Dalam kitab Al-Mutadrak ala Shahihain, Abu Abdillah al-Hakim meriwayatkan sebuah hadis Nabi saw., mengenai cikal bakal penolakan hadis:
ثنا الْحَسَنُ، قَالَ: بَيْنَمَا عِمْرَانُ بْنُ حُصَيْنٍ يُحَدِّثُ، عَنْ سُنَّةِ نَبِيِّنَا ﷺ إِذْ قَالَ لَهُ رَجُلٌ: يَا أَبَا نُجَيْدٍ، حَدَّثَنَا بِالْقُرْآنِ، فَقَالَ لَهُ عِمْرَانُ: «أَنْتَ وَأَصْحَابُكَ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ، أَكُنْتَ مُحَدِّثِي عَنِ الصَّلَاةِ وَمَا فِيهَا وَحُدُودِهَا؟ أَكُنْتَ مُحَدِّثِي عَنِ الزَّكَاةِ فِي الذَّهَبِ وَالْإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَأَصْنَافِ الْمَالِ؟ وَلَكِنْ قَدْ شَهِدْتُ وَغِبْتَ أَنْتَ»، ثُمَّ قَالَ: «فَرَضَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِي الزَّكَاةِ كَذَا وَكَذَا» وَقَالَ الرَّجُلُ: أَحْيَيْتَنِي أَحْيَاكَ اللَّهُ. قَالَ الْحَسَنُ: فَمَا مَاتَ ذَلِكَ الرَّجُلُ حَتَّى صَارَ مِنْ فُقَهَاءِ الْمُسْلِمِينَ
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan, ia berkata: Ketika ‘Imran bin Hushain sedang meriwayatkan sunnah Nabi kita ﷺ, tiba-tiba ada seorang lelaki berkata kepadanya:
“Wahai Abu Nujayd, ceritakanlah kepada kami (hanya) dari Al-Qur’an.” Maka ‘Imran berkata kepadanya: “Engkau dan para sahabatmu membaca Al-Qur’an, tapi apakah engkau akan mengabarkan kepadaku tentang salat, apa yang terkandung di dalamnya dan batas-batasnya? Apakah engkau akan mengabarkan kepadaku tentang zakat—dalam emas, unta, sapi, dan berbagai macam harta? Sementara aku telah menyaksikan (langsung), sedangkan engkau tidak hadir.” Kemudian ia (‘Imran) berkata: “Rasulullah ﷺ telah mewajibkan kepada kami dalam zakat begini dan begini.” Maka laki-laki itu berkata: “Engkau telah menghidupkanku, semoga Allah menghidupkanmu.” Al-Hasan berkata: “Laki-laki itu tidak meninggal dunia sebelum menjadi salah satu dari fuqaha kaum muslimin.” [1]
Hasan al-Bashri tidak menyebutkan siapa nama orang yang tidak mau diberi pelajaran hadis tadi. Namun kiranya kisah ini menunjukkan bahwa pada masa yang sangat dini sudah muncul gejala-gejala ketidakpedulian terhadap hadis di mana dalam perkembangan selanjutnya hal itu menjadi ‘cikal-bakal’ munculnya paham yang menolak hadis sebagai salah satu sumber syariat Islam, yang kemudian lazim dikenal dengan Ingkar sunnah.[2]
Peristiwa serupa juga ada pada hadis lain yang diriwayatkan oleh Al-Hakim juga ketika Umayyah bin Abdullah bin Khalid sudah mencoba mencari banyak permasalahan di dalam Al-Qur’an, karena tidak kunjung menemukan jawaban, akhirnya ia bertanya kepada Abdullah bin Umar:
عَنْ أُمَيَّةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ خَالِدٍ، أَنَّهُ قَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ: إِنَّا نَجِدُ صَلَاةَ الْحَضَرِ، وَصَلَاةَ الْخَوْفِ فِي الْقُرْآنِ، وَلَا نَجِدُ صَلَاةَ السَّفَرِ فِي الْقُرْآنِ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: يَا ابْنَ أَخِي، إِنَّ اللَّهَ بَعَثَ إِلَيْنَا مُحَمَّدًا ﷺ وَلَا نَعْلَمُ شَيْئًا، فَإِنَّمَا نَفْعَلُ كَمَا رَأَيْنَا مُحَمَّدًا يَفْعَلُ
