Kembali ada hal yang menarik dari kajian kitab Sunan An-Nasai kali ini, penulis sebagai santri serasa mendapatkan ilham dari surgawi ketika mendengarkan pencerahan mengenai bab wakaf. Sering kali, pembahasan mengenai wakaf berhenti pada contoh-contoh yang bersifat ibadah murni. Itu terlihat jelas ketika dosen penulis menanyai penulis dan teman-temannya satu persatu tentang apa saja bentuk wakaf, lalu hampir semuanya menjawab dengan satu jawaban: membangun masjid, menyediakan tanah untuk mushalla, atau bentuk serupa. Jawaban tersebut sebenarnya benar, tetapi menurut beliau, itu terlalu menyempitkan makna wakaf pada wilayah ubudiyah saja. Padahal, dalam tradisi fikih, wakaf memiliki ruang yang jauh lebih luas dan tidak selalu berkaitan langsung dengan sarana ibadah.
Hadis Nabi ﷺ tentang tanah yang beliau tinggalkan sebagai wakaf memberikan gambaran yang sangat menarik. Amr bin Harits menyebutkan:
مَا تَرَكَ إِلَّا بَغْلَتَهُ الشَّهْبَاءَ وَسِلَاحَهُ وَأَرْضًا تَرَكَهَا صَدَقَةً
“Beliau tidak meninggalkan apa pun kecuali baghalnya yang berwarna keabu-abuan, senjatanya, dan sebidang tanah yang beliau jadikan sedekah (wakaf).” (HR. Nasa’i: 3540)
Menurut pemikiran guru penulis, Jika diperhatikan, Nabi ﷺ tidak mewakafkan masjid, tetapi justru aset yang bersifat produktif. Tanah itu tidak hilang manfaatnya seiring waktu; ia bisa ditanami, dikelola, disewakan, atau dipakai untuk berbagai kebutuhan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa wakaf secara konsep memang bukan hanya “penyediaan tempat ibadah”, tetapi juga “penguatan ekonomi sosial”.
Di sinilah letak kekurangan anggapan dan jawaban kita selama ini: kita hanya melihat wakaf sebagai amal ubudiyah, padahal ia merupakan sedekah jariyah dengan jangkauan manfaat yang luas. Apa yang kita pahami di kelas hanyalah satu sisi, sedangkan sisi yang lainnya yang lebih strategis dan lebih berdampak sering luput dari perhatian.
Pemikiran ekonomi Islam modern[1], khususnya yang diperkenalkan oleh M.A. Mannan sangat membantu memahami aspek yang terlupakan ini. Mannan menekankan bahwa wakaf memiliki potensi sebagai instrumen ekonomi jangka panjang, sesuatu yang dapat menghidupkan sektor pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Menurutnya, banyak aset wakaf selama ini yang tidak dimanfaatkan karena dikelola secara tradisional atau hanya dianggap sebagai simbol keagamaan, bukan sebagai economic engine umat. Ia bahkan mengusulkan model lembaga keuangan yang menjadikan wakaf sebagai basis yang manfaatnya dapat menjangkau berbagai lapisan masyarakat.
Jika gagasan Mannan disandingkan dengan praktik Rasulullah ﷺ dalam hadis di atas, terlihat bahwa apa yang dilakukan Nabi sebenarnya sangat modern: beliau mewakafkan aset tetap yang nilai ekonominya terus bekerja. Tanah itu menjadi sumber manfaat tanpa menghilangkan pokoknya. Dari prinsip itulah lahir berbagai bentuk wakaf produktif masa kini: wakaf tanah untuk sekolah, klinik, pasar, pertanian, bahkan wakaf tunai yang bisa diputar kembali dalam kegiatan ekonomi masyarakat.
