Ekologis adalah ilmu tentang hubungan timbang balik antara makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya dan konsep sentral dalam ekologi ini merupakan ekosistem di mana suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik manusia dan lingkungannya.1 Dalam sejarah umat manusia pun, selama ribuan tahun, tercatat bahwa manusia hidup berdampingan dengan alam secara lebih seimbang ketimbang hari ini.
Namun segalanya berubah drastis ketika revolusi industri meletus pada abad ke-18. Mesin-mesin bertenaga uap, kemudian listrik serta bahan bakar fosil, memungkinkan produksi massal tanpa henti. Dunia berubah cepat, manusia tidak lagi sekadar mengambil dari alam secukupnya, tapi mengekstraknya secara masif. Yuval Noah Harari, dalam karya terkenalnya Sapiens, menyoroti bahwa sejak revolusi inilah alam mulai diperlakukan sebagai “sumber daya” semata, bukan lagi sebagai rumah yang harus dijaga. Hutan digunduli, udara dikotori, laut dipenuhi limbah. Alam yang dulu menjadi ibu, kini dijadikan objek eksploitasi.
Namun jauh sebelum manusia modern menyadari kerusakan ini, Nabi saw. telah memberi pesan-pesan ekologis yang dalam. Dalam hadis-hadisnya yang sederhana tapi mendalam, tersimpan prinsip-prinsip ekologis yang jika dihidupkan kembali, bisa menjadi cahaya di tengah krisis lingkungan global. Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Anas, Nabi saw. bersabda:
سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ ،فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ
“Anas bin Malik mendengar dari Rasulullah, Jika terjadi hari kiamat sedang salah seorang dari kalian mempunyai bibit kurma, jika mampu hendaklah jangan berdiri sampai dia menanamnya.” (HR. Ahmad: 13181)2
Bayangkan, bahkan di saat dunia akan berakhir, Nabi saw. masih menganjurkan penanaman pohon. Ini bukan hanya tentang bertanam, tapi tentang keberlanjutan. Hadis ini menunjukkan bahwa setiap tindakan menjaga lingkungan tetap bermakna, meskipun hasilnya tidak kita nikmati sendiri. Dalam dunia modern yang sering berpikir jangka pendek dan pragmatis juga berorientasi keuntungan, sedangkan hadis ini mengajak untuk bertindak demi masa depan, bukan demi laba. Ia mengajarkan bahwa menyumbang kehidupan bagi bumi adalah ibadah, bukan investasi semata.
Lanjut ke hadis lain, ketika Nabi saw. menerangkan larangan menyakiti hewan yang penulis ambil pemahaman sebagai relasi manusia -bukan hanya dengan alam- melainkan dengan makhluk hidup lain. Sebelum itu, dalam pandangan Yuval Noah Harari, salah satu akibat paling drastis dari revolusi industri bukan hanya terhadap hutan dan udara, tapi juga terhadap makhluk hidup lain, terutama hewan. Dalam buku Homo Deus, ia menyebut bahwa hewan-hewan menjadi korban terbesar dari sistem produksi manusia modern. Mereka dijadikan komoditas, dikurung, disuntik, dan dipaksa hidup dalam kondisi yang sama sekali tak alami demi efisiensi produksi daging, susu, atau tenaga. Harari bahkan menyebut peternakan industri sebagai salah satu “tragedi etis terbesar dalam sejarah manusia.”
Apa yang dikritik Harari ini sejatinya sudah diantisipasi oleh ajaran Nabi saw. lebih dari 14 abad silam. Dalam suatu hadis:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عُذِّبَتْ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ حَبَسَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ جُوعًا فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ
“Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiallahu’anhuma bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Ada seorang wanita disiksa disebabkan mengurung seekor kucing hingga mati kelaparan lalu wanita itu pun masuk neraka.” (HR. Bukhari: 2365)3
Kisah ini sederhana, tetapi dampaknya luar biasa. Ia menunjukkan bahwa Islam memandang perlakuan manusia terhadap hewan sebagai cermin akhlak dan keimanan. Hewan bukan hanya pelengkap hidup manusia, tetapi makhluk yang memiliki hak untuk hidup, makan, dan diperlakukan dengan welas asih. Dalam hadis lain, Nabi saw. bahkan memerintahkan agar alat penyembelihan diasah agar tidak menyakiti hewan secara berlebihan ketika disembelih. Maka, di tengah dunia yang terus memperluas industri hewani, hadis ini menjadi pengingat: kemajuan tidak boleh dibangun di atas penderitaan makhluk lain. Sebab kasih sayang Nabi bukan hanya untuk manusia, tapi juga untuk makhluk tak bersuara.