Dari Umayyah bin Abdullah bin Khalid, bahwa ia berkata kepada Abdullah bin Umar: “Sesungguhnya kami menemukan dalam Al-Qur’an penjelasan tentang salat dalam keadaan menetap (ḥaḍar) dan salat dalam keadaan takut (khauf), tetapi kami tidak menemukan penjelasan tentang salat dalam perjalanan (safar).” Maka Abdullah bin Umar menjawab: “Wahai anak saudaraku, sesungguhnya Allah telah mengutus kepada kita Nabi Muhammad ﷺ, sementara kita tidak mengetahui apa-apa. Karenanya kita lakukan saja sebagaimana kita melihat Nabi Muhammad ﷺ melakukannya.” [3]
Dalam sejarahnya, semakin jauh dari masa Nabi saw., semakin banyak pula orang yang enggan mencari pemecahan masalah agama ini dengan hadis, dengan alih-alih lebih memilih hanya memakai Al-Qur’an saja. Ayyub al-Sakhtiyani (w. 131 H) seorang tokoh ahli hadis mengatakan, ”Apabila Anda mengajarkan hadis kepada seseorang, kemudian ia berkata ‘ajarilah kami dengan Al-Qur’an saja, tidak usah memakai hadis’, maka ketauhilah bahwa orang tersebut adalah sesat menyesatkan”.[4]
Di Iraq
Gejala-gejala Ingkar Sunah seperti di atas tampaknya masih merupakan sikap-sikap individual, bukan merupakan sikap kelompok atau mazhab meskipun jumlah mereka di kemudian hari semakin bertambah. Suatu hal yang patut dicatat, bahwa gejala-gejala itu tidak terdapat di negeri-negeri Islam secara keseluruhan, melainkan secara umum terdapat di Iraq.
Karena Sahabat Imran bin Hushain yang tadi itu, begitu pula Ayyub al-Sakhtiyani, tinggal di Bashrah, Iraq. Demikian pula orang-orang yang disebutkan oleh Imam Syafi’i sebagai pengingkar sunah juga tinggal di Bashrah. Karenanya, pada masa itu tampaknya di Iraq terdapat faktor-faktor yang menunjang timbulnya paham Ingkar Sunah.
Dan itulah gejala-gejala Ingkar Sunah yang muncul di kalangan para Sahabat. Sementara menjelang akhir abad kedua Hijriyah muncul pula kelompok-kelompok yang menolak hadis sebagai salah satu sumber syariat Islam, di samping itu ada pula yang menolak hadis yang bukan mutawatir saja.[5]
Khawarij dan Sunnah
Apakah Khawarij menolak sunnah? Ada sebuah sumber yang menuturkan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para Sahabat sebelum kejadian fitnah (perang saudara antara Ali bin Abu Thalib r.a. dan Mu’awiyah r.a.) diterima oleh kelompok Khawarij. Dengan alasan bahwa sebelum kejadian itu semua para sahabat dinilai sebagai orang-orang yang adil (muslim yang sudah akil-baligh, tidak suka berbuat maksiat, dan selalu menjaga martabatnya).
Namun sesudah kejadian fitnah tersebut, kelompok Khawarij menilai mayoritas sahabat Nabi saw. sudah keluar dari Islam. Akibatnya, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat sesudah kejadian itu ditolak oleh kelompok Khawarij. Ini adalah kesimpulan dari Mustafa al-Siba’i berdasarkan sumber-sumber yang terdapat dalam kitab Al-Farqu baina al-Firaq karya Abdul Qadir al-Baghdadi (w. 429 H).[6]










