau, Al-Humaidiy menerangkan bahwa hadis yang pertama terjadi pada waktu sakitnya Rasulullah saw. yang sudah lama, sedangkan kejadian pada hadis kedua terjadi di akhir hayat Rasulullah saw. Pada waktu itu, beliau tidak memerintahkan Sahabat Abu Bakar r.a. yang shalat di belakang beliau untuk duduk. Dan yang diterapkan dari pekerjaan Rasulullah saw. sebagai sumber hukum adalah yang terjadi paling akhir.
Namun, As-Sindi berkomentar ketika memberikan keterangan terhadap hadis pertama dengan beberapa kritik sebagai berikut :
- Pada sebagian riwayat tidak disebutkan secara gamblang bahwa Sahabat Abu Bakar r.a. mengikuti shalatnya Rasulullah saw., sehingga mungkin saja sebenarnya imam shalat tersebut hanya Sahabat Abu Bakar r.a. saja. Dan mungkin juga bahwa imam shalat tersebut memang Rasulullah saw. dan Sahabat Abu Bakar r.a. berdiri untuk memperdengarkan takbir Rasulullah saw. kepada para jama’ah yang lain. Atau mungkin juga Sahabat Abu Bakar r.a. berdiri untuk menjaga dan mengawasi keadaan Rasulullah saw. Meskipun dalam riwayat hadis yang lain sebagaimana yang dicantumkan oleh penulis dari riwayat Imam Malik secara gamblang menyatakan bahwa Sahabat Abu Bakar r.a. mengikut shalatnya Rasulullah saw. As-Sindi menambahkan bahwa perbedaan periwayatan dalam cerita hadis tersebut menyebabkan hadis tersebut dihukumi mudhtorib (terdapat perbedaan kesimpulan yang tidak dapat dikompromikan), sehingga tidak layak menjadikan hadis ini sebagai penasakh hadis shahih terkait perintah shalatnya makmum dengan posisi duduk ketika imam shalat dengan posisi duduk yang keshahihannya sudah tidak diragukan.
- Tidak bisa dikatakan bahwa perbedaan riwayat seperti diterangkan dalam poin pertama terjadi karena ada beberapa kejadian serupa, sehingga masing-masing riwayat menceritakan tentang kejadian yang berbeda. Argumentasi seperti itu digunakan untuk menolak adanya nasakh, bukan untuk menyatakan adanya nasakh.
- Menguatkan poin kedua, merujuk kepada pernyataan Sayyidah Aisyah r.a. tentang kejadian tersebut “sebagian orang menyangka Sahabat Abu Bakar r.a. yang di depan. Sebagian yang lain menyangka Rasulullah saw. yang di depan” mengindikasikan bahwa perbedaan pandangan tersebut merujuk kepada satu kejadian yang sama. Dan hal tersebut lumrah terjadi di masa-masa dukacita.
- Redaksi dalam riwayat hanya menunjukkan bahwa Sahabat Abu Bakar r.a. shalat berdiri, dan tidak ada yang menunjukkan bahwa sahabat yang lain pun juga shalat berdiri. Juga sangat memungkinkan berdirinya sahabat Abu Bakar karena alasan-alasan yang sudah disebutkan sebelumnya.
Dan masih ada beberapa alasan lain yang disebutkan oleh As-Sindi dalam hasyiyah beliau dalam mengkritik status nasakh hadis yang menunjukkan kewajiban seorang imam shalat dengan posisi duduk apabila imam shalat duduk tersebut. Dapat disimpulkan, kritik beliau berpusat pada “tidak ada riwayat hadis yang kuat yang memungkinkan menasakh hadis pertama tentang kewajiban shalat makmum dengan posisi duduk serta tidak terpenuhinya ketentuan-ketentuan hadis kedua menasakh hadis pertama” di samping itu, beliau juga meninjau jelasnya konsep hukum asal yang tidak bisa dihapuskan hanya dengan kemungkinan-kemungkinan dan asumsi-asumsi.
Berikut penulis sajikan mengenai pendapat imam 4 madzhab terkait hukum seorang makmum yang berjama’ah dengan imam yang shalat duduk :
- Hanafiyyah: ketika imam shalat dengan posisi duduk, makmum shalat dengan posisi berdiri. Berlandaskan bahwa di akhir hayat Rasulullah saw. yang mana beliau menjadi imam dengan posisi duduk sedangkan para sahabat shalat berdiri.
- Malikiyyah: seseorang yang mampu untuk berdiri tidak boleh menjadi makmum bagi imam yang shalat duduk.
- Hanabilah: seseorang yang mampu berdiri boleh shalat mengikut imam yang shalat dengan posisi duduk jika memenuhi dua syarat: Imam tersebut adalah imam rutin di daerah tersebut; sakitnya imam tersebut masih bisa diharapkan sembuhnya. Jika syarat tersebut terpenuhi, maka makmum yang masih mampu berdiri boleh mengikuti imam yang shalat duduk dengan catatan mereka juga shalat dengan posisi duduk.
- Syafi’iyyah: sama dengan madzhab Hanafiyyah, seorang yang mampu berdiri boleh mengikuti shalatnya imam yang shalat dengan posisi duduk.
Editor: Mawil Hasanah Alm
Referensi :
Taysir Mustholah Hadis, Mahmud Thohhan
Shahih Bukhari, Muhammad bin Isma’il al-Bukhari
Muwattho, Malik bin Anas
Hasyiyah as-Sindi, Muhammad bin Abdul Hadi as-Sindi
Al-Fiqhu al-Islamiy wa Adillatuh, Wahbah az-Zuhaili
Addurrul Mukhtar, ‘Alauddin al-Hashkafi
Hasyiyah as-Showi ‘ala Syarhi al-Shogir, Ahmad as-Showi
Kassyaf al-Qonna’, al-Bahuti
Al-Mughni, ibnu Qudamah
I’anatutholibin, Abu Bakar Syatho