Pada sisi lain, krisis lingkungan tidak selalu datang dalam bentuk besar seperti deforestasi atau polusi industri. Kadang, ia hadir dalam kebiasaan kecil manusia yang tampak sepele tapi dilakukan terus-menerus: menyia-nyiakan air saat mandi, membiarkan keran terbuka saat menyikat gigi, atau memakai lebih dari yang dibutuhkan hanya karena “tersedia.” Dunia modern membentuk manusia menjadi konsumen, bukan penjaga. Bahkan untuk hal sesederhana seperti air, yang dulu dianggap sakral, kini diperlakukan seperti barang tak berharga.
Lagi dan lagi Nabi saw. telah mengajarkan umatnya sejak dulu dalam hadisnya mengenai prinsip ekologis dari tempat paling pribadi sekalipun: saat kita sedang beribadah. Dalam suatu hadis:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِسَعْدٍ ، وَهُوَ يَتَوَضَّأُ ، فَقَالَ : مَا هَذَا السَّرَفُ ؟ فَقَالَ : أَفِي الْوُضُوءِ إِسْرَافٌ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، وَإِنْ كُنْتَ عَلَى نَهَرٍ جَارٍ
“Dari Abdullah bin ‘Amru berkata, “Rasulullah ﷺ melewati Sa’d yang sedang berwudu, lalu beliau bersabda, “Kenapa berlebih-lebihan!” Sa’d berkata, “Apakah dalam wudhu juga ada berlebih-lebihan?” beliau menjawab, “Ya, meskipun engkau berada di sungai yang mengalir.” (HR. Ibnu Majah: 425)4
Kiranya, hadis ini mengandung nilai ekologis yang luar biasa. Bayangkan, sungai yang airnya melimpah sekalipun tak membenarkan sikap boros. Ini adalah pelajaran tentang kesadaran ekologis, disiplin spiritual, dan tanggung jawab moral, sekaligus. Dalam dunia sekarang yang menghadapi krisis air bersih di berbagai penjuru, hadis ini terasa sangat relevan. Ia mengajarkan bahwa kepedulian terhadap sumber daya tidak dimulai dari kelangkaan, tetapi dari hati yang tahu batas. Dari hadis ini kita diajak untuk bijak, bukan menunggu krisis. Bahkan dalam ibadah seintim wudhu pun, Islam telah menginternalisasi kesadaran ekologis sebagai bagian dari akhlak.
Dalam banyak kasus, -penulis mengamini- kerusakan lingkungan tidak hanya terjadi karena kebutuhan dasar manusia, melainkan karena kerakusan. Hutan ditebang demi vila dan tambang, bukit diratakan untuk proyek yang tak selalu bermanfaat bagi rakyat, dan lahan subur dijadikan beton tanpa pertimbangan keberlanjutan. Alam sering kali menjadi korban pertama dari ambisi manusia. Di balik semua itu, jarang ada kesadaran bahwa bumi ini bukan milik pribadi, melainkan amanah dari Sang Pencipta. Maka, di waktu yang bersamaan Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama, tapi juga dengan bumi yang dipijak bersama-sama.
Mengenai penebangan pohon yang dilakukan oleh manusia, coba kita telisik hadis Nabi saw. ini:
عَنْ مَوْلًى لِسَعْدٍ أَنَّ سَعْدًا وَجَدَ عَبِيدًا مِنْ عَبِيدِ الْمَدِينَةِ يَقْطَعُونَ مِنْ شَجَرِ الْمَدِينَةِ فَأَخَذَ مَتَاعَهُمْ وَقَالَ يَعْنِي لِمَوَالِيهِمْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَى أَنْ يُقْطَعَ مِنْ شَجَرِ الْمَدِينَةِ شَيْءٌ وَقَالَ مَنْ قَطَعَ مِنْهُ شَيْئًا فَلِمَنْ أَخَذَهُ سَلَبُهُ
“Dari mantan budak Sa’d, bahwa Sa’d, telah mendapati seorang budak di antara budak-budak Madinah yang menebangi pohon di Madinah. Kemudian ia mengambil barang-barang mereka dan berkata kepada para wali mereka; aku telah mendengar Rasulullah ﷺ melarang menebang pohon di Madinah, dan beliau berkata, “Barang siapa yang menebang sebagian pohon di Madinah, maka sesuatu yang dilucuti darinya adalah milik orang yang menangkapnya.” (HR. Abu Dawud: 2038).5
Seperti yang kita ketahui tanah Haram di Makkah dan Madinah bukan hanya tempat sakral secara spiritual, tapi juga ekologis. Ia dijaga kelestariannya oleh syariat: pepohonannya tak boleh ditebang sembarangan, hewannya tak boleh diburu, bahkan rumputnya pun tidak boleh dicabut. Ini menunjukkan bahwa wilayah yang dijaga oleh agama bukan hanya obyek tempat peribadatannya, tetapi juga alamnya.