Pengalaman sederhana di ruang kelas, yang hanya menghasilkan jawaban “membangun masjid”, menjadi pintu masuk untuk melihat betapa pentingnya memperluas cara pandang terhadap wakaf. Ia bukan hanya ibadah, bukan hanya amal sosial, tetapi juga mekanisme ekonomi yang mendorong kemandirian umat. Semakin hal ini disadari, semakin besar kemungkinan wakaf dapat berfungsi sebagaimana mestinya: bukan hanya bentuk kebaikan yang bentuknya pasif dan diam, tetapi sumber manfaat yang terus bergerak dan hidup juga memberikan kemanfaatan yang lebih luas bagi umat Islam.
Guru penulis juga menambahkan perbedaan antara wakaf dan sedekah biasa yang terletak pada sifat kejariyahannya. Umumnya, sedekah biasa selesai manfaatnya pada saat diberikan, sementara wakaf bekerja dengan cara menahan pokok harta agar manfaatnya terus mengalir sepanjang waktu. Karena itu, guru penulis selalu menegaskan bahwa wakaf merupakan sedekah jariyah, sedangkan tidak semua sedekah dapat berstatus jariyah.
Dalam konteks ini, pemikiran M.A. Mannan memberikan penguatan yang sangat penting. Mannan menilai bahwa sifat kejariyahan wakaf bukan hanya aspek ibadah, tetapi merupakan fondasi bagi terbentuknya apa yang ia sebut sebagai continuing socio-economic benefit.[2] Bagi Mannan, wakaf adalah model pemberdayaan yang menjaga keberlangsungan nilai pokok sekaligus menghasilkan manfaat yang terdistribusi secara luas dan berulang. Karena itu, ia menekankan bahwa wakaf tidak boleh dipahami hanya sebatas pemberian harta untuk keperluan ibadah, tetapi juga sebagai modal sosial yang dapat diolah menjadi kekuatan ekonomi jangka panjang.
Menurut Mannan, pemaknaan wakaf secara luas ini sangat penting untuk mengatasi stagnasi aset wakaf yang selama ini banyak menganggur. Jika masyarakat memahami bahwa wakaf dapat berbentuk tanah produktif, aset usaha, bahkan dana tunai yang dikelola secara profesional, maka wakaf bisa menjadi instrumen pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Bagi penulis, gagasan ini merupakan wawasan baru yang cukup kompleks mengenai batasan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai wakaf. Cara pandang yang lebih luas ini memungkinkan kita memahami wakaf secara utuh menggabungkan unsur ibadah, sosial, dan ekonomi. Cara pandang itulah yang dapat membuat masyarakat dapat melihat potensi wakaf tidak hanya sebagai amal spiritual, tetapi juga sebagai mekanisme penggerak kesejahteraan kolektif.
Dengan demikian, memahami wakaf memerlukan pandangan yang utuh: sisi ibadahnya tetap ada, sisi sosialnya tidak boleh diabaikan, dan sisi ekonominya harus diberi perhatian serius. Dalam konteks itu, hadis tentang wakaf Nabi ﷺ dan pemikiran Mannan bukanlah dua hal yang terpisah, tetapi saling menjelaskan, saling menguatkan, dan sama-sama menunjukkan bahwa wakaf adalah salah satu ajaran Islam yang paling siap menjadi penggerak pembangunan masyarakat.
[1] Arinal Nasir, Hanafi Nur Zain, Rafi Kenny Akhdan, dan Lina Marlina, “Wakaf Produktif dalam Ekonomi Islam: Analisis Pemikiran Muhammad Abdul Mannan dan Implementasinya pada Pembangunan Berkelanjutan,” Journal of Islamic Economics and Finance 3, no. 2 (2025): [212-215)
[2] Arinal Nasir, Hanafi Nur Zain, Rafi Kenny Akhdan, dan Lina Marlina, “Wakaf Produktif dalam Ekonomi Islam: Analisis Pemikiran Muhammad Abdul Mannan dan Implementasinya pada Pembangunan Berkelanjutan,” Journal of Islamic Economics and Finance 3, no. 2 (2025): [210-211)
Editor: Mawil Hasanah Almusaddadah









