Secara historis, sebuah perkembangan peradaban manusia tidaklah terlahir dari ruang kosong belaka. Sudah menjadi kepastian, bahwasanya suatu peradaban berisi mengenai kemajuan, serta kemunduran dalam segala aspek kehidupan, termasuk keilmuan. Begitu pula dalam ilmu hadis, upaya memahami hadis Nabi Saw. secara komprehensif dan akurat telah dilakukan oleh ulama sejak era mutaqaddimin, muta’akhkhirin, sampai di zaman modern yang kita alami saat ini, melalui berbagai metode ilmiah yang terstruktur dan sistematis.
Sebuah hadis berwujud berita atau laporan tentang Nabi Saw., baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, keinginan, sifat, karakter, dan bentuk fisik Nabi Saw. Bilamana hadis itu diketahui substansi (khitab)nya, maka layak disebut dengan sunnah. Untuk memahami hadis, diperlukan pemahaman yang mendalam sehingga dapat diketahui substansinya, mengingat jarak waktu yang memisahkan realitas persoalan saat ini dengan sejarah bagaimana sebuah hadis itu muncul. Salah seorang tokoh ulama kontemporer yang memberikan corak baru dalam studi pemahaman hadis, ialah syekh Yusuf al-Qardhawi.
Syekh Yusuf al-Qardhawi adalah seorang ulama dan cendekiawan Muslim terkemuka yang dikenal luas melalui ilmu dan dakwahnya. Beliau lahir pada 9 September 1926 di desa kecil bernama Shafth Turaab, yang terletak di kawasan Delta Sungai Nil, Mesir. Sejak usia 2 tahun, Qardhawi telah menjadi yatim dan kemudian diasuh oleh pamannya. Kecerdasannya sudah tampak sejak dini; pada usia sepuluh tahun, ia telah berhasil menghafal seluruh Al-Qur’an. Pemikiran dan karya-karyanya memiliki dampak luas di berbagai wilayah, termasuk Timur Tengah, Barat, Afrika, dan Asia, termasuk Indonesia.
Dalam kitab Kayfa Nata’amal Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah, Syekh Yusuf al-Qardhawi menjabarkan tentang kedudukan sunnah dalam Islam, serta metode pemahaman hadis. Menurut Syekh Qardhadawi, sunnah merupakan tafsir aplikatif (al-tafsir al-‘amali) dari Al-Qur’an, yakni bentuk nyata penerapan ajaran Islam dalam kehidupan. Ia membagi metode penerapan sunnah ke dalam 5 bentuk utama:
- Metode Komprehensif (Manhaj Syumuli): mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik spiritual, moral, sosial, maupun fisik.
- Metode Integratif (Manhaj Takamuli): menekankan penyatuan total kehidupan Muslim, meliputi politik, hukum, pendidikan, spiritual, dan kepemimpinan.
- Metode Realistis (Manhaj Waqi’i): metode Ilahi yang realistis, sesuai fitrah, dan tidak memberatkan,
- Metode Keseimbangan (Manhaj Tawazun): menekankan keseimbangan antara unsur ruh dan jasad, akal dan hati, serta kepentingan individu dan masyarakat.
- Metode Kemudahan (Manhaj Taisir): bersifat memudahkan dan toleran, karena ajaran Nabi tidak dimaksudkan untuk memberatkan umat.
Sedangkan dalam metode pemahaman hadis, Syekh Qardhawi membagi menjadi delapan kriteria untuk memahami hadis:
- Memahami hadis/sunnah sesuai petunjuk Al-Qur’an
Menurut Syekh Qardhawi, Al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam, sedangkan hadis berfungsi sebagai penjelas dan penerapan praktisnya. Karena itu, hadis tidak mungkin bertentangan dengan Al-Qur’an. Jika tampak ada pertentangan, hal itu bisa disebabkan oleh hadis yang tidak shahih, kesalahan pemahaman, atau hanya pertentangan semu. Contohnya, hadis Gharaniq ditolak karena bertentangan dengan Surah an-Najm ayat 19–23.
- Menghimpun hadis-hadis yang setema
Memahami hadis secara benar dan menyeluruh dilakukan dengan menghimpun hadis-hadis shahih yang membahas tema yang sama, lalu menafsirkan hadis yang samar (mutasyabih) dengan yang jelas (muhkam), yang umum (‘am) dengan yang khusus (khash), dan yang mutlak dengan yang terikat (muqayyad). Dengan cara ini, makna hadis dapat dipahami secara utuh tanpa pertentangan. Contoh yang beliau berikan adalah hadis tentang larangan memakai sarung di bawah mata kaki, yang setelah dianalisis dengan membandingkan berbagai hadis dan pendapat ulama seperti Ibn Hajar dan an-Nawawi, menyimpulkan bahwa larangan tersebut hanya berlaku bagi orang yang melakukannya karena kesombongan, bukan karena kebiasaan.
