Penulis : Ilham Zihaq
Telah maklum, bahwasanya pandangan resmi keagamaan NU itu lahir dari musyawarah, atau yang biasa kita sebut dengan Bahsul Masail. Di NU sendiri banyak kegiatan Bahsul Masail, entah itu di tingkat pusat, wilayah, cabang, hingga anak ranting. Semua ada kegiatan Bahsul Masail. Namun yang jelas, hasil Bahsul Masail di tingkat Muktamar NU lebih mencerminkan pandangan resmi organisasi NU.
Diantara problematika yang menarik hingga dimusyawarahkan dalam Bahsul Masail di Muktamar NU adalah permasalahan Hisab atau perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah. Dan isu ini selalu hangat menjelang isbat awal bulan Ramadhan dan Syawal. Selain metode hisab dalam menentukan awal bulan, dalam Islam juga dikenal metode rukyah atau aktivitas mengamati visibilitas hilal (bulan), penampakan bulan sabit yang tampak pertama kali setelah terjadinya ijtima’.
Hal ini sudah dibahas oleh ulama’ salafan wa kholafan. Dan tentu ada perbedaan pendapat. Namun yang menjadi problematika adalah apakah metode hisab bisa/boleh dijadikan landasan isbat awal Ramadhan dengan mengajak masyarakat umum? Problematika ini sudah telah dibahas dalam muktamar NU Ke XX di Surabaya pada tanggal 10-15 Muharram 1374 atau 8-13 September 1954 M.
سؤال:
ماحكم اعلان أول رمضان أو شوال على عموم المسلمين بالحساب للحاسب أو من صدقہ ، قبل إثبات الحاكم، وقبل إعلان وزارة الدينية هل هو جائز أولا؟ ( فرع بايواغی)
“Bagaimana hukumnya mengumumkan awal Ramadhan atau awal syawal untuk umum dengan hisab atau orang yang mempercayainya sebelum ada penetapan hakim atau pengumuman dari Departemen Agama ? Bolehkah atau tidak ?” (NU Cab. Banyuwangi).
جواب:
إن إثبات أول رمضان أو شوال بالحساب لايوجد من الأحاديث أو الآثار شيء. وإن رسول الله صلى الله علیہ وسلم ومن بعده من الخلفاء الراشدين لايثبتونه بالحساب، وإن أول من أجاز الإثبات بالحساب هو مطرف شيخ الإمام البخاري . وأما إعلان ثبوت رمضان أو شوال قبل إعلان وزارة الدينية الذي يؤدي إلى الإختلاف والتخاصم من بين مصدق ومكذب من المسلمين فقرر المؤتمر بعدم الجواز دفعا للمفسدة فينبغي بل يجب على الحكومة (الوزارة الدينية) منعه.اهـ
“Jawab : sesungguhnya mengkhabarkan tetapnya awal Ramadhan atau awal Syawwal dengan hisab itu tidak terdapat pada zaman Rasulullah dan Khulafaur Rosyiddin. Sedang ulama pertama yang memperbolehkan “isbat” dengan hisab ialah Imam Muththorif guru Imam Bukhori. Adapun mengumumkan tetapnya awal Ramadhan/Syawwal berdasarkan hisab sebelum ada penetapan/siaran dari Departemen Agama, maka mu’tamar memutuskan tidak boleh, sebab untuk mengantisipasi terjadinya ada perbedaan yang mengakibatkan permusuhan dalam kalangan ummat Islam. Dan mu’tamar mengharap kepada pemerintah supaya melarangnya“.
Di sini ada koreksi, sebab ada typo (sabqu qolam). Bahwasanya Imam Muthorrif hanya memperbolehkan dengan hisab, bukan “isbat” dengan hisab.