Kiranya hadis ini mengandung prinsip penting: bahwa merusak alam bukan sekadar kesalahan teknis, tapi bisa menjadi dosa besar jika dilakukan secara zalim. Dalam konteks hari ini, menebang hutan demi proyek tanpa izin yang adil, membakar lahan demi ekspansi industri, atau mengeksploitasi sumber daya tanpa pertimbangan ekologis adalah bentuk modern dari pelanggaran ini.
Di tengah dunia yang makin panas, harfiah maupun batiniah, hadis-hadis ini terasa seperti oase. Dari beberapa hadis Nabi saw., di atas kita menemukan bahwa Islam tidak pernah memisahkan spiritualitas dari bumi. Menanam pohon, memperlakukan hewan dengan kasih, tidak menyia-nyiakan air, hingga menjaga pohon agar tak ditebang sembarangan: semuanya adalah bentuk ibadah yang tak membutuhkan sajadah. Sebagai seorang muslim, tentu kita meyakini Islam adalah agama Rahmatan lil Alamin, yang tidak hanya menjaga hubungan antara manusia dengan penciptanya (ibadah), atau antara manusia dengan sesamanya (muamalah), Islam juga menjaga hubungan antara manusia dengan ekosistem yang ada di sekelilingnya. Menjaga kondisi ekologi termasuk bagian dari menjaga harta yang merupakan salah satu dari tujuan pokok syariah (maqashid al-syariah).6
Sekali lagi, -karena akhir-akhir ini penulis sedang membaca buku dari Yuval Noah Harari, maka banyak refleksi dan referensi mengenai tulisan ini diambil dari bukunya- di buku Sapiens nya Harari dijelaskan bahwa manusia modern sedang berjalan menuju masa depan yang serba canggih, tapi dengan jiwa yang makin kosong. Kita bisa menciptakan robot dan kecerdasan buatan, tapi gagal menjaga pohon dan udara yang kita hirup. Dalam salah satu refleksinya, Harari bertanya: “Apakah kita masih bisa merasa cukup dalam dunia yang terus mendorong kita untuk merasa kurang?”
Pertanyaan itu barangkali juga pantas kita tanyakan pada diri kita, sebagai Muslim: Apakah kita masih bisa merasa cukup dengan ajaran Nabi saw. yang sederhana tapi menyelamatkan dunia ini? Ataukah kita justru lebih memilih hadis yang gaduh, tapi mengabaikan hadis yang sunyi, seperti merawat pohon atau menghemat air?
Karena bisa jadi, di hadapan Allah Swt. kelak, amal terbaik kita bukan status, bukan gelar, bukan karya, tapi sebatang pohon yang kita tanam dengan ikhlas di hari terakhir bumi ini bernapas.
Penulis: Mahasantri Semester 4 Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Editor: Mawil Hasanah Almusaddadah
- Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup Dan Pembangunan. [Jakarta: 1987]. ↩︎
- Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, no. 13181, juz 5/274 [Khadim Haramain] ↩︎
- Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhari, Shahih Bukhari, no. 2365, juz 2/112 [Khadim Haramain]. ↩︎
- Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Abdullah bin Majah Al Quzwaini, Sunan Ibnu Majah, No, 425, juz 1/272 [Khadim Haramain]. ↩︎
- Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sijistani, Sunan Abi Dawud, no. 2038, juz 2/168 [Khadim Haramain]. ↩︎
- Yusuf al-Qardhawi, Ri’ayah al-Bi’ah Fi Syari’at al-Islam, hlm. 51 [Dar al-Syuruq]. Dalam hal ini, maqashid syariah yang dimaksud adalah menjaga harta. Namun, harta yang dimaksud bukan dalam arti sempit, akan tetapi segala sesuatu yang membuat manusia cenderung/suka padanya dan berusaha untuk mendapatkannya termasuk di dalamnya lingkungan alam yang ada di sekeliling kita. ↩︎