- Menggabungkan hadis yang terkesan kontradiktif
Pada dasarnya, teks-teks syariat tidak mungkin saling bertentangan karena kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Jika tampak ada pertentangan, hal itu hanya bersifat lahiriah, bukan hakiki. Dalam menghadapi hadis yang tampaknya bertentangan, syekh Qardhawi menganjurkan pendekatan kompromi, yaitu dengan menggabungkan atau menyesuaikan kedua teks tanpa dipaksakan, agar keduanya tetap dapat diamalkan. Cara ini lebih utama daripada tarjih (memilih salah satu), karena tarjih berarti mengabaikan teks yang lain. Namun, jika kompromi tidak memungkinkan, barulah dilakukan tarjih dengan mempertimbangkan alasan-alasan yang telah ditetapkan para ulama.
- Melihat konteks/asbab wurud
Menurut syekh Qardhawi, memahami asbab al-wurud sangat penting agar hadis dipahami secara benar dan tidak disalahartikan. Ia menekankan pendekatan sosio-historis, yakni melihat kondisi sosial, budaya, dan sejarah saat hadis disampaikan, serta bagaimana penerapannya di masyarakat. Karena itu, perlu dibedakan antara hadis yang bersifat khusus dan umum, sementara dan abadi, serta partikular dan universal.
- Membedakan antara teks yang tetap dan berubah
Salah satu penyebab kesalahan dalam memahami sunnah, menurut syekh Qardhawi, adalah mencampuradukkan antara tujuan utama sunnah dengan sarana yang bersifat sementara atau lokal. Padahal, sarana dan prasarana dapat berubah sesuai perkembangan zaman dan tempat. Jika sebuah hadis menyebutkan sarana tertentu, hal itu hanya menjelaskan konteks faktual, bukan sesuatu yang harus diikat secara permanen. Misalnya, hadis tentang siwak bertujuan menjaga kebersihan mulut, bukan mewajibkan penggunaan kayu siwak itu sendiri, sehingga boleh diganti dengan alat lain seperti sikat gigi.
- Membedakan ungkapan haqiqah dengan majaz
Memahami teks keagamaan seperti Al-Qur’an dan hadis memerlukan pengetahuan tentang ilmu balaghah, termasuk majaz, karena banyak lafadz di dalamnya yang tidak dapat dipahami secara harfiah. Untuk menemukan makna yang benar, perlu digali makna kiasan atau metafora yang terkandung di dalamnya. Rasulullah sebagai penutur Arab paling fasih sering menggunakan majaz seperti lughawi, aqliy, isti‘arah, dan kinayah. Karena itu, memahami teks secara majazi sangat penting agar tidak terjerumus dalam penafsiran yang keliru.
- Membedakan yang ghaib dengan yang nyata
Sebagian isi sunnah membahas hal-hal gaib, seperti malaikat, jin, alam barzakh, dan perkara yang tidak tampak di dunia ini. Meskipun sebagian besar telah disebutkan dalam Al-Qur’an, sunnah berperan menjelaskan dan merinci hal tersebut. Menurut syekh Qardhawi, kebenaran tentang hal-hal gaib harus diterima selama masih dalam batas yang dapat dijangkau oleh akal. Karena itu, menolak hadis tentang perkara gaib hanya karena tidak dapat dibuktikan secara indrawi tidaklah dibenarkan.
- Memastikan kata-kata makna dalam hadis
Dalam memahami hadis penting memastikan makna kata dengan tepat karena konotasinya bisa berubah seiring waktu dan tempat. Beliau mencontohkan kesalahan dalam menafsirkan kata tashwir (pembuatan gambar) dalam hadis. Banyak yang menganggap fotografer termasuk mushawwir yang diancam azab, padahal menurut al-Qardhawi hal itu keliru. Fotografi belum dikenal pada masa Nabi Saw., sehingga istilah tashwir dalam hadis tidak mungkin merujuk pada pengambilan foto dengan kamera.
Demikianlah pemikiran syekh Yusuf al-Qardhawi terkait upaya memahami hadis, yang beliau tuangkan dalam kitabnya Kayfa Nata’amal Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah. Semoga dapat memudahkan kita dalam memahami hadis yang disampaikan oleh Nabi Saw., sehingga kita dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Wallahu a’lam
Sama seperti tulisan sebelum ini, artikel metodelogi hadis Prof. Ali Mustafa Ya’qub dan artikel kali ini juga hadir dari perdiskusian Kedai Peradaban yang kebetulan penulis ini adalah pemateri di sesi tersebut. Oleh karena itu, tulisan ini dihadirkan, atas dasar sayang jika tidak dituliskan dan disebarkan ke teman-teman pembaca sekalian. Terima kasih yang sudah membaca.
Editor: Vigar Ramadhan Dano M.D.