وهذا سبق قلم. ولعله: إن أول من أجاز الصوم بالحساب؛ كما في الأصل. فإني سمعت من فم شيخنا المرحوم محمد هاشم أشعري قال في المجمع: “إن (لعله: أول من) أجاز صوم رمضان بالحساب الإمام مطرف شيخ البخاري؛ لا من أجاز إثبات رمضان، وإني إلى الأن ما وجدت أحدا من فقهاء الشافعية أجاز إثبات صوم رمضان بالحساب”.
“Saya (kemungkinan, KH. Mahfudz Anwar) mendengar langsung dari lathi-nya (bhs Jawa untuk mulut) Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari yang disampaikan dalam satu perkumpulan (Majma’): “Sesungguhnya ulama yang pertama kali memperbolehkan puasa romadhon dengan metode hisab adalah Imam Muthorrif, -dia adalah gurunya Imam Bukhori-. Dan Imam Muthrif bukan yang memperbolehkan “isbat” Ramadhan dengan hisab. Dan saya (Hadratussyaikh) sampai sekarang belum menemukan seseorang dari fuqoha syafii yang memperbolehkan “itsbat” puasa romadlon dengan metode hisab“.
Siapakah Imam Muthorrif? Beliau memiliki nama lengkap Muthorrif bin Abdillah bin Syakir al-‘Amiri. Beliau termasuk Kibar Tabi’in yang lahir di zaman Rasulullah. Guru dari Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud dan lainnya.
Isbat adalah Hak Pemerintah
Ada kisah menarik, mengutip Kiai Yusuf Suharto, bahwa Kiai Hasyim pernah beda pendapat dengan menantunya yang ahli falak, Kiai Ma’sum Ali. Ketika itu Kiai Hasyim menegur sang menantu,
“Soal keyakinan itu hanya bisa dipakai untuk diri sendiri, dan tabuh bedug itu artinya sudah mengajak dan mengumumkan kepada masyarakat, itu bukan hakmu. Untuk mengumumkan kepastian Idul Fitri itu haknya pemerintah yang sah,” tutur Kiai Hasyim.
Barang kali pendirian Kiai Hasyim Asy’ari ini yang kemudian ditetapkan secara formal dalam Muktamar ke XX di Surabaya ini. Menetapkan bahwa hak isbat (penetapan awal Ramadhan dan Syawal) diserahkan kepada pemerintah sebagai Waliyul Amri (Wali Negeri alias Pemerintah). Agar apa? Agar tidak adanya perbedaan yang menyebabkan permusuhan dan pertikaian, serta bersatu umat Islam. Dan muktamar juga memutuskan Pemerintah selaku Waliyul Amri melarang dan mencegah adanya perbedaan.
Hal ini sejalan dengan tulisan Hadratussyaikh KH Hasyim yang berjudul (التهنئة بالعيد ووداع شهر رمضان) yang dimuat dalam Majalah NU edisi No. 2 Th. ke 8, 23 Ramadlan 1357 / 15 November 1938 M. Tertulis dalamnya,
فنرجوا غاية الرجاء من اهل جمعيتنا نهضة العلماء ان يحافظوا على ما يحصل به اجتماع قلوبهم وان يتباعدوا عما يقع به بينهم التنازع الذي هو ذريعة الفشل وذهاب الريح والقوة المنهي عنه بقوله سبحانه وتعالى: ولاتنازعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم، وحينئذ تقوى شوكتهم و تحصل النتيجة من انتهاضهم وهي القيام بالامر بالمعروف والنهي عن المنكر.
“Jadi kami (Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari) sangat mengaharap kepada anggota Jamiyyah NU untuk selalu melestarikan hal-hal yang menyebabkan menyatukan hati mereka, serta menjauhi hal-hal yang menyebabkan pertikaian atau konflik, hal itu akan membawa kegagalan, hilangnya wibawa, dan kekuatan. Sesuai dengan firman Allah: “Dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang“.
Jika hal ini dilaksanakan maka kekuatan NU akan tampak, sehingga hal ini memudahkan untuk Amar Ma’ruf Nahi Munkar.